Arus 7

8.5K 1K 9
                                    

Tap your star! 💫












Semenjak Shaka tau Harun selingkuh dengan Miranda, bukannya semakin merahasiakannya, ia bahkan menunjukannya terang-terangan didepan Shaka. Tentunya hanya Shaka. Entah apa tujuannya, Shaka juga tidak mengerti, latihan mental kah? Atau hukuman? Karena melihatnya benar-benar membakar seluruh tubuhnya seketika.

Yang membuat kesal adalah ia tidak bisa apa-apa.

Terimakasih dengan didikan Mama dan Papa, karena ia diam-diam sedang merencanakan sesuatu. Tentunya untuk membuang Miranda jauh-jauh dari keluarganya. Jauh dari Mama dan Rayyan.

Terpaksa ia lakukan sendiri. Tidak ada yang bisa membantunya, dari awalpun sudah ia lakukan sendiri, sih.

Bisa-bisanya wanita itu dan Papa bersantai di cafe dekat sekolahannya. Menegak kopi hangat dan penekuk mereka dengan senyum selebar pelangi, keduanya terlihat nyaman memukul hingga menyubit satu sama lain. Saat-saat seperti ini, justru ia menjadi lebih perasa. Apakah sesakit ini? Ia lupa bagaimana rasanya, karena bertahun-tahun ia terus bersugesti dan menyamarkan rasa sakit dengan perasaan yang lain.

Melihat mereka berdua terlihat bahagia sedangkan Shaka sudah menggepalkan tangan diseberang jalan. Papanya mungkin tidak tau, atau lupa bila cafe tempatnya mendua dekat dengan sekolah putranya. Atau mungkin karena ini masih jam sekolah? Shaka benar-benar menyesal keluar sekolah untuk memfotokopi tugas di toko sebelah sekolah. Ia tidak seharusnya melihat inikan?

Gibran menepuk bahu Shaka saat dilihatnya cowok itu menatap lembaran kertas tugas yang tadi dia fotokopi dengan kosong. Sebenarnya, Shaka selalu begini. Menatap apapun dengan kosong tiba-tiba, Gibran tau dimata Shaka tidak pernah ada cahaya, selalu meredup sekelam malam.

Cowok itu akhirnya meletakkan pulpennya diatas meja, dari awalpun dia sudah menyerah sih dengan soal-soal biologi yang berjejer diatas kertas itu. Kepalanya muak dengan segala nama-nama latin disana. Lagian gurunya tidak masuk, sebenarnya bisa saja sekelas janjian Minggu depan mengumpulkannya. Namun sahabatnya Shaka selalu mengerjakannya sesegera mungkin agar sebisa mungkin tidak ia kerjakan dirumah.

"Shak? Laper gak?"

"Heh, Shak?!" Sentak Gibran sambil menggoyang bahu Shaka pelan.

"Gak lapar, Gib. Lo ngantin aja, gue nugas dulu."

"Nugas apaan sih orang dari tadi kayak orang kesurupan lo."

Cowok itu mendengus, ia menatap kertas soalnya yang masih kosong lalu menggaruk keningnya. Iya, memang tidak ada satu coretan tinta dengan jawaban diatasnya, justru penanya mengotori meja dengan garis abstrak yang tidak sadar ia buat.

"Pulang ini mau PS gak?"

"Gak bisa, Gib."

"Aelah, Rayyan lagi? ajak deh dia sekalian, gue dirumah ada kok kandang kucing," ujar Gibran, senyum miringnya tercetak menyebalkan, jika Rayyan lihat mungkin anak itu sudah merengek sebal.

"Lu kira adek gue kucing apa."

"Terus apa? Monokorobo? Monyet? Ngegantung mulu di ketek emaknya sama abangnya?"

"Ngaco ah, Gib. Guekan udah bilang, ada alasannya kenapa dia dijaga seketat itu."

"Brou, lo tuh kaya. Nyewa bodyguard seratus atau mindahin kantor BIN ke depan SMP adek lo mampu. Kenapa jadi lo yang repot sih?"

"Berisik lo, Gib! Ini gue lagi pusing nih!"

"Ya dari tadikan gue nanya, pipet aqua!"

Tapi, bukannya menjawab, Shaka justru berdecak dan memalingkan wajahnya kejendela. Kelasnya dilantai dua, dan jendela langsung memaparkan pemandangan lapangan olahraga. Dibawah sana, anak-anak kelas satu tengah berteduh ditepian sambil berolahraga sebisa mereka, lagian ini sudah siang. Mungkin aula olahraga ditutup, dekat-dekat ini akan ada seminar disana, jadi klaimnya sedang di sterilkan.

Shaka's Ending ✔Where stories live. Discover now