Chapter 27 : Hujaman

105 8 10
                                    

Anak adalah titipan untuk orang tuanya. Karunia yang berharga dan haruslah dijaga. Seorang anak yang terlahir membawa fitrahnya masing-masing. Tidak ikut membawa dosa-dosa orangtuanya. Namun beberapa keyakinan anak juga mengalirkan dosa dari orangtuanya sehingga dilakukan pembaptisan. Arjuna yang menganut agama nasrani membaptis Agi saat berusia dua tahun. Sang ibu Rani tidak mau sebenarnya. Ia ingin putranya menjadi Panji. Bukan sebagai Juna.

Awal itulah yang membuat hubungan Juna Rani menjadi berantakan. Rani yang menginginkan anaknya muslim dan Juna sebaliknya. Alasan itu yang membuat Juna sering kasar pada istrinya bahkan memukul di depan putra mereka. Rani diasingkan ke sebuah kompleks padat dan Juna sibuk melanglang buana mencari penghibur lain. Namun masih mengirimkan nafkah pada Rani.

Hidup Rani tidak bahagia dengan Juna. Ia seakan mendapat karma dari perbuatannya dulu saat di sekolah. Tak Punya sandaran dan orang yang tulus mencintainya. Lalu Rian, pemuda itu bahkan sudah menyerah terhadap sikapnya.

Untuk itulah Rani merasa terharu dan sesak saat ada seorang pemuda yang membopong putranya dan membaringkan di rumah sakit. Bahkan ikut menunggui mereka.

"Namanya A Gift For Rana? " tanya lelaki itu heran. Sepertinya keberatan dengan nama tersebut.

Rani mengangguk.

"Mbak. Nama adalah doa dari orangtua ke anaknya. Ibarat itu adalah bait yang akan menyertai hidupnya kelak. Arti dari nama Agi itu mungkin bahkan akan jadi trauma baginya. Lebih baik diganti mbak. " usul pemuda itu.

Rani tersenyum. Pemuda di sampingnya bahkan memikirkan masa depan Agi menyandang deretan nama pahit yang ia berikan? Sangat manis. Jantung Rani sampai berdesir mendapat perhatian dari pemuda tersebut.

"Mbak? Maaf, bukannya saya ikut campur. "

"Oh, nggap papa ko. Saya sangat senang. Terimakasih sudah mau memperhatikan putra saya. Kalau begitu apa mas punya nama yang cocok? "

Pemuda itu diam sejenak sebelum menjawab. Dia merasa sesak saat akan melontarkan usulannya. "AlTaqi. "

Hembusan angin segar menelisik rambut Rani. Nama adalah do'a. Dan nama yang diusulkan pemuda itu membuat Rani sekali lagi takjub. Bahkan ja belum mengetahui nama si pemuda. Tetapi kebaikannya kenapa sangat manis? Betapa naas nasib Rani yang mudah sekali jatuh cinta. "Bagus." hanya itu komen Rani.

"AlTaqi Mustofainal Akhyar. Artinya orang yang taqwa, dan orang yang terpilih dari yang dipilih. Atau disebut spesial. "

Senyum Rani merekah bagai matahari. Namanya sangat bagus. Bahkan Juna tidak memberi nama sedikit pun. Atau memberi embel-embel Nuraga seperti nama belakang Arjuna.

"Terimakasih. Saya akan mengurusnya nanti. " lagi pula Agi juga belum punya akta. Surat-surat Agi belum lengkap.

"Nama mas siapa? "

Bukannya menjawab si pemuda malah berdiri dan pamit. "Saya permisi dulu mbak.. Kalau ada takdir dari Allah kita pasti ketemu lagi. Semoga tujuan mbak Rani bisa tercapai ya.. " pamit pemuda tersebut. Ia hanya tersenyum memesona tanpa secuil pun menyentuh Rani. Memperlakukan Rani sangat hormat. Pemuda yang dididik emas orangtuanya agar menghargai wanita. Bahkan cara menatapnya saja sangat sopan. Rani tidak sedikit pun merasa dilecehkan oleh sikap dan pandangan pemuda itu. Mengingatkannya pada sosok yang sangat dirindukannya. Tetapi, kemana lagi ia harus mencari?

***

Iqbal menenteng sebuah plastik berisi pakaian yang masih layak. Akan ia sumbangkan beberapa stel pakaian Alm. kakaknya Anas ke pondok. Tentu saja dengan izin orang tuanya.

Semua pakaian ini masih rapi dan baru. Pemiliknya terdahulu sangat telaten dengan barang kepunyaannya sehingga masih awet dan menarik. Pakaian yang terdiri dari kemeja, kaos, dan beberapa celana itu akan di kemas kembali dan dihibahkan pada siswa dari keluarga kurang mampu melalui pengurus pondok yang mengamati.

Setibanya di pondok dan bertemu dengan Mas Joko selaku ketua santri Iqbal mau tidak mau harus menemui Pak Jum yang rumahnya melewati rumah sabil Abi Darsoni. Pintu rumah Abi terbuka. Dada Iqbal bergemuruh saat akan melewatinya. Bukan debaran cinta seperti biasa, melainkan debaran sakit dan bunyi sayatan pisau yabg seandainya disuarakan akan memekakkan telinganya. Menjadikan jalannya tak fokus dan menabrak seseorang.

Astaghfirullah, akhwat!

"Mas, Amalsolih jalannya hati-hati! Bukannya jalan bagi akhwan itu sebelah sana? " tegur mbak siswi itu tegas yang tak lain adalah Fatma. Fiuh. Untung Fatma yang sedikit dikenal Iqbal.

"Maaf Fat. Mau ke rumah Pak Jum. "

"Lagian sampean jalannya nunduk. " protes Fatma lagi.

"Iya maaf ya, sekali lagi maaf. " Iqbal menyadari kesalahannya. Ia memang tolol membuat masalah dengan siswi. Ia pun lekas keburu pergi dari pada mereka digiring ke keidisiplinan santri.

Fatma menggeleng heran. Ia tahu betul Iqbal sedang menahan sakit kala melewati rumah Abi Dar. Pasti Mas Iqbal sedang teringat Mbak Lina. Entah kenapa hal itu juga membuatnya sakit? Bukankah hubungan mereka sangat indah? Bunga cinta juga tumbuh diantara keduanya. Namun mereka tidak bersatu. Mengoyak sebuah dinding tak kasat mata diantara mereka berdua. Kini terbentang lautan.

"Hhhh... Astaghfirullahaladzim. Wallahu Alam. Allah yang mengatur. " Fatma beristighfar lalu melanjutkan perjalanan.

Sememtara itu Iqbal sudah selesai dengan urusannya dengan Bapak Jum. Seperti biasa Pak Jum memberi banyak wejangan. Sesekali Iqbal menangis katena tak kuat menahan perih dadanya. Pak Jum membiarkan saja muridnya itu meneteskan air mata. Dan memberikan kata penyejuk lainnya.

Iqbal bukannya kekurangan kasih sayang saat mencurahkan isi hatinya pada Pak Jum. Bapaknya sendiri juga orang yang terbuka dan bisa memberikan banyak nasehat. Tetapi, ia lebih menceritakan yang sebenarnya pada Bapak Jumikan. Ayah kedua baginya.

Hampir satu jam Iqbal bertamu di rumah Pak Jum. Ia pamit pulang. Matahari sudah tinggi. Iqbal kembali melewati rumah Abi Dar. Dari arahnya ia bisa melihat dengan jelas ruang makan Abi Dar. Dengan cepat ia menangkap kakaknya yang sedang tersenyum dan membuka mulutnya. Sebuah suapan hadir. Tangan seorang gadis!

Iqbal tak perlu bertanya siapa itu. Ia sudah tahu. Tanpa berhenti ia melanjutkan langkah sambil beristighfar berkali-kali. Sabar Iqbal. Belum jodoh. Namun batinnya menangis. Begini ya rasanya sakit hati. Selalu sakit dan perih saat melihat pemicunya. Atau, apa dia pindah ke bulan saja agar tidak harus menanggung sakitnya terus?

Ia tak langsung pulang dan berjalan-jalan di taman. Menyegarkan pikirannya. Matanya berkali-kali memanas. Ia tahan sebisa mungkin karena ia berada di tempat umum. Lalu perhatiannya sedikit teralihkan saat melihat wanita yang menggandeng bocah lelaki yang pucat pasi. Ia curiga.

"Mbak!" teguran Iqbal berhasil menghentikan langkah si wanita.

"Iya? "

"Anak siapa tuh mbak? "tanyanya spontan.

Wanita itu terkejut seakan ia tak percaya dirinya dituduh sebagai penculik?

Bersambung..

Wellcome again readers..  I really really love you to... 😍😂

PANJI  (Completed) Where stories live. Discover now