Aṣṭha (8)

13.4K 1.4K 34
                                    

Yang anak perlukan adalah dukungan, pa.

🌸🌸🌸

Ruang tamu dikelilingi oleh suasana yang begitu canggung, kehadiran Zein yang tiba-tiba membuat Dyah bungkam, begitu pula dengan Vena.

Entah kenapa papanya menyusulnya ke Jakarta, apa Dyah akan disuruh kembali lagi di Jerman.

"Kita makan malam dulu ayo," ajak Vena yang mencoba mencairkan suasana.

Sudah beberapa menit mereka hanya duduk dalam diam.

"Ah ibu dulun saja, saya ingin berbicara dengan Dyah," ucap Zein.

Vena hanya mengangguk dan melangkah menuju dapur, tapi Dyah mencekal tangan Vena agar tetap berada di ruang tamu.

"Bicara dulu sama papa kamu, nenek yakin itu yang terbaik," ucap Vena sembari melepaskan cekalan Dyah.

Suasana kembali hening, Zein menatap anak semata wayangnya itu dengan lekat. Sementara yang ditatap terlihat bodo amat.

"Kamu masih marah dengan papa?"

"Apa salahnya sih pa kalau aku mau jadi arkeolog kaya Mama?" tanya Dyah yang langsung ke inti.

Dyah tidak ingin basa-basi jika akhirnya papanya juga masih tidak setuju. Dengan mudah Dyah mengerti sirat mata Zein yang memancarkan kesedihan. Mungkin sikapnya sudah keterlaluan, tapi papanya itu tidak akan pernah mengalah.

"Papa sudah kehilangan mama kamu, papa juga tidak mau kehilangan kamu."

"Pa, Dyah udah gede kok!"

"Bagaimana pun seorang gadis akan tetap menjadi putri kecil papanya. Mau setinggi apapun kamu, sebesar apapun kamu. Kamu tetap putri kecil papa yang selalu papa khawatirkan," ucap Zein yang membuat hati Dyah terpukul telak.

"Tapi, apa Dyah tidak boleh memiliki mimpi pa? Kita seorang anak perlu dukungan pa," balas Dyah.

Ego dari keduanya tidak pernah mau mengalah. Vena yang mendengar dari balik dinding hanya menggeleng kecil.

"Dyah-"

"Kalau aku putri kecil papa, lalu aku harus menganggap papa sebagai orang tua yang mendukung mimpi sang anak, atau orang tua yang mematahkan sayap sang anak?" tanya Dyah yang membuat Zein terbungkam.

"Sekarang udah engga ada mama, pa, buat bela Dyah. Dyah tau papa khawatir, tapi mimpi Dyah udah mutlak!" ucap Dyah lagi.

Zein menghembuskan napas kasar, tujuannya kemari adalah minta maaf kepada putrinya. Namun, sepertinya dirinya makin membuat suasana runyam.

"Dyah sendirian pa, meskipun Dyah tidak pernah kekurangan kasih sayang papa. Tapi Dyah kekurangan dukungan papa, dari dulu Dyah merasa seperti itu pa." Jelas Dyah.

"Maaf," ucap Zein.

Dyah hanya menatap papanya yang menunduk, jujur hatinya sudah kecewa saat Zein menyuruhnya untuk masuk kedokteran.

"Dyah udah capek pa mau istirahat, banyak tugas kuliah yang juga belum selesai. Papa makan dulu aja, Dyah mau ke kamar," ucap Dyah sembari melangkah pergi.

Vena yang melihat Dyah berlari ke lantai dua mencoba memanggilnya, tapi panggilannya diabaikan oleh Dyah.

"Tidak perlu menggunakan emosi jika berbicara dengan Dyah," ucap Vena sembari menyeduhkan teh untuk Zein.

"Tapi bu-"

"Gak ada tapi, melihat kedatangan kamu yang tiba-tiba saja pasti sudah membuat Dyah terkejut, ditambah permintaan kamu itu," Zein mengangguk sadar.

Makan malam hari ini Dyah lewatkan, biar saja perutnya keroncongan. Lebih baik di dalam kamar dari pada berdebat lagi dengan papanya.

"Apa selama di Jakarta Dyah makan dengan teratur, Bu?" tanya Zein setelah makan malam berakhir.

Keduanya duduk di ruang keluarga dengan santai, sejujurnya Zein sedari tadi menunggu Dyah untuk turun.

"Teratur, kamu tenang saja."

"Dyah itu seperti Chelsea, maka dari itu saya tidak mau kehilangan dia."

"Tapi bagi ibu, Dyah itu seperti kalian berdua. Lihat saja saat berdebat dengan kamu tadi, dia juga mewarisi keras kepala kamu," ucap Vena yang membuat Zein terkekeh.

Dyah mendengar suara seseorang yang asik tertawa dari dapur, niatnya kesana hanya ingin mengambil air putih. Netra Dyah melirik jam yang sudah menunjukkan pukul 10 malam.

"Apa nenek sama papa belum tidur," pikir Dyah.

Dengan rasa ingin tahunya Dyah berjalan menuju sumber suara. Dyah melihat papanya yang asik mendengar cerita dari Vena.

"Dyah kenapa berdiri disitu?" pertanyaan Vena membuat Dyah terlonjak kaget, untung saja gelas yang berada di tangannya tidak jatuh.

"Ah gapapa nek," ucap Dyah.

Saat ingin berbalik dirinya ingat dengan ucapan dosennya tadi. Dengan langkah mantap Dyah menghampiri Vena.

"Oh iya nek, Dyah ada tugas buat melakukan penelitian di Jawa Timur," ucap Dyah.

Zein yang masih berada di sana ikut mendengar ucapan anak semata wayangnya itu.

"Jauh sekali, kamu baru kuliah kenapa udah penelitian aja?" tanya Zein.

Dyah mengabaikan dan memilih menunggu jawaban Vena. Lagi-lagi Zein mengalah.

"Dengan siapa kamu kesana?" tanya Vena.

"Pak Raja," ucap Dyah.

"Dosen kamu itu? Hanya dengan beliau?" Dyah hanya mengangguk.

"Papa gak setuju! Pokoknya kamu gak boleh pergi, apalagi cuma berduaan sama cowo!" protes Zein.

"Dyah gak minta pendapat papa, lagian beliau dosen Dyah kok, toh ini buat nilai Dyah juga!" ucap Dyah.

"Udah-udah kalian ini, bisa tidak jangan berdebat melulu. Kenapa engga sama Pita juga?" tanya Vena.

"Coba nanti Dyah bicara sama Pak Raja biar ajak Pita juga. Tapi kalau Pita ikut nenek bolehin Dyah pergikan?" tanya Dyah.

Vena mengangguk, Dyah berteriak seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan permen. Sementara Zein sudah ingin protes kepada Vena yang langsung di tanggapi dengan gelengan tegas oleh Vena.
***

Setelah mengutarakan pesan sang nenek kepada dosennya akhirnya Pita boleh ikut serta.

"Baiklah, Pita boleh ikut tapi dia tidak boleh membantu kamu serta tugas kamu," ucap Raja.

"Terserah bapak aja deh," ujar Dyah yang terlampau malas.

"Besok kita berangkat jam 6 jangan sampai telat!" tegas Raja.

Dyah yang merasa tersindir hanya mendumel kesal. Selain dingin dosennya itu begitu menyebalkan.

"Muda-muda tapi nyebelin, jelas aja jomblo tuh orang." Gumam Dyah.

"Dari pada gue kesel terus mending cari Pita buat ngasih tau kabar ini," pikir Dyah.

Dengan secepatnya Dyah pergi menuju kantin. Matanya menelusuri area kantin yang terlihat ramai.

Setelah melihat Pita yang asik membaca buku di pojok, Dyah segera menghampiri.

"Pitaaa," panggil Dyah.

"Hm," gumam Pita yang masih fokus dengan bukunya.

"Besok kita ada penelitian di Jawa Timur sama Pak Raja,"

"Serius lo? Bukannya cuman lo aja ya?" tanya Pita yang tidak percaya.

"Nenek gak setuju kalau gue sama tuh dosen berduaan aja. Lagian bisa banget tuh dosen ngajak anak orang, cewek lagi!"

"Iya gimana ya Dy, kan secara nilai Lo di mapel Pak Raja emang rendah," ucap Pita dengan gamblangnya.

"Gini-gini gue juga pinter kali Ta,"

"Jenius apa orangnya kalau soal cinta pasti bego, percaya deh!" ucap Pita.

Dyah menghembuskan napas kesal, sahabatnya ini mulai membicarakan soal hati merah lagi.
.
.
.
To be continue.

VilvatiktaWhere stories live. Discover now