Jeram 15

7K 948 45
                                    

Tap your star! 🌟













Gerimis kecil mulai turun menerobos dedaunan yang menjuntai menghalangi jalan mereka untuk jatuh ketanah. Matahari sedikit demi sedikit bersembunyi dibalik awan yang menghitam, seolah iapun takut terkena rintiknya. Lalu saat rinainya berubah menjadi serbuan jutaan air yang turun ke bumi, entah mengapa bumi terasa lebih damai. Setidaknya bagi Shaka. hingar bingar tersamarkan oleh derasnya, pemandangan diluar sana mengabur, tidak ada orang yang, mereka semua meneduh.

Tiba-tiba Shaka menyamakan hidupnya dengan berjalan ditengah hujan deras yang menghujam seluruh tubuhnya. Ketika semua orang menepi dan berteduh, mereka pulang dengan terburu-buru atau singgah ditempat teduh hanya untuk menunggu hujan akan mereda, bahkan bila harus menunggu berjam-jam. Namun bagi Shaka, tidak ada untuknya tempat berteduh ataupun pulang. diarusnya, semua tempat berteduh sudah penuh, dan tempatnya untuk pulang tidak lagi sehangat senja.

Tapi duduk di sini, disamping brankar sang adik yang dibius infus juga dengan pemandangan wajah tampan dan menggemaskannya yang sedang tidak sehat, ia akhirnya tau, mengapa ia harus bertahan. Setelah berjuang selama ini, ia akhirnya tau untuk apa ia berjuang selama ini. Hal itu yang Shaka gunakan sebagai alasan untuk bertahan. Rayyan.

"Gue besok udah boleh pulang," ujar Rayyan, matanya tidak lepas dari jendela kamar yang menyuguhkan rinai hujan yang semakin deras.

"Loh?"

"Gue dibolehin rawat jalan, jangan cerewet! Kemarin-kemaren juga gitu, gue setiap Minggu kontrol."

Benar. Shaka tidak tau apa-apa soal penyakit Rayyan dulu.

"Lo kira kenapa gue harus pulang tepat waktu? Gue minta motor waktu itu juga supaya bisa pulang sendiri."

"Gak boleh, bahaya!" sahut Shaka selanjutnya.

"Gue ini pasien kanker. Kalau gue nanti gak sempat buat SIM terus dapat motor gimana? Kan selagi bisa--."

"Rayyan! Jangan ngomong kayak gitu. Nanti Tuhan dengar, terus doamu dikabulin," sergah Shaka, ada sedikit rasa panik yang mnyerang Shaka saat anak itu tiba-tiba bermain-main dengan kematian. Karena hal itu benar-benar membuat otak Shaka membeku ketakutan.

"Biarin! Biar Mama sama Papa nyesel."

"Ini bukan sinetron, Ray," ucap Shaka berhasil membuat Rayyan berdecak kesal. Lalu anak itu bersedekap dada sambil melirik Shaka lalu kejendela berulang kali. Cowok itu sibuk dengan LKSnya, masih dengan celana sekolah dengan atasan kaos hitam polos. Namun kemudian Shaka membuang LKSnya kesofa lalu beralih meraih ponsel dan menghabiskn waktu disana.

Sempat dikukung hening hingga akhirnya Rayyan tiba-tiba bangkit dari baringnya dengan mata membelo kearah Shaka. Hening yang sebelumnya membelenggu kembali Rayyan pecahkan dengan sesak lain yang menyerang dada Shaka.

"Siapa sih selingkuhan Papa? Lo tau?" Shaka membuang nafas kemudian beralih menatap adiknya. Kenapa Rayyan selalu membuat pikirannya sekusut ini, sih?

"Kamu gak perlu tau. Tugas kamu satu, yaitu sembuh. Biar Abang yang urus semuanya. Waktu kamu sembuh nanti, Abang ijinin kamu tau semuanya," jawab Shaka. Namun nampaknya cowok pucat itu belum puas dengan jawaban sang Kakak, ia justru mengeritkan dahi tidak terima.

"Gue berhak tau dong!"

"Belum tau aja udah dipikirin. Lagian bukan masalah besar. Papa Cuma lagi bosan dan cari suasana baru, Abang bakalan lakuin apapun buat keluarga kita normal lagi. jadi sekarang, Abang kasih kamu tugas buat sembuh, bisa?" Rayyan melongo lalu berdecak.

Jangan lakuin apapun, Shak. Jangan lakuin hal berbahaya, jangan ngelakuin tanpa berpikir. Jangan bilang lo bakal lakuin apapun.

"Terserah lo!" decaknya lalu menutupi diri dengan selimut.

Shaka's Ending ✔Where stories live. Discover now