Chapter 4 : Pemuda Bugis dan Pemuda Jawa

156 19 61
                                    

Panji mulai menyesuaikan diri dengan cepat. Sedikit demi sedikit ia melupakan kesedihannya. Beberapa hari menjadi pelaut ia laluinya dengan sabar. Namun di mana pun pasti selalu ada makhluk yang berjenis wanita.

Di sini pun juga. Ada beberapa wanita yang melirik padanya. Tetapi takut-takut untuk mendekat. Fuh. Untungnya ini bukan Jakarta. Tempat kebebasan merajalela. Ini adalah Beba, kampung Nelayan kecil di Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan.

Panji sedang membatu Ando Sambara menaikkan jala dan menyirami badan kapal sebelum berangkat melaut (adat suku bugis yang diturunkan dari nenek moyang. Masyarakat di sini percaya ritual menyiram body kapal ini bisa menolak bala di tengah melaut. Tetapi, penjelasan nalarnya untuk mencegah keretakkan di bodi kapal karena sengatan matahari) saat ada seorang gadis yang sedikit malu-malu menghampirinya.

Perasaannya Panji tak enak. Seketika ia membentuk benteng dalam dirinya ketika si gadis makin mendekat.

"Mauki melaut kak ? Tabe' kopi, minumki." kata gadis itu dengan logat Malayunya. Panji sedikit paham gadis itu bertanya. Mau melaut kak? Kopi, silahkan diminum.

"Tidak usah!" kata-kata itu terlontar begitu saja. Sekarang ia lebih hati-hati untuk tidak menerima pemberian seseorang dengan cuma-cuma. Hei, dunia ini nggak ada yang gratis. Sudah cukup kenaifannya saat remaja menghancurkannya. Sekarang, ia tak akan membuka cela sedikit pun orang-orang yang memberinya dengan maksud tersembunyi di dalamnya.

"Eh, kenapa Kak? Biar malamnya nggak ngantuk." kata gadis itu lagi, gigih.

Secara refleks Panji menampik tangan si gadis yang sudah mengulurkan tremos kopi. Sehingga tremos itu terjatuh di pantai.

Gadis itu mencelos. Sangat kecewa dengan sikap kasarnya Panji. Karena tidak tahan, ia lalu pergi sambil menangis. Ia telah dipermalukan oleh pemuda yang entah darimana datangnya itu ke bumi kelahirannya.

Belakangan, Panji baru mengetahui bahwa gadis itu bernama I Dewangga. Putri seorang tetua yang cukup dihormati di Beba Galesong. Dia adalah primadonanya Beba. Sudah puluhan lamaran ditolaknya. Dan dunia sudah menunjukkan hukum karma pada si I Dewangga. Gadis malang itu juga ditolak sekali. Oleh Panji Seka yang bahkan belum lama menetap di Beba Galesong.

"Kau mencintai anak rantau itu?! Masih banyak bujang Beba yang lebih sesuai dengan kita! Kenapa malah kau jatuhkan hatimu pada lelaki antah berantah itu! " Daeng Manghelai merasa marah setelah dilapori putrinya.

"Dewangga tak bisa memilih takdir Pak. Salah kah Dewangga mencintai Kak Panji Seka? Selama ini dia dikenal pemuda baik dan ramah. Huhu.... " Dewangga menangis lagi.

"Tapi kau bilang tadi dia ketus pada kau?! Apa itu namanya lelaki baik? Dia orang baru sudah bersikap kurang ajar pada putriku. Harus diberi tindakan ini. "

Di pagi harinya, rumah Pak Sampara di datangi beberapa orang yang menyertai Daeng Mangelai, ayah dari I Dewangga. Sampara yang orang miskin merasa aneh didatangi tamu-tamunya itu yang bisa dibilang dari keluarga terpandang di kampung Nelayan kecil itu.

"Dimana pemuda itu? "

"Siapa yang anda maksud, Daeng Mangelai? Anak lelakiku Arka sedang ada di Jawa. " kata Sampara takut-takut.

"Bukan Arka! Tetapi pegawai melautmu saat ini. Hadapkan dia padaku!" gertak Mangelai tegas. Suaranya membahana, membuat siapapun yang mendengarnya merasa ciut.

Sampara hanya panik. Dia lalu pamit untuk memanggil Panji yang sedang menggelar ikan asin di belakang rumah.

"Panji Seka. Ada yang mencarimu. " kata Sampara. Dia panik luar biasa.

PANJI  (Completed) Where stories live. Discover now