Chapter 18 : Pulang

74 8 0
                                    

Setelah sholat isya' kegiatan di pondok adalah mengkaji kitab kuning. Gurunya diambil dari ustadz-ustadz yang mumpuni. Salah satu guru adalah Riski Setya. Ayah yang sudah jatuh bangun membesarkan tujuh anaknya bersama istri tercintanya.

Kali ini Ustadz Riski mendapat jadwal malam.

Pak Riski tergolong awet muda. Usia nikahnya saat itu baru 22 tahun. Sekarang pun masih terlihat muda walau usianya menginjak kepala lima. Tak terlihat. Mungkin karena Pak Riski rajin olahraga bersama keluarganya. Dan menjaga menu sehat keluarga. Alhasil semua anak Pak Riski juga tumbuh dengan baik. Selain menjaga badan olahraga pun membuat keluarga mereka menjadi disiplin secara otomatis.

Ruang istirahat Ustad melewati kamar tamu saat akan menuju ke kelas. Riski menatap pintu yang terbuka itu. Pintu kamar Panji yang sudah beralih di bawah lagi. Suatu saat pun Panji harus ikut tidur bergabung dengan santri yang lain. Menyesuaikan peraturan pondok.

"Hhh.. " Riski menghela nafas. Sebenranya ia sakit diabaikan anak sendiri seperti ini. Ber tahun-tahun ia coba sabar dan fahami. Namun ia masih lelah hati saja. Bukan karena kesalahan Panji anaknya tempo dulu. Tapi lebih karena Panji tak membaginya dengannya dan malah berbagi dengan jalanan yang mungkin membuat hidupnya menderita. Riski pun melanjutkan langkah.

Pengajian season malam selesai pukul sembilan malam. Karena banyak juga yang masih sekolah maka pengajian dijadwal singkat. Sisanya mereka gunakan untuk mengerjakan tugas sekolah.

Biasanya Riski mengobrol dulu dengan para santriwan atau santriwati sebelum pulang. Kali ini dengan para akhwat. Di meja penerima tamu Pak Riski membuka percakapan.

"Fat, kapan nikah Fat? " tanya Riski pada ketua sanntriwati. Yang ditanya malah tertawa.

"Mbok pertanyaan lain to pak..? "

"Ya gimana, pengennya tanya itu kok. "

"Lha bapak ada ikhwan nggak, yang mungkin saya cocok? "

"Whaa.. Kalo masalah itu banyak yang bapak kenal. Tinggal pilih. "

"Masa cewek milih pak? "

"Ya nggak papa. Cewek kan juga berhak milih. " Pak Riski tertawa.

Saat percakapan seru itu tawa para santriwati terhenti. Riski juga diam menatap seseorang yang datang menghampiri mereka.

"Bisa bicara Ustadz? " kata orang itu yang adalah Panji.

Riski sebenarnya ingin tertawa ngakak dirinya dipanggil Ustadz sama anak sendiri. Biasanya juga manggilnya Bapak atau Babe.

"Bisa. "

Panji langsung berbalik diikuti Pak Riski menuju ruang tamu. Mereka berdua duduk berhadapan.

Sementara itu para santriwati mulai kasak kusuk dengan tingkah Bapak Anak yang bikin geli sekaligus miris itu.

"Mau bicara apa? " Riski bertanya. Menatap sorot hitam Panji yang serius.

"Saya ingin bicara sebagai anak bapak. "

"Eh? " Riski nggak tahan lagi buat nggak ketawa. Dia juga senang akhirnya Panji sudah mau menemui dan bicara dengannya. "Tentu saja. Selama ini kan kau memang anakku? Hasil dari kerja kerasku dan istriku. "

"Saya ingin melamar seorang gadis,.. Pak? " singkat. To the point. Memang Panji betul kalau begini. Dia selalu mengambil keputusan dengan cepat. Tanpa menanggapi guyonannya.

Sebenarnya Riski sudah menebak siapa gadis itu. Namun dia tetap bertanya. "Siapa? "

"Lina Qusnul Pak. Putrinya Abi Dar. "

Perasaan berat hati dirasakan Riski. Ah.. Lina.. Bukankah putranya Iqbal juga mencintai Lina? Tetapi Iqbal pemalu jadi tidak segera meminang Lina. Dia pun terlalu memikirkan nasib Anas dan Panji selama ini sehingga menunda terus melamar kekasihnya.

Riski masih diam.

"Pak? "

"Kamu sudah yakin? Sudah istikhoroh? "

"Sudah kuistikhorohi. Dan hatiku semakin mantab mencintai Lina. Aku ingin menyempurnakan agamaku dengan Lina."

"Hhh... "
Kenapa malah jadi begini? Kedatangan Panji ini. Kenapa malah membuat rumit begini? Jujur ia sangat bahagia. Namun detik berikutnya ia gulana. Terlebih nasib yang paling menderita pasti jatuh pada Lina. Karena dia harus dicintai dua laki-laki yang sedarah. Satu cintanya sejak sekolah. Satu lagi orang yang membutuhkan kehadiran Lina dalam hidupnya.

"Bagaimana kalau kau menemui ibumu dulu? "

"Baik. "

Panji berdiri dan masuk ke kamar tamu. Tas yang sudah dipersiapkannya ia ambil. Berisi sedikit pakaian yang ia miliki.

"Sekarang sudah siap? " Riski bertanya takjub. Benar-benar orang yang ulet.

"Iya. Panji siap pulang sekarang pak. "

"Yaudah kalo gitu. Yuk kita pulang! "

Riski membonceng Panji di motor CBR nya.

Debaran jantung Panji mengeras. Setelah lima tahun akhirnya ia pulang untuk pertama kalinya.







Entah chapter ini hilang atau pas aku edit jadi kehapus gitu.. Chapter ini isinya Cuma 600 kata, hm.. Wkwk.. Tapii tetap tersambung kok..

T B C

PANJI  (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang