Caturdasa (14)

11.3K 1.4K 53
                                    

Dyah duduk di depan Nertaja dengan mata sembabnya. Akhirnya setelah beberapa menit Nertaja berhasil menghentikan tangisan Dyah.

"Apa kalung itu sangat berharga Dyah?" tanya Nertaja dengan polosnya, Dyah hanya mengangguk.

"Dari seseorang?"

"Iya, seseorang yang begitu aku cintai," ucap Dyah.

Matanya memandang Nertaja, semenjak dia terlempar ke masa ini. Dia sama selalu saja bersikap seenaknya, Dyah tau itu.

"Aku bukan dari masa kalian kalau kamu mau tahu," ucap Dyah.

Nertaja hanya duduk bersimpuh dan mendengar.

"Mungkin ke hadiranku disini sudah benar-benar kesalahan, aku takut jika diriku bercerita nantinya akan merubah sejarah. Aku hanya bisa memberitahumu jika diriku berasal dari tempat yang jauh, dari negara yang aku tidak tahu apa sudah ada di masa sekarang," jelas Dyah.

"Maksud kamu masa depan? Kamu dewi?" tanya Nertaja.

"Bukan, aku manusia," ucap Dyah.

"Sepertinya dekat denganmu sangat menyenangkan, boleh ceritakan sedikit tentang kamu Dyah?" tanya Nertaja dengan senyum tulusnya.

Mereka berbagi kisah tanpa memperdulikan waktu yang terus berjalan. Dyah sedikit terhibur dengan adanya Nertaja, mungkin dirinya juga harus menikmati kesialan yang terjadi padanya.

Lain hal dengan Hayam Wuruk, bertemu dengan ibundanya membuat kepalanya akan pecah. Pertanyaan Tribhuwana Tunggadewi tentang permaisuri terus terngiang di telinganya.

Memang benar, di usianya yang sudah cukup matang banyak sekali petinggi istana maupun warga yang ingin sekali melihat dirinya mempunyai permaisuri. Hanya saja Hayam Wuruk masih belum siap, jangankan siap. Cinta saja dirinya masih belum tahu, namun ada wanita yang menetap di pikirannya.

Wanita dengan senyum paras yang cantik, mungkin Hayam Wuruk akan mencoba membicarakannya dengan ibundanya.
***

"Boleh nanti kita jalan-jalan ke luar istana lagi, ada banyak hal yang bisa kamu temui di sini," tawar Nertaja yang langsung di balas anggukan oleh Dyah.

"Sebelum itu, apa tidak ada baju lain selain ini? Roknya sangat sulit di buat jalan," ucap Dyah.

Nertaja menggeleng, "mungkin nanti aku bicara pada dayang untuk melonggarkan sedikit untuk jangka kaki kamu. Dyah kamu berbeda dengan wanita di sini, bahkan saat pertama bertemu kamu saja aku iri dengan parasmu," ucap Nertaja.

"Apa tidak salah? Justru wanita di sinilah yang spesial karena cantik natural. Tidak ada skincare atau pun produk kecantikan yang lain," ucap Dyah sembari membenahi barang-barang yang dia porak-porandakan.

"Skin- apa?" tanya Nertaja.

"Skincare, ah kamu tidak perlu tahu," ucap Dyah.

Nertaja membantunya menata ranjang. Setelah mereka rasa kamar sudah rapi Nertaja pamit untuk kembali ke kamarnya.

Sekarang Dyah sendirian, matanya menatap kembali ke arah buku catatan sang mama. Harus Dyah apakan itu, lama dirinya bergulat dengan pemikirannya. Sampai akhirnya Dyah menemukan ide untuk menulis ulang apa yang mamanya catat, hanya saja dengan pengetahuannya sendiri.

Langit sore dengan taburan cahaya senja membuat Dyah menatap kagum ke arahnya. Pesona dari sang pencipta memang tidak bisa di pungkiri.

"Ngomong-ngomong tuh Raja mirip sama Pak Kuno bukan sih?" pikir Dyah.

Pak Raja yang dia kenal sedikit lebih muda dari Hayam Wuruk, yang pastinya lebih ganteng.

"Aelah apaan dah, mana ada si dosen itu ganteng, ngeselin iya!" rutuk Dyah.

VilvatiktaWhere stories live. Discover now