Chapter 16 : Tertunda 'lagi'

95 10 6
                                    

Lina keluar dari ruangan Panji. Matanya sudah panas ingin menangis. Namun kesedihannya sirna saat melihat orang yang berada dikursi tunggu.

Dengan cuek seseorang itu duduk. Padahal orang-orang yang berlalu lalang pasti menoleh pada dirinya.

"Akhi Iqbaal.. " Lina duduk berjarak satu meter dari Iqbal. "Di rumah sakit kok pakai kacamata hitam? " Lina tersenyum geli melihat kecuekan Iqbal memakai asesoris yang mencolok itu.

"Lagi pengen aja Lin. "

"Mas Iqbal nggak kuliah? "

"Dosennya nggak ada Lin. "

"Orang tua mas Iqbal tau? "

Iqbalnya menggeleng. Cowok berkacamata hitam itu menautkan tangannya menyangganya dengan lutut. "Gimana keadaannya? "

"Sudah mau makan Mas. Sudah baikan juga. "

"Alhamdulillaah.. "

Keduanya terdiam begitu lama. Saling bingung harus mengatakan apa mengenai perasaan mereka dan hubungan diantaranya yang semakin rumit saja?

"Tolong nasehatin dia ya Lin. Kalau Lina yang lebih Mas Panji dengar, tolong jangan bosen buat nasehatin dia yaa.. " kata Iqbal kemudian.

"Iya mas.. " Lina tersenyum tulus. Memperhatikan Iqbal yang duduk seakan gugup, gelisah, dan juga khawatir.

Tentulah Mas Iqbal khawatir karena yang terbaring di sana adalah kakaknya. Yang belum bisa ia temui. Lina tak tahu saja ketakutan terbesar Iqbal ialah saat Lina memalingkan perasaannya beralih pada Panji. Ketakutan saat gadis yang ia cintai lebih memilih dan dekat dengan orang lain. Sejujurnya Iqbal takut. Sakit. Tidak mau kalau Lina direbut darinya. Namun dari ke sekian ribu wanita di dunia kenapa harus Lina-nya yang Panji kenal??

"Dek Lina juga harus jaga kesehatan. Jangan sampai stres yaa.. Jangan telat makan juga.. " nasihat Iqbal pada Lina.

"Iya Khii.. Dicopot ya kacamatanya?" pinta Lina.

Iqbal diam saat jemari Lina mencopot kacamatanya tanpa menyentuh kulitnya. Bahkan bergerak sedikit saja Iqbal tidak berani takut kulit halus Lina menyenggolnya, yang akan membuat jantungnya tambah histeris saja.

"Gini kan lebih kelihatan cakepnya. Kalo tadi malah kelihatan sepertii... Tukang pijit. Hehehe... " Lina tertawa. Ia menatap mata Iqbal yang dinaungi alis agak tebal itu sebelum mengalihkan ke objek lain.

Lagi-lagi.

Jantungnya tidak kuat kala melihat sepasang manik tajam itu.

"Lina bisa aja.. " hanya itu komentar yang terlintas di kepala Iqbal. "Yaudah Lin, Mas Iqbal pulang dulu ya? Biaya adminnya udah Mas lunasin. Keluarga Lina udah mau merawat Mas Panji aja itu udah repot banget kan? Kami sekeluarga cuma bisa bantu biaya. " kata Iqbal.

"Mas Iqbal nggak usah sungkan. Lina, Umi sama Abi nggak merasa direpotkan apapun kok. " Sanggah Lina.

Kalau saja Lina muhrimnya atau katakan istrinya, Iqbal akan mengecup sayang dan membisikkan bahwa ia mencintai Lina. Sangat mencintainya. Namun hatinya perih.
Perempuan yang sejengkal saja bisa ia gapai kini terasa jauh lagi. "Assalamu alaikum.. "

"Waalakum salam warrohmatullahi wabarokatuh. Hati-hati Mas bawa motornya jangan ngebuut.."

"Iya dek Lina sayaang.. " Iqbal tertawa lalu memakai kacamatanya, menengok ruangan sebentar, menatap Panji yang terlelap. Setelah itu ia pergi meninggalkan Lina.

***

Iqbal POV

Aku meraba dada kiriku. Mengecek apa jangungku masih ada? Debarannya masih kencang. Diiringi dengan rasa sakit dan juga cinta. Saat sedang asyiknya menyelami perasaanku, aku berpapasan dengan Abi dan Umi nya Lina.

"Abi.. Umi.. " aku mencium tangan Abi dan menangkupkan tangan untuk Umi.

"Lhoh Nak Iqbal malah sudah kesini? Lina yang ngabarin ya? " tanya Umi.

"Iya Um. Tadi subuh Lina kan ngabarin Iqbal kalau Mas Panji dirawat. "

"Ow.. Abi mau ngomong penting Bal. Berhubung kita jarang ada waktu luang sebaiknya sekarang aja ya?" ajak Abi.

"Iya Abi. Iqbal setuju aja. "

"Umi temenin Lina dulu ya? Abi mau ngobrol berdua sama calon mantu." kata Abi dengan blak blakan. Yang bersangkutan hanya tersenyum-senyum malu namun bahagia.

"Baik Bii.. " Umi meneruskan langkah ke ruangan Mas Panji.

"Di taman itu kayaknya sepi Bal. Ayo! "

Abi mengajakku duduk disalah satu bangku taman. "Sini sini. Disebelah Abi. " aku kembali hanya menurut saja. Melepaskan kacamata hitamku.

Abi berdehem lalu berkata "Bapak mau tanya sesuatu. Apa kamu siap? "

"Eh? Siap pak? "

"Iya. Siap untuk menjadi imamnya Lina? Jujur ya Bal. Lina itu usianya sudah 23 tahun. Bagi perempuan itu sudah usia yang matang buat menikah. Beberapa lamaran bapak tolak karena bapak tahu kamu mencintai Lina dan juga sebaliknya. Kenapa sekarang masih belum juga meminang Lina? Nunggu kuliah selesai dulu? Nunggu dapat kerja? "

Lidahku kelu. Pertanyaan inilah yang sering waktu membuatku gugup. "Iqbal mencintai Lina pak. Sangat malah. Iqbal juga akan meminang Lina secepatnya. Namun Mas Panji butuh Lina untuk sandaran. Seenggaknya sampai Mas Panji bisa menerima takdirnya. Maaf pak, kesannya keluarga kami memanfaatkan putri bapak. Tapi bahkan ibu saya sendiri tidak bisa menjangkau Mas Panji seperti dek Lina."

"Hhh... Panji ya.. " Abi memijit kepalanya prihatin. Putrinya, dan calon menantunya ini sudah sangat lama ia ingin nikahkan. Namun lagi-lagi hal tak terduga muncul 'kembali'. Menghalangi persatuan cinta keduanya. Menunda 'lagi'mengungkapkan rasa saling suka.

Kali ini lebih sulit. Karena aku memiliki seseorang yang berpotensi menjadi rival yang sangat kuat.
Entahlah ego cinta ini akan dimenangkan oleh siapa?










Mohon tinggalin jejak yaaa... Terimakasih.. Semoga harimu menyenangkaan..

PANJI  (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang