Waterfall 23

7.2K 917 48
                                    

Tap your star! <3





















Ada tiga suara yang paling Shaka benci didunia ini, yang pertama suara tangisan Mama, kedua geraman Papa dan ketiga bunyi mesin medis yang menunjukan tanda-tanda vital Rayyan. Maka dari itu, diruangan menyesakkan ini, mendengarkan mesin itu juga tangisan Mama seperti bergelantungan ditepi tebing. Lebih menakutkan dari apapun, lebih menyesakkan dari apapun, lebih menyiksa dari apapun.

Meski 15 menit yang lalu dokter sudah mengatakan bahwa Rayyannya sudah melewati masa kritis dan kini hanya tengah diinfus agar berisitirahat dengan nyaman, namun Shaka terlalu benci untuk memaafkan dirinya sendiri. Dia membayangkan bagaimana Rayyannya kesakitan sendirian. Memangnya kanker itu sesakit apa sih? Kenapa adiknya bisa sampai kritis? Pikirnya.

Lagipula sudah hampir empat hari mereka tidak bertatap muka dan kini yang ia pandang hanyalah wajah pucat Rayyan yang kini tengah damai dalam lelapnya.

"Shaka dah makan?" tanya Nenek. Akhirnya ada yang sadar dengan keberadaanya dipojok ruangan dengan wajah berantakan, baju seragam yang masih melekat juga senda kebesaran dikakinya.

Sudah lewat jam tujuh, Shaka tidak berniat beranjak dari sana sama sekali. Mungkin saja kakinya sendiri tidak sanggup lagi menopang tubuhnya sendiri. Ia sendiri sudah merasa kepalanya pening sekali, dari kemarin kepalanya sudah pening ditambah hal ini terjadi, kehidupannya menjadi tidak tentu rudu. Berantakan.

"Mau Nenek belikan apa?" Nadia masih berusaha membujuk Shaka yang mematung menatap lurus adiknya yang masih tergolek. Namun Shaka menggeleng. Nafsu makannya hilang, bibirnya saja sudah pecah-pecah namun ia enggan untuk minum setegak airpun.

"Makan sedikit aja, kamu belum makan dari tadi siangkan?" Shaka menggeleng lagi, kali ini lebih menuntut. Namun Nadia enggan menyerah, ia menangkup pipi tirus Shaka hingga memenuhi seluruh telapak tangannya. Ia usap lembut kulit wajah Shaka yang masih lembab dan memandangnya lama. Rupanya terlalu banyak yang ia lewatkan dari sosok Shaka.

"Kamu mau gak bisa liat Rayyan bangun karena sakit? Makan ya? Biar sedikit," ujarnya lembut. Dilihatnya Shaka tergerak sedikit, ia membalas tatapan Nadia dengan sendu dan kosong dalam matanya. Tanpa mengeluarkan bunyi apapun lagi, keduanya beranjak dari ruangan meninggalkan Nadin dan Harun yang masih menyisakan suasana tegang.

***

Bukannya membawa Shaka ke kantin Rumah Sakit, Nadia justru memilih rumah makan yang dekat dari Rumah Sakit. Niat awalnya ingin membawa Shaka meningkatkan protein ditubuhnya, maksudnya ingin mentraktir Shaka makan makanan laut, namun tepat 100 meter dari rumah makannya, Nadia teringat curhatan Rayyan malam itu sebelum anak itu tertidur.

"Shaka itu alergi stroberi! Dia juga alergi seafood! Tapi satupun gak ada yang tau. Dia makan-makan aja semuanya. Ada gak sih manusia yang lebih tolol dari Shaka?"

Saat itu setelah berhasil menyentil bibir Rayyan, ia baru tersadar akan apa yang baru saja Rayyan ucapkan. Ia juga lupa soal itu. Waktu Shaka kecil, sehabis memakan satu porsi nasi goreng seafoodnya, ia yang membawa Shaka periksa saat anak itu sesak nafas dan nyaris kehilangan nyawa bila Nadia tidak tepat waktu.

Semakin ia memikirkan tentang Shaka, semakin banyak pertanyaan yang muncul dikepalanya. Yang ia tau, anak itu selalu menurut dan tenang. Siapa yang tau didalamnya ia tengah bererupsi dan tinggal menunggu waktu kapan ia akan meledak. Shaka terbiasa mengalah, terbiasa tidak untuk tidak menangis, terbiasa untuk tidak menolak permintaan orang tuanya, terbiasa melihat masalah orang dewasa, terbiasa menjadi penengah, siapa yang tau juga dia terbiasa membiarkan luka-lukanya menganga tanpa diobati.

Shaka itu buku yang tertutup bagi Nadia, atau Nadia sendiri yang enggan membukannya. Atau Nadia sendiri yang tanpa sadar sudah memberatkan titik rasa sayangnya. Baginya Shaka sudah cukup dengan Harun dan Nadin sebelum ia tau rupanya keluarga mereka tengah berada ditepi jurang dengan Shaka sebagai tumbal.

Shaka's Ending ✔Donde viven las historias. Descúbrelo ahora