Chapter 3 : Istiqomah

164 19 51
                                    

Panji terbang ke Makassar menggunakan pesawat. Setelah mendarat di Bandara Sultan Hasanudin Panji ingin sekali melihat Pantai. Beruntung dia masih mempunyai tabungan dari ayahnya di Malang, sehingga mungkin cukup untuk backing hidupnya selama dua atau tiga hari ke depan. Perjalanan Panji di Makasar membawanya di Pantai Beba. Pantai ini masih memiliki pasir untuk dipijak. Warganya juga kebanyakan nelayan, karena itu, banyak perahu nelayan ditambatkan. Panji menenteng sepatunya merasakan pasir dengan kakinya. Dia kemudian berbaring dan merasakan lembutnya pasir di punggungnya. Ahh, ia harap semua yang dialaminya akhir-akhir ini hanya mimpi.

Mata Panji terbuka tiba-tiba. Ia tertidur di pantai seusai jalan-jalan subuh tadi. Dan sekarang baru pukul 6 pagi. Dia sudah disuguhi mimpi buruk itu lagi.

Panji bangkit duduk. Dia meremas rambutnya yang mulai agak panjang ini. Rasanya masih frustasi. Belum ada orang yang bisa ia ajak bicara selama ini.

Orang tua?  Ah, apakah mereka masih menerima Panji?  Atau ibu sekarang sudah sangat menyesal telah melahirkannya? Bapak juga pasti marah besar pada dirinya.

Mereka pasti kecewa berat. Anak yang sangat mereka banggakan kini telah jatuh dan menjadi posisi hina dimata orang yang mengetahui aibnya. Yah, kemana dia harus lari?  Dimana orang tidak akan mengetahui aibnya?

Panji merogoh poketnya. Ia teringat salah satu adiknya, Iqbal. Iqbal sangat pendiam. Apa dia bisa dijadikan teman curhat?  Atau mas Anas?  Tapi dia sekarang sedang sibuk kerja entah dimana. Nomornya pun Panji tidak punya.

Akhirnya nomor yang Panji hubungi adalah milik adiknya, Iqbal.

"Haloo...." suara di seberang sana.

"Assalamualaikum Iqbal. "

"Waalaikum salam. Mas Panji? Mas dimana?  Mas di DO kan?  Kenapa nggak pulang ke rumah? "

Hhh ...  Entah kenapa pertanyaan singkat Iqbal itu berat untuk menjawabnya. Karena semua jawabannya memalukan. Dan ia juga sangat malu dan merasa hina untuk pulang ke rumah.

"Iqbal.. Kabar Bapak sama Ibu baik disana? "

Kini ganti Iqbal yang sulit menjawab. "mereka sedih mas. "

"Mas Panji belum bisa pulang. Bilang gitu aja ya. Dimanapun mas Panji, Mas Panji baik-baik saja."

"Mas.. "

"Hm? "

"Tetap istiqomah ya. "

Dan dada sesak Panji semakin berat seketika. Ia matikan teleponnya. Sungguh ia sangat rindu. Ia ingin tumpahkan kesedihannya pada orang tuanya. Ia ingin mengecup ibu dan meminta maaf.

Tetapi ia terlalu takut. Ia masih pengecut. Ia takut berita itu sudah tersebar dirumah. Meski ada undang-undang IT yang membuat video itu terkena batasan usia. Entahlah. Atau foto-foto panasnya dengan Reni.

Ahh.. Memalukan. Hina. Kenapa bisa aku lakukan semua itu?????!!!    Panji masih menangis hingga tanpa terasa matahari telah bersinar hangat.

Beberapa nelayan menepikan perahu mereka dan menurunkan hasil tangkapan. Seorang bapak tampak kesusahan karena tangkapannya yang lumayan banyak. Kesempatan yang sangat bagus untuk Panji menekuni lautan.

"Boleh saya bantu bapak? "

Si bapak langsung melongo. Dia buru-buru menolak permintaan Panji. "Tak usah dek. Saya nggak sanggup bayar. "

"Saya tidak minta dibayar pak. Gratis saja. "

"Benar ini?  Ya sudah satu keranjang saja langsung ke TPI yaa.. "

Panji mengangguk dan tersenyum. Pasarnya sudah ramai. Panji mengikuti bapak itu sampai pada pengepul ikan.

Fiuh.. Memang cukup berat memanggul keranjang penuh ikan itu.

Kruyuuuk.. Kruk..

Cacing kurang ajar Panji yang bicara.

"Duh, maaf pak. Saya sangat tidak sopan ya. " Panji tertawa malu.

"Wkwkwk..  Tak apa. Namanya manusia pasti minta nggiling setiap pagi. " bapak itu tertawa maklum.

Sebenarnya sejak kemarin sore Panji belum makan. Karena ia harus menghemat biaya hidup sebelum menemukan pekerjaan. Dan sekarang dia memang laper berat.

"Iya pak. " Panji lagi-lagi tersenyum kikuk dan malu.

Setelah ikan-ikan dijual, si bapak mengajak Panji untuk sarapan. "Kau dari mana? "

"Jawa pak. "

"Jawa? Nama kau siapa? "

"Panji pak. "

"Umur kau berapa? "

"19 pak. "

"Duh pelan-pelan makannya kau kaya tak makan saja. Hahahaha" si bapak mengomentari karena melihat Panji yang makan dengan lahap.

"Oh. Maaf pak. " jawab Panji malu.

"Tambah saja. Tak usah sungkan. Saya benar-benar mood baik hari ini. "

"Terimakasih pak. Tidak usah. "
Sudah cukup. Satu kenyangan ini sudah terasa seperti rezeki nomplok baginya.

"Bapak perlu ditemani ndak melautnya? "

"Eh?  Nak Panji mau melaut? "

"Iya. Membantu bapak. "

"Sejujurnya saya selalu ditemani oleh anak sulung saya. Tapi yah karena dia kuliah di Jawa, jadi, saya melaut sendiri. Baiklah. Kau boleh bantu saya melaut. Nanti malam ne? "

"Baik pak." akhirnya ia menemukan sambungan hidup sementata.

Setelah sarapan, sang bapak yang bernama Sampara, mengantarkan Panji ke gubuknya. Bapak Sampara tinggal bersama Amma' Khadijah dan kedua anaknya yang masih kecil. Bernama Rosi dan Malati.

Keluarga mereka sangat sederhana tetapi tidak kekurangan.

"Alhamdulillah. Allah tak biarkan kami kelaparan. Bapak juga bisa mengirimi Arka uang di Jawa. "

"Alhamdulillah Pak. " Panji turut senang. Ia tinggal di rumah Bapak Sampara dan keluarganya. Di kamar milik si anak Sulung, Arka. Entah untuk berapa lama ia belum tahu. Yang pasti ia akan cari tempat sendiri secepatnya.

***

Iqbal Pov

Iqbal mengelus pundak ibu yang menangis setelah mendengar kabar Mas Panji.

"Apa ia malu? Apa dia putus asa Bal?  Apa dia bisa melewatinya tanpa keluarganya? Huhuhu.. "

Ibu mana yang tidak sedih mendengar kesusahan anaknya yang berat ini. Mendengar anaknya tidak makan sekali dua kali saja ia khawatir. Apalagi hal yang sangat kotor ini menimpa putranya. Beruntungnya sang ibu percaya pada putranya dan percaya pada Allah yang maha Mengatur Segalanya.

"Ya Allah. Tetapkanlah anak-anakku dalam iman kepadamu. " do'a ibu di sela sela tangisnya.

Malang, 1 Oktober 2012
Iqbal Indra Setiawan














Terimakasih dukungan serta komen vote nya..  Author akan lebih perbaiki lagi..  🤓🤓

PANJI  (Completed) Where stories live. Discover now