Chapter 14 : Berubah

94 9 13
                                    

Pov : Iqbal Indra

Aku adalah Iqbal. Anak kelima dari lima bersaudara. Anak yang cukup pendiam dari semua saudaraku.
Bukan berarti aku pasif, tetapi orang sepertiku lebih sering melakukan tindakan dari pada omongan panjang lebar.

Aku cukup populer karena aku terkenal dikalangan para siswi di sekolahku, walau aku seolah tak menyadarinya.

Julukanku di kelas adalah 'Soleh'. Di lapangan basket aku adalah 'Peluru'. Itu semua bukan tanpa alasan. Hampir semua shoot three point yang kutembakkan memasuki ring dengan mulus. Shooting Guard yang menjadi bisa mematikan pada lawannya.

Eksistensi Tim basket sekolah(TBS Inspirit) kami mengalahkan eskul lainnya di angkatanku. Di setiap event kami, selalu ada pemandu sorak yang kompak sekali menyemangati tim kami. Sesekali menampilkan gerakan atraksi yang mengagumkan.

Nilai akademikku rata-rata, tidak jeblok amat dan tidak juga mendekati sempurna seperti semua kakakku. Kenapa semua? Kakakku semua pintar. Kak Akhnas mengambil Fakultas Kedokteran dengan jalur beasiswa khusus. Kak Syifa melanjutkan pendidikannya di Malaysia bersama suaminya. Kak Anas jurusan Peternakan di Fakultas Brawijaya Malang. Dan Kak Panji juga mendapat beasiswa di Trisakti Fakultas Hukum.

Diriku suka menggambar. Cita-cita masih sederhana. Membahagiakan orang tua. Walau entah kenapa aku malah mendaftar di universitas prodi Ekonomi Syariah.
Sama sekali jauh dari hal yang aku suka.

Selepas kuliah biasanya aku tidak langsung pulang ke rumah. Beberapa waktu aku sempatkan mampir ke pondok atau toko tempat bapak bekerja. Kali ini aku lagi rindu pondok setelah sebulan tidak mengunjunginya. Di tempat itu ada sesosok bidadari yang selalu membuatku penasaran akan dirinya. Lina Qusnul Khotimah.

Suasana di pondok saat sore menjelang senja semakin ramai. Aktifitas para santriwan-santriwati adalah amal solih membersihkan lingkungan pondok. Menurut jadwal piket yang sudah disusun sekretariat pondok.

Saat berjalan di sisi lapangan, seseorang menyapaku.
"Mas Iqbal. Bagaimana kabarnya?? " seorang siswa yang mendorong gerobak galon menghentikan kegiatannya.

"Alhamdulillah baik Den. Ada kabar apa dipondok? " tanyaku penasaran.

"Nggak ada yang hits mas. Kecuali anak santri yang keluar masuk. Kemarin Abi masukin santriwan yang aneh banget. Ansos pokoknya. Bahkan senyum aja enggak. Disapa nggak pernah jawab.. . " jelas Deni. Bahkan aku merasa ada keanehan orang yang dibicarakan Deni saat mendengar penuturan Deni.

"Oya? "

"Tapi anehnya kalau ketemu Abi atau mbak Lina dia jadi kendor lhoh mas tegangnya. Jadi bisa senyum gitu. Aneh kan?? "

Perasaanku mulai nggak enak. Takutnya lagi si cowok itu adalah calon Lina atau orang yang dijodohkan Abi dengan Lina.

"Masa sih? Calonnya Lina? "

"Nggak tahu Mas. Mas Iqbal sih nggak ngelamar-ngelamar. Kesamber orang baru tahu rasa. " goda Deni yang membuatku semakin takut saja.

"Ah jangan doain gitu apa Den. Orang kayak aku ni susah move on lhoh. "

"Curhat? Hahaha... " si Deni malah semakin ngakak.

"Abi mana deh? "

"Coba rumah sabil. Cek gih. "

Tanpa disuruh dua kali aku menuju rumah Abi. Tempat Ayah, ibu, dan Lina tinggal.

Ada beberapa anak santri yang mengisi galon dan menyapaku. Aku balas menyapa mereka. Kira-kira dimana santriwan baru itu berada ya?

"Assalamualaikuum?? "

Abi menjawab. "Waalaikum salam waroh matullahi wabaro kaaatuh.. Iqbal anakku?? " Abi merangkulku akrab. "Gimana bapakmu? Kapan bisa mulai ngajar lagi? "

Selain bekerja di toko, bapak terkadang mengajar di pondok. Biasanya cuma melatih bacaan siswa dan memberi nasihat-nasihat penguat tauhid saja.

"Ibu masih belum bisa ditinggal Bi. Masih lemes. Abi Kaifa hal? "

"Alhamdulillah Allah masih memberi rezeki sehat.." jawab Abi. "duduk dulu. Abi panggilkan Umi ya. Atau Lina? "

Aku hanya tertawa. "Siapapun boleh Abi,"

Beberapa saat Abi masuk kemudian keluar dengan Ummi. Umi menangkupkan tangan kepadaku sebagai isyarat berjabat tangan. Lina juga keluar namun dengan membawa mangkuk berisi Soto.

"Eh, Akhi.. Sudah baikan? Lama sekali nggak main kesini sih? " Lina sekarang dengan terang memanggilku Akhinya. Tutur katanya pun semakin lembut. Dan dirinya semakin dewasa dan matang. Membuat debaran jantungku semakin kencang saat bersirobok dengan mata beloknya.

"Baru aja Lin. Soto buat siapa? "

"Buat santriwan baru Akhi. Dia nggak mau makan kalau dengan yang lain. Emosinya masih labil banget. Nggak mau ketemu orang lain. "

"Boleh Akhi temenin? " sergahku langsung. Aku sangat penasaran. Siapa lelaki itu? Lelaki yang kemungkinan juga membawa hatinya untuk Lina-ku.

"Ayo Akhi.. "

"Awas ya.. Jangan pepet-pepet.. " Abi memberi peringatan padaku yang kubalas dengan cengiran.

"Siap Bii.. "

"Kapan yaa kita besanan sama Pak Riski sih Bi? " kata Uminya Lina.

"Bentar Umm.. Kan kamu tahu sendiri cobaan keluarga mereka belum reda. Belum habis ini muncul itu.. Nanti dulu kalau sudah tenang kita rembuk dengan Iqbal.. " kata Abinya Lina. Kedua orangtua itu menatap senang sepasang insan yang sangat cocok itu berjalan berdampingan menuju kamar tamu. Tempat santriwan baru selama ini tinggal.

Tok tok tok... "Assalamualaikuum.. Mas, ini Lina. "

Tak butuh waktu lama pintu terbuka. Sesosok muncul dengan senyuman sumringah. "Lina?" katanya bahagia.

Perasaan pertama saat melihat orang itu adalah sakit. Bukanlah perasaan bahagia yang seharusnya. Bagaimana hati ini nggak sakit melihat ia yang begitu kurus dan mungkin selama ini menanggung derita sendirian??

Santriwan itu adalah Panji. Kakakku yang selama ini menghilang dari hidupku. Matanya yang hitam menatapku sejenak. Lalu ia menutup pintunya seketika.

"Mas.. Kenapa tutup pintu? " sergah Lina terkejut.

"Kenapa Lina bawa orang lain? Kenapa Lina nggak datang sendiri? Apa salah Panji?? "

Hatiku kembali sakit mendengar nama itu. Jadi benarlah dia kakakku. Panji Seka.

Aku menggedor daun pintu itu.

"BUKA!! Buka pintunya Mas!! Ini Iqbal. Adikmu! Cepat buka nggak!! "

Lina bingung harus melakukan apa?

"Nggak! Pergi!! Jangan ganggu Panji!!! " teriak lelaki didalam penuh ketakutan.

Apa sih? Emang aku salah apa? Terus kenapa Mas Panji nggak mengenali dirinya??

"Mas!! Ini Iqbal mas! Inget nggak sih!! " kataku kesal.

"Pergii! PERGIIII!!! " raung Mas Panji semakin keras.

Mendengar keributan beberapa santri datang. Bahkan Abi juga datang dan bertanya ada masalah apa sebenarnya?

"Yang didalam sana kakak saya Bi. Kakak yang sudah lama saya cari. " kataku dengan susah payah. Dada ini semakin sakit. Tenggorokanku tercekat menahan tangis.

Sikap apa itu?

Tindakan apa itu?

Dia bahkan tidak mengenali adiknya sendiri dan malah menjerit memintaku pergi.
















Bagaimana Chapter ini?

Bersambung..


Mohon tinggalkan jejak.. 🙏🐹🐹

PANJI  (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang