Arus 3

10.1K 1.2K 98
                                    

Tap your star! 💫














Setibanya mereka dikomplek rumah, untungnya hujan sudah berhenti. Hanya sisa-sisa angin hujan dan malam yang bersatu menjadikan suhu turun sedingin es. Membuat Shaka yang belum berganti nyaris pingsan saat dingin menusuk-nusuk kulitnya. Bibirnya sudah ungu, seluruh tubuh menggigil. Ditambah kecepatan motor yang dibawa Rayyan melambung cepat ditengah jalan raya yang licin.

Ditambah Papa dan Mama sudah menunggu mereka diteras rumah. Hari sudah gelap, Shaka sudah meminta Nenek untuk menjelaskan kejadiannya. Sekarang Shaka hanya dapat merapalkan nasibnya agar tidak berakhir di UGD ataupun pingsan diruang kerja Papa setelah menerima hukuman.

"Rayyan, masuk!"

"Shaka ikut Papa!" perintahnya telak. Dan Shaka tidak perlu bertanya ke mana ia harus mengikuti langkah besar sang Ayah. Sudah pasti ke ruang kerja, disudut ruangan, dimana ia biasa menyimpan rotan panjang untuk menghukum putra-putranya. Sialnya, Rayyan hanya pernah sekali terkena rotan hanya tiga kali pukul saat kelas 1 SMP sehabis berkelahi dengan kakak kelasnya.

Shaka sudah malas menghitung, apa lagi mengingat-ingat berapa kali ia mendapatkan hukuman untuk perbuatan yang tidak perlu pakai rotan.

Dengan gemetar di seluruh tubuh, Shaka mengikuti langkah sang Ayah yang begitu cepat. Jangan minta kasihani Mama, karena wanita itu segera merangkul putra bungsunya dan membawanya kekamar tanpa melirik Shaka sedikitpun. Wajar bila terkadang Shaka berpikir dia ini anak haram atau anak pungut. Karena rasa sayang orang tuanya terlihat jelas berat sebelah.

Tapi ya sekali lagi, Shaka tidak keberatan.

Sekujur tubuh Shaka langsung merinding saat Papa mulai menarik rotan panjang itu keluar sarang. Dengan nada rendah dan menuntut, tuan Wardito menyuruh Shaka melepas pakaian atasnya dan segera memunggunginya.

Shaka tidak habis pikir, apa Papanya memiliki penyakit psikopat atau apa. Bagaimana bisa ia menambahkan luka lain diatas biru-biru keunguan dipunggungnya. Punggungnya sudah terlalu banyak bekas rotan, terkadang ia bisa tidak tidur dua hari karena kesakitan. Apa bekas rotan dibelakang sana menjadi sebuah mahakarya hingga membuat Harun kecanduan ingin menambah coretannya lebih banyak.

Bisa-bisa Shaka mati muda.

"Jelasin ke Papa gimana ceritanya Rayyan gak ada disekolah?" ucapnya tenang, namun satu pukulan berhasil mendarat dipunggung Shaka dengan kuat.

"Eugh...gak tau, Pa. Waktu jemput, Rayyannya...ssh..Rayyannya udah gak ada. Kata Nenek ngambek gak Papa beliin motor."

"Kenapa Shaka yang dihukum sih, Pa?" lirih Shaka. Pasalnya kini keringat dingin mulai turun membasahi keningnya. Pening dan seluruh tubuhnya terasa remuk.

"Shak, kenapa Papa gak izinin Rayyan bawa motor?"

"Karena bahaya," lalu bunyi rotan bergema lagi ke seluruh ruangan. Ringisan Shaka seperti berkolaborasi dengan jangkrik yang berbunyi diluar sana.

"Lalu tadi kenapa Papa liat Rayyan bawa motor?"

"Kalau gak gitu dia gak mau pulang, Pa!" adu Shaka yang justru mendapat hadiah double dari sang Ayah.

"Aw!" ringisnya. Pasalnya, sakitnya bertambah dua kali lipat saat Papa melayangkan rotannya di bagan lebam-lebam yang belum sembuh.

"Kamu lalai sebagai kakak, Shaka!" bentak Papa di akhiri bunyi rotan dua kali dipunggung membuat sang puan mengaduh kesakitan dengan seluruh badan gemetaran.

Buset, punya ortu gini amad. Batin Shaka. Habisnya bisa gak tidur dia menahan ngilu disekujur tubuh. Berdoa saja bila ia tidak kena flu dikeesokan harinya. Bisa tambah-tambah penderitaannya.

Shaka's Ending ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang