11

20.6K 1.4K 6
                                    

Berlin, Jerman 19.55pm

Malam ini, seluruh anggota keluarga Smith berlarian di koridor rumah sakit.

Smith sendiri kelimpungan sambil menggendong Kira yang masih memejamkan matanya rapat.

"Sorry, Sir. Let us and the Doctor handle Mrs. Smith," tutur seorang suster dengan sopan seraya menahan anggota keluarga itu yang ingin masuk ke ruang IGD.

(Maaf Pak, biar kami dan Dokter yang menangani Nyonya Smith.)

Smith mengusap wajahnya dengan kasar, "Then hurry up! Don't let my wife get worse!"

(Maka cepatlah! Jangan biarkan istriku bertambah buruk!)

Suster itu mengangguk dan mulai menutup pintu ruang UGD dari dalam.

Smith dan ketiga anaknya duduk berdampingan dikursi yang tersedia didepan ruang UGD.

Mereka semua terdiam. Terkhusus Tomi dan Jovan. Mereka berdua bertanya-tanya, ada apa dengan Bundanya? Tapi mereka memilih diam. Sekarang bukan waktu yang tepat untuk bertanya.

Gama mengerang frustasi dan beranjak dari sana menuju apartemennya. Dia butuh ketenangan.

Smith sama seperti Gama, namun ia tak bisa meninggalkan sang istri. Walau disini masih ada kedua Anaknya.

***

Sekali lagi, Gama melayangkan tinjuannya pada samsak yang menggantung di depannya.

Emosinya memuncak. Ia tak menyangka jika Kira menyembunyikan perihal penyakit yang dideritanya selama ini pada mereka semua. Sungguh. Dia kecewa. Namun, dia juga takut jika sang Bunda pergi.

Menggeleng keras atas pikiran bodohnya itu. Gama kembali melayangkan tinjuannya.

Bugh

Bugh

Bugh

Dirasa sudah lebih baik. Gama melangkahkan kakinya menuju balkon apartmentnya.

Hiruk piruk kota Berlin di malam hari sangatlah menenangkan. Apalagi sebentar lagi akan larut malam.

Di mana jalanan kota menjadi sepi, dan lampu-lampu bangunan mulai mati. Menyisakan lampu jalan dan rembulan yang menerangi kota ini.

Gama menatap kosong sang rembulan. Ia takut, kecewa, bingung, rasanya semua campur aduk.

Setelah mendengar cerita dari Smith beberapa hari yang lalu. Membuatnya selalu melamun memikirkan itu semua.

Flasback on

Setelah berpikir beberapa menit, Smith menatap putra sulungnya lekat. Dengan keberaniannya yang mulai mengumpul, Smith mempersilahkan Gama untuk duduk di depannya.

Gama mengangguk. Matanya menangkap raut sedih dari Daddynya.

Smith menarik nafas dan menghembuskannya pelan. Mencoba menetralisir ketakutannya.

"Jovan memiliki saudari kembar yang cantik. Namun sudah tiada. Bukan, bukan maksud tiada di dunia dan tenang dialam sana." Gama mengerutkan alisnya bingung. Setahunya, memang Adik kembar Jovan sudah tiada.

Smith menerawang jauh dimana saat-saat itu terjadi. "Dia memang tiada, tiada disini. Dia ... masih ada disana."

"Dad?" Smith mengangkat kelima jarinya menandakan 'jangan menyela'. Gama menurut.

"Dulu, sewaktu pertama kali Jovan dan kembarannya keluar dari rahim Bunda. Kembaran Jovan, Daddy kirim jauh dari ruang lingkup keluarga kita. Kamu tahu kenapa tangisan bayi itu hanya Jovan saja yang bersuara? Itu karena kembaran Jovan Daddy bungkam dengan tangan besar milikku."

Brakk

Apa-apaan Daddynya?!. Adiknya yang tidak tahu apa-apa kenapa mulut mungilnya dibungkam? Gila. Ini sungguh gila.

"Tenang Gama."

"Tenang gimana Dad? Jadi Daddy yang bunuh Adikku? Daddy sudah gila?!" bentaknya pada Smith.

Smith mencoba menenangkan Anaknya itu. "Kamu jangan emosi, dengerin Daddy dulu," pintanya lembut membuat Gama mencoba tenang.

"Kenapa? Karena memang Daddy harus menyembunyikan keberadaannya Gam. Kamu tahu?  Saat di mana koridor itu penuh ketegangan, diantara keluarga kita ada seseorang yang ikut menatap lekat pintu ruangan persalinan Bunda. Bukan untuk menunggu lahirnya Anak Daddy waktu itu, tapi karena ingin membalaskan dendamnya pada Anak perempuan Daddy. Maka dari itu, Daddy membungkan mulut mungilnya agar tak bisa mengeluarkan suara. Meskipun Daddy tak tega dengannya."

Ya, saat itu dirinya melihat jelas bayangan hitam itu. Ia tahu betul siapa itu. Pria yang ingin membalas dendam padanya.

Smith sungguh takut waktu itu, jadi tak punya pilihan selain melakukan itu pada salah satu anaknya. Dan menyuruh mantan ART-nya memboyong Anaknya jauh dari ruang lingkup keluarganya. Bahkan sampai ke Negeri orang.

Gama menatap mata pria paruh baya yang ada didepannya itu. Tatapan kesedihan terpancar jelas dikedua mata itu.

Sungguh, dulu dia sangat lah kecil dan tak tahu apa-apa. Rasa bersalah menjalar di hatinya.

Smith memejamkan mata seraya menghembuskan nafasnya pelan. "Mungkin dengan hanya satu suara tangisan bayi milik Jovan membuatnya paham jika kembaran Jovan sudah tiada. Ya, kau tahu pria itu ingin membalaskan dendamnya padaku."

"Belasan tahun Daddy menyembunyikan rahasia ini berdua dengan Bunda 'mu. Dan selalu melindungi hal-hal yang bersangkutan dengan Adik 'mu itu. Agar pria itu tak mengetahui jika dia masih hidup."

Gama tak menyangka akan hal itu, raut sedih mulai kentara diwajahnya. Pria itu siapa? Kurang ajarnya dia dengan keluarganya?!

"Beberapa bulan pertama Daddy masih mengetahui kabarnya yang berkembang dengan baik. Namun beberapa bulan kemudian, mereka memutus kontak dengan Daddy." Smith menundukkan kepalanya dengan kedua tangannya yang menyatu sebagai tumbuan di dahinya.

Gama bertanya sekali lagi, mereka itu siapa?

"Mereka itu mantan ART kita," jawab Smith seakan mengerti pikiran Gama.

"Ya ... dan kau tahu, Daddy merubah semua data-datanya agar masuk ke dalam KK mantan ART 'ku dulu." Gama melongo dibuatnya. Sampai seperti itu?

Dan itu adalah jawaban atas berkas-berkas yang ia temukan tadi di kamar kedua orang tuanya.

"Bagaimana bisa?!" serobotnya tak mengerti.

"Tapi itu hanya palsu, agar dia tak kesusahan untuk mengurus apapun disana."

"Di sana ... di mana, Dad?"

"Entahlah, mereka mengubah arah tujuan negara yang sudah Daddy tentukan sebelumnya."

Gama menghela nafas kasar. Intinya, adiknya itu masih hidup. HIDUP! Dan itu perempuan! Adik yang selalu ia tunggu sewaktu dulu.

"Lalu ... pria itu siapa, Dad?"

***
TBC

Siapa, coba tebak?

JEANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang