Chapter 10 : Pulang

126 11 39
                                    

Setelah percakapan singkat dengan Sidik, niat Panji semakin bulat untuk pulang. Sudah terbayang bagaimana para teman-teman masjidnya nanti menilainya. Orang tuanya yang kecewa. Adik-adik yang dulu memandang bangga dirinya. Pasti citranya sudah rusak di kampung halamannya sendiri.

"Kenapa Nji? Dia minta ganti rugi?" Sena bertanya saat melihat wajah Panji yang sendu. Seperti menyimpan banyak pikiran di otaknya.

"Bukan itu kok. Dia cuma ngabarin keadaan keluargaku."

"Dia tetanggamu? Orangtuamu sakit? Kamu disuruh pulang?" serbu Sena

"Aku nggak tau, Sen. Iya, aku disuruh pulang dulu," kata Panji. Benar juga. Selama ini Panji tidak mengetahui apakah orang tuanya sehat.

"Woi, Guys. Jam berapa sekarang? Bentar lagi pasar malam mulai! Pe'a bgt sih...." Gun meneriaki mereka.

Benar. Sudah setengah tujuh. Dan seharusnya memang sudah mulai. Pasar Malam mereka menyewa lahan kosong pribadi untuk dua minggu. Dan bisa gawat kalau regu wave belum sampai di tempat. Bisa-bisa didamprat langsung sama Bos Sajiman. Atau teman-teman yang lain memarahi mereka.

"Iya, nih. Gawat!" seru Sena. Mereka segera tergesa kembali ke pasar malam.

Sekitar lima belas menit mereka mengejar waktu. Beberapa tiket wahana wave sudah terjual. Meski wahana wave belum diputar-karena nggak ada yang mutar juga pengunjung belum memenuhi.
Cuma ada Khalis seorang yang membantu pengunjung naik ke atas wave menggunakan tangga.

"Kalian dari mana?" Khalis berkata kesal. "Sial. Naikin pengunjung sendiri. Nyiapin ini itu sendiri. Kita disini kerja woy!" Khalis yang biasanya kalem benar-benar marah.

"Maaf, Lis. Tadi ada insiden. " Meski masih terengah, Sena meminum air mineral, menggosok tangannya yang licin karena keringat ke tanah. Lalu mulai mengatur duduk pengunjung agar wave bisa seimbang.

Panji? Tentu dia juga membantu Sena dan Khalis mengatur penumpang wahanan ombak banyu. Karena sebentar lagu kuota terpenuhi dan wahana bisa dimainkan.

Sang primadona Wave.

Karena Panjilah yang wajahnya lebih menarik dari pada yang lain. Senyumnya yang lebar dan menarik, membuat para pengunjung lebih asyik menikmati wave daripada yang lain.

"Musiknya maas!" pinta seorang anak kecil. Panji mengenalinya sebagai anak dari perempuan motel yang dulu pernah sebentar ditinggalinya. Nama anak kecil itu Popa.

Sena menancapkan HP nya pada speaker dan memainkan lagu bit cepat. Lagu dangdut tren kekinian.

Ketiganya menggoyang wave saat wahana itu sudah penuh dan seimbang. Mendorongnya sambil berlari, menariknya hingga mengayun membentuk ombak, hingga membuat penumpang menjerit-jerit. Salto Khalis banyak mengundang perhatian. Sena juga tak kalah berani. Dia di palang besi jungkir balik.

Panji? Dia tak mau ketinggalan. Dia melompati celah besi diantara penumpang dan mendarat dengan salto sempurna. Tentu semua itu dilakukan dengan timing wave yang tepat. Salah-salah bisa terseret wahana wave atau gagal action dan cidera.

Kalau wave sudah berputar cepat, saatnya istirahat. Para pemutar wave duduk di kaki wave sembari mengatur nafas. Gun memilih duduk di kursi penumpang yang kosong sebagai tempat istirahatnya.

"Panji kenapa? " Khalis menyenggol Sena dan meminum mineralnya. Ngos ngosan.

"Kayaknya ingin pulang." Sahut Sena tak kalah capek. Napasnya terengah. Tapi adrenalin saat memutar wave mengalahkan capeknya.

"Waduh. Bakal cari penggantinya."

Yang diomongin juga sibuk menenggak minumannya. Agak jauh dari dua temannya didekat loket masuk.

Seberapa sekaratnya mas Anas ya? Batin Panjk terus bergulat.

"Nji," panggil Sena.

"Hm?"

"Kalo kamu sambil melamun kayak gitu salah-salah pala kamu kepentok besi terus Koit lagi. Bentar lagi kita klimaks. Bisa manjat nggak?" tanya Sena. Memastikan semua pemutar wave untuk fokus. Selama ini wahana paling melelahkan adalah ombak banyu. Meskipun semua wahana di putar dengan tenaga manusia, tetapi karena efek ombak itu, membuat wahana ombak banyu sedikit berbahaya dan beresiko. Jadi harus dilakukan dalam keadaan fokus dan total.

"Bisa kok. Aku ok," kata Panji meyakinkan Sena.

"Kalo gitu yang semangat dong!"

Panji mengangguk dan tertawa drama sambil mendorong Sena bercanda. Memang kalau nggak semangat, nggak semangat juga mutar ombaknya. Nggak ada tenaga. Nggak bisa aksi juga.

Saat wave mulai akan berhenti mereka mengayun wave lagi. Kemudian ketiganya memanjat wahana hingga sampai di kerucutnya. Bergelantungan dengan kaki seperti monyet.

Sena di atas menyebar tiket yang sudah di sobek-sobek. Hujan konfeti di mulai. Para pengunjung bersorak dan ikut meramaikam suasana.
Wave mereka, sekali lagi berhasil membuat pengunjung lain penasaran dan ikut bahagia.

***

Cahaya pagi menyinari Makasar dengan lembut. PM Disney masih belum ada tanda-tanda penghuninya bangun. Mereka tidur di sembarang tempat menggunakan sleeping bag untuk menghalau dingin udara. Sementara para pekerja part time juga masih pulas di rumah masing-masing.

Namun, diantara orang yang tidur itu ada satu orang yang sedang resah, dan juga gelisah. Panji Seka yang masih saja memikirkan perihal kepulangannya. Rasanya seperti ia akan berangkat tugas ke medan perang yang berat.

"Ibu ... Bapak ... Semuanya. Apa aku masih punya muka buat menghadapi kalian semua...?" batin Panji berkata.

Lagipula kejadiannya sudah empat tahun yang lalu. Mereka mana ingat? Mereka apa masih peduli? Aih ... Kenapa pulang sendiri rasanya seperti mau nyemplung ke kolam buaya saja?

Tapi lebih mudah kolam buaya. Dia nyemplung, mati, beres. Tapi kalo pulang dia digigit, dikunyah, dicabik-cabik dan nggak mati-mati. Tapi apa bakal semengerikan itu? Mungkin aja itu hanya paranoid Panji kan?

Karena tidak tahan Panji keluar dari selimutnya menghirup udara pagi Makasar yang segar. Bau alkohol sedikit tercium hidungnya. Rupanya teman-teman yang lain mabok dulu, makanya masih pulas saat disapa matahari pagi.

Panji memakai sepatunya dan mulai joging pagi. Biasanya olahraga, sedikit mengurangi stresnya.

Pulang....

Pulang....

Pulang Panj ... Sial. Kenapa di setiap derap langkah Panji terngiang ngiang kata itu.
















Terimakasih sudah membaca.. 🤓😷

PANJI  (Completed) Där berättelser lever. Upptäck nu