Bab 37. Sedikit Berbeda

Start from the beginning
                                    

Akhirnya, daripada meratapi kelaparannya di kelas dan jadi perhatian murid-murid karena baru masuk sekolah, ia memutuskan untuk kabur ke rooftop selama jam istirahat.

Ia memegangi perutnya yang terusan berbunyi sejak tadi. Pasti dedek bayinya disana juga lapar mengingat hanya beberapa suap nasi goreng yang masuk ke perutnya tadi pagi. Ingin sekali ia belok ke kantin dan pesan makanan tapi ia urungkan dan memilih lanjut ke rooftop. Kantin saat jam istirahat begini pasti ramai dan ia belum siap bertemu lebih banyak orang lagi.

Lewat koridor begini saja ia sudah jadi pusat perhatian. Untungnya tidak terlalu ramai jadi ia masih bisa untuk bersikap cuek seperti biasanya sambil mempecepat langkahnya.

Sesampainya di rooftop, ia duduk di pembatas dengan kaki menjuntai ke bawah. Lyodra memejamkan mata membiarkan semilir angin menerpa wajahnya. Rasanya, begitu menenangkan..

Ia menunduk dan melihat ke arah lapangan outdoor yang riuh karena permainan sepak bola. Di pinggirannya, beberapa gerombolan siswi sedang menonton dan sekedar duduk sambil menunggu bel masuk disana. Lalu, pandangannya beralih pada lantai ubin tepat di bawahnya.

Jika ia loncat ke bawah sekarang, mungkin semua masalahnya akan berhenti dan ikut terkubur karena dunianya berhenti. Mungkin, ia akan mendarat tepat di bawah pohon cemara di bawah, atau jatuh ke selokan kecil di pinggiran lapangan. Ia mungkin bisa memutuskan dengan cepat untuk loncat atau tidak, tapi, sebagian hatinya membuatnya ragu.

Ia sudah membunuh Brisiana, meskipun itu tidak sengaja. Apakah ia juga harus membunuh.. anaknya juga?

Lyodra masih ingat jelas bagaimana akhir-akhir ini ia berupaya untuk membunuh janin di perutnya itu. Mengonsumsi obat-obatan yang dipesannya secara online, sering makan nanas, dan banyak hal lainnya tapi.. semuanya gagal.

Ia sampai frustasi dan bingung dibuatnya. Sampai, di suatu malam ia bermimpi. Tentang anak kecil, cantik dan lucu. Gadis itu menangis kesakitan sambil terus memanggilnya mama.

Satu mimpi yang membuatnya ketakutan dan sering menangis. Apalagi, ia mulai merasakan efek samping dari obat-obatan yang diminumnya.

"Hai."

Lyodra hampir saja terjungkal dan jatuh jika saja lengannya tidak ditahan oleh seseorang. Ia langsung menoleh ke sampingnya, jantungnya berdegup kencang mendapati seseorang sudah duduk di dekatnya.

Ziva.

Gadis itu tersenyum hingga matanya sedikit menyipit.

"Jangan suka bengong disini, bahaya," kata gadis itu. Ia menyodorkan kotak transparan berisi risoles ke arah Lyodra. "Makan dulu," lanjutnya.

"Ziv--"

"Lo tambah kurus loh setelah masuk sekolah, jadi harus banyak-banyak makan," potong Ziva sebelum Lyodra menolak.

Lyodra menerimanya dengan tangan bergetar. Matanya buram karena air matanya berkumpul di pelupuk karena terharu. Ternyata, temannya satu itu masih mau untuk peduli. Padahal, ia telah mengatakan hal-hal menyakitkan waktu itu. Seolah-olah ia tidak butuh teman meskipun itu hanya alibi agar kedua temannya itu benci dan tidak terkena imbas dari masalnya.

"Makasih," ucap Lyodra tulus sambil tersenyum.

"Ah, santai aja."

***

MULAI malam ini, Lyodra tidak boleh lagi membersihkan apartement Samuel. Lelaki itu yang mengatakannya tadi saat ia datang untuk membersihkan. Padahal, sudah lama ia tidak menjalani tugasnya tapi apartement Samuel masih baik-baik saja. Rapi dan bersih. Mungkin karena memang dasarnya Samuel suka bersih, jadi mau tidak mau lelaki itu yang mengerjakan semuanya. Lyodra yakin, selama ini ia hanya dikerjain ketika mendapati apartement lelaki itu berantakan dan ia yang disuruh untuk merapikan.

RetrouvaillesWhere stories live. Discover now