Jeram 11

7.5K 908 29
                                    

Tap your star! 💫














Kini rasa-rasanya udara di bumi sudah tidak semenyenangkan udara dingin dipagi hari atau udara saat hujan mereda. Entah udara di bumi yang kian menipis atau pernafasannya yang kini terganggu, namun yang jelas bernafas bagi Shaka kini kian menyulit. Sesak dan menyakitkan.

Meski bukan hal aneh bagi seorang Shaka melamun dimana-mana, namun kali ini ia bahkan melamun ditengah jalanan yang mulai ramai bahkan macet. Nyaris menabrak pantat motor dan mobil orang lain, lalu meminta maaf dan menarik nafas untuk mengisi paru-parunya yang dirasa-rasa terisi penuh oleh air, menyesakkan.

Shaka sedih, tentu saja. Semua hal yang sedang terjadi kini menganggu pikirannya, menyambung-nyambung menjadi benang kusut yang besemayam dikepalanya. Kalau boleh Shaka ingin sekali menangis, namun bahkan air matanya enggan meloloskan diri. Shaka bukan orang kuat, dia hanya berpura-pura kuat. Shaka bukannya tidak peduli, ia sudah dirancang dari kandungan sebagai makhluk yang terlahir dengan sifat santai. Namun kini ia sungguh tidak bisa santai bila menyangkut keluarganya, yang sayangnya ia justru kelewat santai untuk urusan dirinya sendiri.

Bersyukur Shaka masih bisa sampai di sekolah tanpa terlambat, walaupun sebenarnya ia adalah siswa terakhir yang melewati gerbang. Gibran yang sedari tadi duduk diteras kelas 10 dengan elitnya langsung bangkit menyusul Shaka yang hari ini terlihat lebih mendung. Satu yang Gibran benci dari seorang Arshaka adalah bagaimana ia masih tersenyum meski auranya sudah sekelam malam.

"How's Life?"

"Apik," jawab Shaka. Gibran terkekeh lalu menoyor kepala Shaka pelan.

"Sok Inggris lo!" ucap Gibran kemudian sesaat setelah berhasil mengelak saat Shaka ingin membalas toyorannya.

Keduanya berjalan beriringan menuju kelas. Jarak kelas Shaka dan Gibran dari gerbang utama lumayan jauh, ada di lantai dua. Berhubung Gibran punya visual dan popularitas, jadi ada drama dilirik adik dan kakak kelas dulu, belum lagi di salam-salami dan sok kenal.

"Tadi si Mahen nyari lo kekelas," ujar Gibran yang berhasil membuat Shaka menoleh hingga menghentikan langkahnya.

"Terus dia bilang apa?"

"Dia bilang 'Shakanya ada gak?' gitu."

"Bukan, yang lain gitu? Gak ada?"

"Lo sama dia ada apaan sih? Jujur aja gue cemburu lho, Shak! Ih! Ah!"

"Gib, gue serius!" hentak Shaka akhirnya, bukan salah Gibran juga sebenarnya, anak ini memang suka bercanda. Tapi hari ini mood Shaka tidak begitu bagus untuk menanggapi.

Gibran akhirnya menghela nafas, memberi senyum paksa kepada siswa-siswi yang berlalu lalang mendengar percakapan mereka. Mungkin mereka kira Gibran dan Shaka sedang syuting drama BL Thailand.

"Dia cuma nyariin lo, udah itu aja. Gue bilang lo gak dateng, abis itu dia pergi," jawab Gibran. Shaka menghela nafas kemudian membuang pandangannya ke bawah, area lapangan dimana biasa ia menemukan Mahen dengan tim futsalnya. Tapi tidak ada siapa-siapa disana.

Kemudian ia memilih untuk melupakannya sejenak dan membawa Gibran masuk ke dalam rangkulannya.

"Hari ini gue lihat setan, jadi mood gue gak bagus," curhatnya kemudian, namun justru membuat Gibran tidak bergeming.

"Se..setan?"

"He eh, tadi duduk dilantai teras anak kelas 10," namun bukannya makin takut, Shaka justru mendapat toyoran lain dari tangan Gibran dengan brutal.

Lalu keduanya berlari kekelas sambil memekikkan tawa. Seolah hari-hari berat yang mengikat leher mereka tidak pernah ada. Seolah mereka baik-baik saja dan bahagia. Seolah mereka hanya anak remaja 17 tahun yang tengah menikmati masa putih abu-abunya dengan setumpuk tugas dan peliknya cinta monyet.

Shaka's Ending ✔Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt