Arus 9

7K 957 71
                                    

Tap your star!













Aneh, padahal siang tadi begitu terik nyaris membakar kulit. Namun dalam beberapa jam, langit sudah kembali menghitam, menampakkan awan hitam yang bergerak lebih cepat menutup sang surya diatas sana. Angin bertiup lebih cepat, membuat kemeja putih yang ia keluarkan tertiup angin dengan ringannya.

Rayyan sudah tidak tau, berapa lama lagi ia harus menunggu di sini. Di depan gerbang SMPnya. Sejak bel pulang berbunyi, entah apa yang merasukinya, ia hanya menunggu di sini dengan patuh, hanya sekali ke warung depan membeli minuman karena sudah tidak kuat menahan haus.

Ia kesal, tentu saja. Ini sudah hampir satu jam berdiri menunggu Shaka, atau siapapun untuk menjemputnya. Pesannya, telponnya, tidak satupun yang Shaka gubris. Tidak biasanya seperti ini. Minumannya sudah habis, menyisakan es batu yang mulai mencair. Ia khawatir hujan akan turun dan membasahi dirinya, dan mungkin Shaka. Ia ingat anak itu mudah demam.

Lagipula, tumben-tumben hari ini tidak ada ide liar yang berputar-putar dikepalanya. Seperti naik bus, meski ia tidak tau rutenya dan tersesat ditempat antah berantah, lalu memulai hidup baru dengan nama Leonardo. Menikmati hidupnya sendiri.

Iya-iya, jangan! Tenang otak! ­aku tau kamu mengkasihani, Shaka. Cowok itu mungkin ditendang dari rumah untuk mencarinya, dan tidak diperbolehkan pulang hingga tubuhnya sampai dihadapan Mama dan Papanya.

Sebenarnya Rayyan tau bagaimana peran Shaka. Kelihatan berat, namun menyebalkan.

Cowok itu tidak tau apa-apa tentang dirinya. Itu adalah poin paling menyebalkan.

Banyak yang ia lamunkan tentang ide-ide liarnya, hingga akhirnya motor Shaka berhenti didepannya. Cowok itu bahkan langsung mencerocos atas keterlambatannya.

"Dek, duh. Maaf ya Abang telat, kecelakaan tadi bentar. Kecelakaannya kecil gitu, Abang kena dikit dibelakang. Aduh...duh," ringisnya sesaat setelah men-standarkan motornya. Ada robek kecil disisi lututnya, celana abu-abunyapun terlihat kotor. Siapapun akan langsung tau kalau Shaka habis jatuh.

"Kamu udah lama nunggu?" tanyanya, tangannya terulur memberi jaket birunya untuk sang adik. Shaka sendiri sadar bila langit sudah menghitam, angin juga bertiup kencang.

"Kenapa gak suruh orang Papa jemput aja sih? Telat sejam abang, ck," rutuknya sambil menatap jam yang melingkar dipergelangan tangannya sendiri. Merasa bersalah, menyesal, pokoknya semua rasa tidak enak hati. Apa lagi ini tanggung jawabnya.

Belum lagi ia heran karena Rayyan diam saja tanpa membalas perkataannya. Biasanya, anak ini akan mendumel, apa lagi sekarang ia sampai telat satu jam. Ada apa dengan adiknya?

"Dek?" panggil Shaka khawatir.

"Udah! Lo aja yang pakai jaketnya, tutupin tuh luka lo! celana lo juga robek, malu gue!" katanya dengan kening yang bertautan sedangkan Shaka hanya terkekeh ringan.

"Udah lo aja, gue gak apa-apa. Nanti lo masuk angin gimana?"

"Lo pake, atau gue gak mau pulang?!" tuntutnya sambil melempar jaket itu kehadapan Shaka.

Shaka menghela nafas, dan memilih mengalah saja. Memang seperti itu, bila Rayyan sudah membuat pilihan, maka ia harus mengalah dengan menuruti Rayyan atau kedepannya akan susah.

Meski begitu Shaka memilih tidak memakai jaketnya dan segera melaju dari sana agar segera sampai dirumah mereka. Karena meskipun ia memakai jaket itu sampai dirumah dengan cuaca sejelek ini, ditambah jam pulang yang sedikit terlambat dari biasanya, Shaka hafal apa yang akan terjadi, jadi ia memilih untuk tidak menambah.

Namun Rayyan itu batu. Sikeras kepala yang berwujud anak laki-laki tampan yang dimata Shaka masih sikecil yang menggemaskan. Yang setetes darahnya yang jatuh ketanah harus ia bayar dengan darahnya sendiri. Anak itu bersikeras merampas jaket milik Shaka dari dalam tas, lalu memasangnya ketubuh Shaka dengan kasar. Dengan sikap Rayyan ini, mungkin orang-orang berfikir Shaka adalah kakak yang berkebutuhkan khusus.

Shaka's Ending ✔Where stories live. Discover now