Chapter 36 : Menghindar

42 4 1
                                    

Vaksinlah jiwamu dengan Alqur'an,
Maskerkan dimulutmu kata-kata dzikir,
Dan jaga jaraklah dari perbuatan maksiat,
Niscaya kau akan selamat dunia akhirat,
ByAndriansyahPare

***

Telepon masuk berdering berkali-kali. Masih nomor yang sama. Sesekali ada panggilan dari Kakaknya, tapi masih tak ia gubris. Nomor yang tak disimpan itu menelepon lagi. Kesal, Iqbal menyetel Hp-nya mode senyap agar panggilan-panggilan itu tak didengar olehnya.

Dia menatap hamparan danau yang mengering. Lumpur kering yang mengeras yang dahulunya dasar danau kini mulai ditumbuhi rumput hijau. Sepanjang mata memandang, terlihat hijau, dan di kejauhan ada kilatan dari sisa air danau.

Suasana dan pemandangan ini cukup menjadi hiburan untuk hatinya yang sedang galau. Apa obatnya galau? Untuk makan tak berselera. Mengenang yang terjadi, malah lebih sakit.

Saat ini dirinya berada di warung makan Pak Bandung yang berdiri di tepian danau. Warung yang menyajikan aneka masakan ikan air tawar dan laut ini sudah berdiri dua generasi dengan bangunan semi permanen yang terlihat sederhana, namun rasa makanannya sangat berkelas. Ya, Iqbal sedang nongkrong di warung Pak Bandung langganannya sejak SMA. Kalau di tepi ranu kumbolo pun ada warung Pak Bandung ini, tentu masih banyak penikmatnya walau haru menempuh pendakian yang melelahkan.

"Teh mu nganti adem Bal. (Tehmu sampai dingin Bal.)" Pak Bandung yang sudah mulai sepuh menghampirinya sambil membawa sepiring bakwan panas.

"Ee, enggeh pak( Iya Pak.) . Nggak apa-apa."

"Dewe an? (Sendirian?) Tidak sama temanmu Ali itu? Kabarnya gimana? " kata Pak Bandung. Dia lelaki paruh baya yang sederhana. Pakaiannya hanya kaos oblong dan sarung yang dililit di pinggangnya. Walau usahanya lumayan laris, ia tak pernah mengubah citra sederhana dalam diri dan warungnya.

"Ali baik-baik saja Pak. "

"Ali. Kamu. Kalian berdua bapak kira seperti ketel dan gelas. Kamu ketelnya. Ali gelasnya. Tapi, jika ketel itu kering, apa bisa mengisi gelas dengan air? Le, sekarang, apa penyebab ketelmu iku kering? Opo cinta? Pekerjaan? Teman? Lha wong teman akrabmu ya mung Ali lho.. " kata Pak Bandung dengan penuh hati-hati.

Iqbal terkekeh saat mendengar Pak Bandung menyindir dirinya. "Cinta, Pak. Rumit pokoknya kalau dijelasin. "

"Ealaaah ... Sabar. Kita boleh terluka. Tapi jangan jadikan luka itu alasan untuk menderita. Apalagi menderita yang berlama-lama. Sampean kui masih muda, ganteng, masih banyak kesempatan buat bahagia. Hla mbok bapak waktu seumurmu, wooo mati satu tumbuh seribu."

Kelakaran Pak Bandung membuat Iqbal tergelak. Dia berbicara dengan gayanya yang khas dan lucu.

"Lha gitu to. Happy gitu lho. Apa lagunya jaman sekarang? LOS DOL? "

"Iya pak. Matur nuwun hlu, Pak. (Terimakasih, Pak). "

"Iyo, cah bagus. Sampean kui harus metik hal yang positif saja. Liyane, tidak usah digagas. Tinggalkan! Ingat! Lupakan dua, ingat dua. Lupakan kebaikanmu pada orang lain, dan lupakan orang yang menyakitimu. Ingat dua, kematian, dan Allah.. Insyaallah hidupmu akan menjadi tentram. Mau cobaan seberat apapun, semua itu akan terlewat dan tergantikan dengan hal yang baru. Awal baru. Hidup baru. Iya to? "

"Iya Pak. "

"Tapi sek paling penting. Jangan melarikan diri Bal. Hadapi, luka kui tidak hilang dengan melarikan diri, tapi dengan dihadapi. Wes, sekarang jawaben telepon kui. Dari siapapun. Siapa tahu itu hal penting. "

"Baik Pak. Terimakasih ya, Pak. "

"Sama-sama. Jangan lupa bakwannya dimakan, mbokdhemu isoh gelo kalau tidak dimakan. "(Budemu bisa kecewa)

Pak Bandung meninggalkan Iqbal sendirian lagi, gorengan hangat itu lumayan menggugah selera. Atau perut Iqbal yang sudah keroncongan dari tadi saja meminta jatahnya. Sambil mencomot gorengan, ia mengirim pesan pada nomor yang tidak disimpannya.

Ada apa?

Panggilan masuk lagi.

"Halo. Kenapa tidak datang? " terdengar suara wanita di seberang sana.

"Saya berubah fikiran. Maaf. Rasanya mbak tidak punya alasan bertemu dengan Panji. "

"Agi. Akan dibawa oleh Juna. Dia orang yang tidak beradap. Aku ingin Agi bersama Panji! "

"Mbak, anak yang terlahir dari hubungan diluar nikah... Itu putus nasab dengan ayahnya. Jadi Panji tidak ada hubungannya dengan nasib Agi. Itu adalah keputusan Mba. Jadi saya harap mbak bisa bertanggung jawab dengan hidup Agi. Jadi, jangan pernah ganggu kehidupan kakak saya lagi Mba. Assalamu alaikum. "

Iqbal menghela nafas berat. Sedikit bebannya berkurang. Ya. Ini keputusan paling tepat yang bisa ia lakukan. Dan mengenai foto-foto yang dilihatnya di laptop Akbar, pasti Mas Panji punya penjelasannya sendiri. Dirinya hanya perlu melangkah hati-hati agar tak tergores duri-duri yang diinjaknya. Cukuplah, duri itu menancap tak perlu lagi merobek kulitnya.

***

Panji menelepon Iqbal berkali-kali, namun tetap tak dijawab. Sepertinya Iqbal memang sengaja atau menghindar darinya. Undangan Iqbal untuk menemuinya juga berupa undangan semu dimana si sang pengundang malah tak tampak batang hidungnya. Sebaik mungkin, ia ingin memperbaiki keadaan. Namun entah jalan mana yang ingin dilaluinya, ia merasakan firasat buruk. Seperti ada monster ganas yang menunggu di semua ujung jalan.

Kabut mulai datang menyambut hawa dingin malam untuk mengantarkan sang surya kembali bertugas di belahan bumi lainnya. Kota Malang selalu begini. Berkabut di sore harinya walau tak setebal ketika melewati jalanan hutan. Cukup melihat lalu lalang kota Malang ini, sudah menghibur hatinya walau tak sepenuhnya. Panji memilih berjalan kaki untuk pulang. Dia sering menggunakan fasilitas umum untuk bepergian atau memesan ojol karena tidak punya kendaraan sendiri. Namun berjalan ini terasa lebih baik. Waktu seakan berjalan lambat di sekeliling Panji.

Banyak mobil atau motor menyalipnya. Banyak pejalan kaki juga. Termasuk para penjelajah alam dengan carier mereka yang menjulang. Mereka biasanya dari berbagai kota untuk mendaki gunung tertinggi di pulau jawa. Untuk melihat pucuk Maha yang bak diatas kahyangan.

Mahameru.

Satu pesan masuk dari Iqbal.

'Maaf Mas, saya batalkan janji dengan Mas! '




T B C

Hai, saya harap chapter ini tidak melenceng dari cerita. Kebanyakan akhir-akhir scene galau. Atau hanya aku yang selalu galau? Wah pokoknya gitu lah.

Terimakasih sudah mampir ya, saya harap kalian meninggalkan jejak.. ☺🙏

PANJI  (Completed) Where stories live. Discover now