Inferior

19 2 0
                                    

Iqbal tergesa menuju pusat informasi Museum Panji setelah dikabari perihal yang menimpa Rani. Wanita gila. Dia sudah tidak waras karena berani bermain-main dengan nyawa manusia. Sebejatnya Juna, Iqbal tetap tidak bisa membenarkan tindakan Rani membunuh Juna, sementara Agi ditinggal sendirian di Musium. Iqbal sampai mencak-mencak setelah mendapat kabar seperti itu dari polisi.

"Permisi, ada anak laki-laki usia 7 tahunan?"

"Anak lelaki? Tadi ada detektif yang membawanya, walinya katanya di penjara. Anda siapa? " kata petugas itu.

"Saya Omnya. Ya sudah, terimakasih infonya." Saat perjalanan menuju kantor polisi, Iqbal menghubungi kakaknya, Panji.

"Halo?" Terdengar suara di seberang.

"Temui aku di kantor polisi Mas! Polsek Malang sekarang!" Iqbal tak menunggu kakaknya menjawab, dia segera menaiki motornya dan bergegas memacu motornya di jalan raya yang cukup ramai. Kekhawatiran yang menggerogotinya lebih besar daripada ancaman nyawa melayang di jalan raya.

Sementara itu, Panji sedang akan menikmati makan malam dengan istrinya. Perasaannya menjadi tidak enak setelah dikabari Iqbal untuk pergi ke kantor polisi.

"Ada apa, Mas?" Lina memecah hening saat melihat Panji termenung, jelas seperti habis mendapat kabar buruk. Tidak, itu memang kabar buruk!

"Mas harus pergi Dek. Ada urusan mendesak," jawab Panji dengan raut menenangkan istrinya.

***

Ruang berukuran 4 kali 5 meter itu sangat sempit untuk mereka bertiga. Kaca besar hitam menjadi salah satu dinding ruangan. Memudahkan orang luar bisa melihat ke dalam, tetapi orang di dalam ruangan tidak bisa melihat keluar. Mereka bertiga memang diawasi tetapi perekam belum dinyalakan.

"Akhirnya kita bertemu, dalam situasi seperti ini," kata si wanita memulai percakapan. "Aku titip Agi padamu, Ji."

Panji mengepalkan tangannya. "Saya tidak akan menerima anak itu," kata Panji tegas.

"Tapi dia darah dagingmu, Ji!" Rani masih bersikeras terhadap keputusannya.

"Hentikan Ran!" desis Panji mengandung emosi yang tertahan.

"Kalau kau mau hidup damai, kau harus berdamai dengan masa lalu, Ji. Kau harus menerima kenyataan kau punya putra denganku."

"Cukup!" Panji meninggikan suaranya.

"Tujuh Tahun!" Rani balas meninggikan suara. "Agi harus menderita 7 Tahun karena memiliki ibu sepertiku!"

"Kalian berdua!" Iqbal menyela di antara keduanya dengan tegas. "Kalian sudah dewasa! Tolong berpikirlah seperti orang dewasa!"

Ruangan hening untuk beberapa detik sebelum Iqbal melanjutkan.

"Daripada mengungkit masa lalu yang tidak pernah kembali, lebih baik kita selesaikan masalah saat ini yang lebih mendesak. Kau, Mbak Rani, harus bertanggung jawab atas perbuatanmu dengan suamimu, dan Mas Panji, tolong, terima Agi, terlepas dari masa lalu kalian, Agi hanyalah anak kecil yang saat ini tertimpa kemalangan. Papa sahnya baru saja meninggal dan ibunya dipenjara karena menjadi tersangka. Mas tidak tahu trauma apa yang akan terjadi pada anak itu jika kita bahkan tidak mau membantunya kan?"

Iqbal masih melanjutkan ceramahnya. "Kalau Mas Panji tidak mau menerima Agi, kita bisa hubungi Mas Akhnas dan mengatur Surat Adopsi."

Panji terdiam cukup lama. Egonya yang selama ini dipertahankannya perlahan menguar setelah mendengar penuturan Iqbal. Adiknya ada benarnya. Dan Agi tidak bersalah, kenapa Agi harus menerima semua akibatnya?

"Tidak perlu. Mas akan mengadopsi Agi," kata Panji. Setelah itu ia beranjak dan meninggalkan ruang interogasi.

Di ruang tunggu Polsek, Agi duduk sendirian. Anak itu terlihat menggemaskan. Namun perilaku anak itu jauh dari anak kecil pada umumnya.

"Agi," panggil Panji. Ia menekuk satu kakinya dan memeluk Agi dalam dekapannya. Rasanya sangat nyaman. Tubuh Agi tenggelam sudah dalam pelukan Panji.

"Om, Siapa?"

"Mulai sekarang, Om adalah Ayah Agi. Nama Om adalah Panji. Agi maukan jadi anak Ayah?" Panji berkata pelan. Tak percaya dia membuat keputusan tanpa berdiskusi dulu dengan Lina.

Agi masih memasang espresi datar.
"Oh, iya Ayah," kata Agi.

Panji melepaskan pelukannya dan merasakan hatinya semakin berdelenyar. Rasanya sangat sakit. Sesak di dadanya sehingga ia membuang muka untuk menyembubyikan kaca yang terbuat dari airmata yang sekarang menggenang di matanya. Tetapi dia harus kuat untuk Agi.

"Ikut Ayah pulang, ya?"

Bocah malang itu mengangguk pasrah. Dia meraih tangan Panji yang terulur untuknya.

Sementara itu di ruang interogasi Iqbal memberi penutupan.
"Saya harap Mbak Rani tidak muncul lagi di kehidupan kakak saya. Meskipun tujuan Mbak hanya untuk bertemu Agi. Jangan pernah muncul lagi, Mbak!" peringat Iqbal. Kejam memang. Tapi menurut Iqbal ini adalah jalan yang terbaik untuk semuanya.

"Baiklah. Saya janji," kata Rani.

Iqbal pun meninggalkan ruangan tanpa menoleh lagi pada Rani.

***

"Siapa dia, Mas?" Lina menatap anak kecil di samping Panji dengan wajah penuh tanya.

"Kita akan mengadopsi dia. Kamu setuju, Dek?"

Tentu saja Lina terkejut dengan keputusan Panji. Dia ingin bertanya pada suaminya, darimana anak kecil ini berasal? Tetapi dia masih menjaga perasaan anak kecil di depannya. Hati lembutnya tidak tega jika mendebat keputusan suaaminya di depan objek pembicaraan. "Mas, "

Panji menceritakan semua tentang Agi kepada Lina. Awalnya wanita itu terkejut tapi lambat laun bisa memahami penderitaan berat yang sudah dialami anak sekecil Agi.

"Kau bagaimana dengan dirimu, Mas? Sanggupkah kmu hidup dengan luka masa lalumu?"

Semua berjalan atas kehendak Allah. Panji akan percayai itu agar ia siap melangkah. Ia akan buang rasa inferiornya. Ia akan buang egonya untuk menerima Agi sebagaimana putranya.














-Selesai-
Terima kasih yang sudah mengikuti sampai akhir.
Apakah kalian punya pesan dan kesan?
Apa cerita ini menyampaikan perasaan kalian?
Aku tunggu jawaban kalian ya...
Papayy... 🥰🥰😍

PANJI  (Completed) Where stories live. Discover now