Waterfall 22

7.4K 885 34
                                    

Tap your star! 🌟

_________

Help me, it's like the walls are cavin' in
Sometimes I feel like giving up
But I just can't

-Shawn Mendes










Pagi ini, yang Shaka liat bukan lagi barang-barang berserakkan dilantai atau yang ia dengar bukan lagi sumpah serapah yang belakangan nyaris mematahkan semangat hidupnya. Papa membaik, tapi bukan berarti sepenuhnya ia kembali. Masalah ini bukan hal sepele dengan hanya karena kejadian semalam pagi ini mereka kembali baik-baik saja seperti intro dalam sebuah lagu.

Shaka hanya berusaha membuat Papanya kembali mengingat saat-saat dimana ia dan Nadin jatuh untuk satu sama lain hingga berpisah sehari rasanya ditinggal sewindu. Lagi pula ini baru pagi pertama, masih abu-abu dan suasananya cukup membuat frustrasi. Semuanya masih membeku, Mama masih dikamar, enggan bertemu siapapun dulu. Dan ada Harun juga putra sulungnya diatas meja makan.

Shaka rela bangun pagi-pagi hanya untuk memanggang roti dan membuat kopi untuk Harun, berharap Tuhan melihat seberapa besar usahanya membuat Papa kembali.

Tidak ada lagi kabar Mahen semenjak malam itu. Shaka sudah mencoba medial nomornya, namun cowok itu belum mau menjawab. Pikirnya nanti bisa bertemu disekolah.

Lagipula tidak ada hal yang paling Shaka tunggu-tunggu lagi selain jam menjemput Rayyan nanti sore di rumah Nenek. Anak itu pasti bosan, Shaka juga jadi rindu dimaki-maki. Ternyata makian Rayyan ikut andil membuatnya merasa hidup. Baginya dunia ini lumayan juga saat melihat bibir Rayyan merucut saat marah, atau dunia bisa semenyeramkan neraka saat Rayyan hilang dari dunianya.

"Rayyan pasti kangen banget sama Papa," ucap Shaka, tersenyum hingga matanya melengkung. Sedangkan lawan bicaranya membisu meski memberi senyum tipis disela kunyahannya.

"Aku mau bujuk Rayyan kemoterapi sepulang dari rumah Nenek," lanjutnya dan kali ini berhasil membuat kepala Harun mendongak.

"Sampai Rayyan bisa dipastiin buat operasi, tapi kayaknya biayanya bakalan mahal."

Harun menggeleng pelan. " Gak apa-apa. Papa ada biaya, sekarang kesehatan Rayyan itu paling utama."

Lagi-lagi Shaka tersenyum lebar. Bahunya terasa lebih ringan dari hari-hari sebelumnya. Rasanya ia bisa berlari dari rumah ke sekolah. Hari ini ia rasanya senang sekali, sangat tidak sabar untuk menunjukan pada Rayyan bahwa Papanya sudah di sini meski belum seutuhnya kembali.

"Leher kamu gak apa-apa?" tanya Harun.

Sontak Shaka berhenti mengunyah dan memegang lehernya kaku. Jujur saja, rasanya sakit, ia susah menelan bahkan bernafas. Rasanya ngilu ke seluruh tubuh, tapi kata-kata yang keluar dari bibir Papanya seperti mantra Laviosa yang melayangkan semua rasa sakitnya, ia mungkin bisa menelan bakso bulat-bulat sekarang.

"Gak papa. Gak sakit kok," jawabnya. Untuk sekarang ia tidak bohong.

"Mau Papa belikan salep?"

"Gak perlu. Aku oke, kok!"

Butuh satu kotak salep untuk mengobati lukanya. Tubuhnya rusak, mungkin bukan salep obatnya.

Harun menghela nafas kemudian, setelah sarapannya lenyap ke dalam perut ia segera berangkat setelah berusaha pamit dengan istrinya yang masih menenangkan diri. Wanita itu tidak tau bahwa Harunnya ingin kembali, ingin mencicipi lagi hari-hari sebagai keluarga utuh. Nadin hanya takut.

***

Rupanya hari ini tidak berjalan begitu baik. Sialnya, seharian penuh Shaka diabaikan oleh Mahen, menoleh satu detikpun tidak. Cowok itu menghindarinya habis-habisan. Tidak ada alasan apapun, Mahen berubah dalam semalam. Entah apa yang terjadi, Shaka ingin tau kenapa cowok itu bisa mengabaikannya tiba-tiba. Padahal Shaka sudah menganggap Mahen seperti kakaknya sendiri, Shaka merasa ditumpu oleh Mahen disaat-saat kakinya melemah untuk terus berjalan.

Shaka's Ending ✔Where stories live. Discover now