Sapvimsati (27)

9.4K 1.2K 70
                                    

Perasaan ini sama, tapi kenapa hati begitu egois tidak ingin bersama. Benar-benar trauma luka yang tidak ada habisnya.
***

"Wellcome home honey," sapa Vena saat membukakan pintu.

Dyah tersenyum dan memeluk neneknya. Mereka berjalan ke ruang tamu untuk beristirahat sejenak dari macetnya Jakarta. Meskipun hari sudah mulai malam, tidak ada kata tidak macet di hari Senin.

"Kamu lapar?" tanya Vena.

"Tidak nek," balas Dyah.

"Ini ponselmu, papa sudah membelikannya yang baru," ucap Zein sembari mengulurkan ponsel di depan Dyah.

"Memang ponselku yang lama di mana pa?"

"Mati, orang kamu ajak nyelam gitu," ucap Zein.

Dyah hanya terkekeh dan berterima kasih, papanya memang suka membuat kejutan. Tanpa Dyah minta saja papanya suka memberikan barang-barang yang bermanfaat, kadang sepulang kerja beliau juga membelikan boneka untuknya.

Alasannya sederhana, Dyah adalah putri kecilnya, sampai kapanpun. Meskipun ada laki-laki yang akan meminang putrinya nanti. Bagi Zein, Dyah adalah gadis kecilnya yang baru bisa nakal.

"Foto-foto Dyah hilang gak pa?" tanya Dyah sembari mengutak-atik ponselnya.

"Sepertinya engga, kamu cadangkan kan?" Dyah hanya mengangguk.

Jarinya dengan leluasa melihat-lihat foto di galeri, sampai satu foto membuatnya terfokus.

Seorang gadis dengan tersenyum ke arah kamera dan laki-laki yang tersenyum tipis berdiri di belakangnya.

"Siapa itu?" tanya Zein yang ternyata melihat apa yang Dyah lihat di ponselnya.

"Waktu ada acara kampus pa," bohong Dyah.

"Kok pakai kostum kejawan gitu?"

"Temanya gitu dari sananya," Zein hanya memangut-mangut mendengar penjelasan sang putri.

"Tapi kalau di lihat-lihat dia mirip dosen kamu engga sih?" tanya Zein lagi.

"Masa? Mungkin sekilas aja pa, Dyah ke atas dulu ya, mau istirahat," pamit Dyah yang meninggalkan Zein sendirian di ruang tamu.

Saat menaiki tangga mata Dyah tertuju pada lukisan milik sang kakek yang tergantung di ruang keluarga. Sekali lagi mengingat memori itu membuat perasaan rindu muncul.

"Cinta adalah sesuatu hal yang paling egois di dunia, tapi jika di mengerti cinta sendiri yang akan menemukan jalan keluarnya," ucap Hayam Wuruk yang Dyah ingat saat mereka berdua menikmati senja.

"Maharaja percaya cinta?" tanya Dyah.

"Tidak, tapi melihatmu sekarang aku mempercayainya," balasnya.
***

"Pagi," salam Dyah saat hadir di meja makan.

Semua orang yang berada di sana membalas sapaan Dyah.

"Apa jadwalmu hari ini Dyah?" tanya Zein.

"Mungkin memanah," ucap Dyah sembari mengambil lauk-pauk.

"Tidak ingin jalan-jalan?"

"Pita masih ada jam kuliah pa, mungkin H-1 kita bisa jalan-jalan."

"Ingat pesan papa," Dyah hanya mengangguk.

Seusai sarapan Dyah menemani Vena merajut di ruang keluarga. Tangan dan matanya di sibukkan oleh buku yang dia pegang.

"Kamu sudah mengetahui siapa yang ada di lukisan itu?" tanya Vena sembari melirik pada lukisan Raja Majapahit.

Dyah hanya mengangguk sebagai jawaban, itu pun matanya tidak beralih dari buku.

VilvatiktaWhere stories live. Discover now