Chapter 31 : Badai

101 8 9
                                    

Iqbal menunggu khawatir. Sahabatnya Ali masih berada di ruang IGD dan dokter belum keluar memberi kabar. Dia tidak habis pikir Ali bertahan sendirian menghadapi penyakitnya. Keadaan Ali mengingatkannya pada kakaknya, Anas. Tetapi, keluarganya tahu mengenai penyakit Anas. Bahkan semua teman Anas tahu.

"Hei? "

Sebuah sapaan membuat Iqbal menoleh. Si wanita itu lagi.

"Mbak? Agi dirujuk ke RS? "

"Iya. Diagnosanya DBD. Tapi kondisinya membaik. Mungkin besok kita bisa keluar. "

Iqbal membuang nafas. Masih diliputi rasa khawatir pada sahabatnya.

"Mas kenapa di ruang tunggu IGD? Siapa yang sakit? "

"Sahabat saya." jawab Iqbal singkat. Berusaha tidak terlibat terlalu jauh dengan wanita asing yang baru dikenalnya ini.

"O ya. Nama Mas siapa? " tanya Rani memburu. Wanita muda cantik itu duduk tak jauh dari Iqbal. Berusaha mendekati jarak diantara mereka. Tak habis pikir Iqbal. Bagaimana wanita muda ini dengan enjoy-nya bicara pada lelaki asing seperti dirinya.

"Iqbal mbak... Permisi, saya mau ke toilet dulu mbak."

Rani menahan tangan Iqbal yang berjalan melewatinya. Dengan refleks Iqbal menepis tangan nonmahrom itu. Merasakan jari-jarinya memanas akibat sengatan listrik bernama dosa. Iqbal bahkan ingin mencuci tangannya saat itu juga. Kalau perlu menyikatnya.

"Tolong jangan sentuh saya tanpa seizin saya!" kata Iqbal dengan nada tegas. Rani terlena dengan sikap Iqbal yang sarkas. Mampu membangkitkan rasa ingin tahu yang lebih pada sosok Iqbal. Seperti saat ia pertama mengenal Panji dulu. Bedanya, dulu Panji sangat ramah. Tidak menepis kasar tangannya seperti tadi. Dan mengucapkan khadist bahwa 'ditusuk kepalanya dengan besi panas lebih baik, daripada menyentuh nonmahromnya. ' persis seperti uztadz muda yang sedang berdakwah.

Tetapi Iqbal, lelaki ini, memiliki aura lain yang sangat berbeda.

"Maaf... Maaf atas kelancangan saya. " kata Rani menyesal. Takut jika Iqbal semakin marah padanya.

"Saya harap mbak mengerti kenapa saya marah!? Sebab kita bukan mahram mbak. "

"Saya tahu. Saya juga sudah mendengar hadistnya dari sahabat saya, Panji. Dia pernah berdakwah : 'lebih baik ditusuk kepalanya dengan besi panas daripada menyentuh nonmahramnya'." kata Rani mencoba mengingat cara Panji mengucapkannya.

Iqbal memicingkan mata. Semakin berdesir mendengar nama Panji disebut. "Baiklah. Sebaiknya mbak pahami makna hadist itu!! " kata Iqbal lalu berjalan menjauh. Menghindari wanita bernama Rani itu. Iqbal mengambil kesimpulan dengan cepat. Kedatangan wanita ini seolah badai. Badai itu mendekat dan mempermainkan egonya. Jika ia sudah hilang hati nurani, pastilah ia akan mengaku ia adalah adiknya Panji, dan akan mengantar Rani pada Panji yang sudah 'merebut' Lina dari genggamannya.

Tetapii..  Ahh..  Dada Iqbal semakin sesak. Airmata berlinang dari matanya.

'Jodoh ada di tangan Allah Bal. '

Itu kalimat yang selalu ia lafalkan.

"It's ok. Daijobu Iqbal San. Yoroshikune! " ucap Iqbal menyemangati diri sendiri. Setelah menenangkan perasaannya, ia keluar dari toilet pria menuju IGD secepat mungkin.

"Ali. Lo nggak di-opname? "

"Nggak Bal. Gue rawat jalan aja. Dokter udah kasih obat kok. Dan gue juga melakukan terapi bertahap. "

Ali terlihat lebih sehat dari saat mereka baru datang tadi. "Heee.. Gue tahu. Lo takut kehilangan gue ya? " goda Ali.

"Bercanda lo nggak lucu Li. Lo tahu kan kakak gue terkena Limfoma? Dia terkena kanker yang menyerang sistem kekebalan tubuhnya yang mengakibatkan Guillain Barre-Syndrom? Gue aja hampir nggak percaya dia sudah tidak ada di dunia ini Li. "

Ali sangat mengerti perasaan sahabatnya. Dia tahu rasanya sakit kehilangan. Seperti ia dulu kehilangan ayahnya karena gagal jantung. Apalagi Kak Anas meninggal di usia muda. "Gue tahu kok Bal. Maaf deh. Makan yuk! "

Iqbal mengikuti Ali menuju kantin rumah sakit. Entah masih buka atau tidak karena malam semakin larut saja. Tetapi untunglah masih ada pedagang bakso dan fastfood yang masih buka. Ali menraktir Iqbal bakso untuk menemani hawa dingin di sekitar mereka.

"Lain kali Lo harus terbiasa jalan sama temen lo yang lain Bal. "kata Ali.

Mudah sekali mengatakannya. Memiliki seribu teman memang mudah. Tetapi memiliki satu sahabat itu sangat sulit. Dan sampai saat ini hanya Alilah sahabat Iqbal. Satu-satunya. Jadi, Iqbal tak akan habis pikir jika ia harus kehilangan sahabat karibnya ini. Membayangkannya saja membuat dada Iqbal sesak dan memilih makan baksonya dalam diam.

"Lo harus bisa keluar dan move on dari Lina. Mempersiapkan karier untuk masa depan lo! " nasehat Ali lagi. Iqbal semakin benci cara bicara Ali yang seakan berpamitan ini.

"Li! " Iqbal menaruh sendoknya. Kali ini ia benar-benar meneteskan airmatanya. "Sahabat itu adalah teman. Dan teman belum tentu bisa jadi sahabat!! Apa lo mau gue pecat sebagai sahabat gue? Apa lo emang sudah mau pergi? "

"Yaaa.. Umur nggak ada yang tahu. " Ali meminum es tehnya. Menghindari tatapan marah Iqbal.

"Makanya, jangan ucapin hal-hal aneh seperti itu! Kalau perlu, sekarang lo harus sembuh! Bagaimanapun caranya!! "

Ali hanya tersenyum. "Hnnn... Allright, "

***

Rani menuju parkian mobil. Di sana Juna menunggunya. Saat berjalan tergesa, dompet Rani terjatuh dan Rani memungutnya. Matanya terpaku saat melihat sesuatu yang familiar. Sebuah stiker. Stiker dengan nama yang sangat familiar. Otaknya bekerja cepat mengirimkan dopamin ke sel-sel otaknya. Dan ia mengingatnya.

Stiker dengan background gunung. Dengan nama RizAdventure. Khas nama penyewaan dan penjualan alat-alat outdoor. Dan ia sering melihat stiker itu di dinding kosnya Rian dan Panji. Ya. Panji juga menjalankan bisnis RizAdventure di kampusnya. Dan stiker ini menempel di slebor sebuah motor.

Rani mencatat nomor hp dan alamat RizAdventure itu. Menemukan titik terang dimana keberadaan Panji sekarang. Entah keberhasilannya berapa persen, Rani belum tahu. Ia hanya rindu.

Namun saat ini, Juna, suaminya.

"Rani. Ngapain lo disitu? "

"Juna. Aku udah siapkan surat gugatan cerai atas dasar KDRT. Jadi please, lepasin aku! Biarin aku pergi!"

Juna tersenyum smirk. "Tapi Agi harus sama aku!" kata Juna.

"Agi? Kau bukanlah ayah dari Agi!!"

"Ow ya? Dasar perempuan pelacur!!"

Tamparan mendarat keras di pipi Juna. Penghinaan yang mendalam itu, amat menyakitkan. "Kau.. Yang lelaki sampah! "

Juna mencengkeram Rani kuat. "Kau nggak akan aku lepaskan. Kamu udah janji untuk menjadi budakku seumur hidup. Dan Panji, dia bukan lagi hakmu Rani! Wanita sampah sepertimu tidak pantas, bahkan untuk menunjukkan wajah di hadapan Panji!" desis Juna. Lelaki itu melepaskan cengkeramannya dan meninggalkan Rani. "Setelah Agi sembuh, aku akan bawa Agi jauh darimu. Jauh dari semua kebusukanmu. "
Juna berlalu memasuki koridor rumah sakit.
















Authornya kipas-kipas sendiri mendalami perasaan Iqbal dan Rani.

Well, dari cerita di atas apakah Juna itu baik dan Rani jahat? Atau sebaliknya?

See u next chapter..  ☺

PANJI  (Completed) Where stories live. Discover now