Dasa (10)

13.2K 1.5K 54
                                    

Karena, aku tidak mengerti - Dyah.

Kicauan burung membuat tidur Dyah terganggu, semalam hawa terasa begitu dingin membuat dirinya bergelut dengan selimut. Hawa di Jakarta yang panas membuat seakan sudah terbiasa. Ah, mengingat dinginnya hari ini membuat Dyah rindu kampung halamannya-Jerman.

Mata Dyah menatap Pita yang masih terlelap, jam memang masih menunjukkan pukul 5 pagi. Namun, kegiatan orang-orang yang berangkat ke sawah membuat Dyah memilih untuk segera mandi.

"Gila tadi itu air apaan dah dingin amat," gerutu Dyah saat keluar dari kamar mandi.

"Namanya juga desa Dy aelah," ucap Pita yang terbangun mendengar guyuran air tadi.

"Air es kali, gak ada air hangat ya di sini?" tanya Dyah yang masih belum terbiasa.

"Lo perlu tau kehidupan orang biasa queen," ucap Pita sembari menyindir kehidupan Dyah yang begitu mewah, Dyah hanya menanggapinya dengan kekehan kecil. Dirinya tau jika Pita bercanda.

"Gue keluar dulu ya," ucap Dyah.

"Jangan jauh-jauh, sekalian beliin bahan makanan kalau ada orang jual keliling," ucap Pita yang berdiri di tengah pintu kamar mandi.

Dyah hanya mengangguk dan memakai sweaternya. Saat membuka pintu kamar pemandangan yang pertama dia lihat adalah Raja yang ketiduran di ruang tamu, bahkan laptopnya masih terbuka.

Melihat hal itu membuat Dyah melayang pada kejadian tadi malam. Pipi Dyah terasa panas mengingatnya, dengan segera dia melangkah keluar.

Jalanan yang berpaving dan aktivitas yang sudah di mulai membuat Dyah mengangga kagum. Pegunungan yang terlihat dan matahari yang tertutup awan membuat hawa dingin yang begitu nyaman. Dyah menghirup udara dengan lega.

"Ah sejuknya," lirih Dyah.

"Nduk," ucap seseorang yang membuat Dyah terkejut.

"Eh iya Bu?"

"Baru pindah ya?" tanya parubaya tersebut.

"Ah tidak Bu, kita cuman menyewanya sebentar," ucap Dyah dengan senyumannya.

"Oalah yasudah, mari nduk." Dyah mengangguk.

Dengan semangat Dyah berjalan-jalan, banyak sekali orang-orang yang disapa Dyah begitu juga sebaliknya.

Setelah puas Dyah memilih untuk kembali, dia rasa Raja dan Pita sudah menunggu. Hari ini begitu menyenangkan, sangking senangnya Dyah sampai lupa dengan ucapan Pita agar berbelanja.

"DYAH!!" teriak Pita yang melihat Dyah dari kejauhan.

Sang empu hanya menghampiri Pita dengan polosnya bertanya apa. Entah terbuat dari apa seorang Dyah sampai bisa menghabiskan kesabaran Pita.

"Pita sabar, Tuhan," lirih Pita sembari mengelus dadanya, dengan cepat Pita meninggalkan Dyah yang kebingungan dengan sikapnya.

"Emang salah gitu gue?" tanya Dyah pada dirinya sendiri.
***

Setelah sarapan dan menyiapkan segala keperluan untuk penelitian nanti. Mereka berangkat ke peninggalan Trowulan dengan berjalan kaki.

Seperti biasa Pita dan Raja asik membahas sesuatu yang tidak Dyah mengerti. Sementara Dyah memilih berjalan di belakang mereka sembari melihat punggung keduanya yang tengah berbisik-bisik.

"Gila si Pita!" Lirih Dyah.

"Bapak suka teman saya ya?" Bisik Pita yang membuat Raja langsung menoleh.

"Menurut kamu?" tanya Raja.

"Saya peka pak, dari awal masuk dulu bapak sudah ngelihatin Dyah," ucap Pita sembari melirik Dyah yang asik menyapa orang-orang.

Raja tersenyum kecil membuat Pita sedikit terpana, meskipun senyuman itu tipis namun Pita masih bisa melihatnya.

"Kamu cemburu?" tanya Raja sembari melirik Pita.

Pita langsung membuang mukanya, tidak mungkin itu terjadi. Hati Pita bahkan berteriak jika Raja menyukai Dyah.

"Tidak, bapak dosen saya. Mau jadi apa kata orang-orang nanti," ucap Pita sembari menatap jalan.

Raja mengangguk, "dan seperti itulah perasaan saya kepada Dyah. Dia hanya mengingatkan saya dengan mendingang istri saya." Jelas Raja yang membuat Pita terkejut.

Pita saja baru tau kalau Raja sudah pernah menikah, pasti wanita tersebut beruntung mendapatkan hati dosennya itu.

"Kenapa? Terkejut, karena saya sudah pernah menikah?" Pita mengangguk polos.

Dyah kembali mengerutkan keningnya saat melihat ekspresi Pita yang terkejut. Jujur di dalam lubuk hatinya Dyah begitu kepo apa yang sedang mereka berdua bicarakan.

Tanpa terasa mereka sudah berada di tempat penelitian. Mata Dyah kembali terpana melihat candi-candi yang menjulang tinggi. Selama ini dirinya hanya melihatnya dari google ataupun buku.

Dyah ingat mamanya dulu selalu bersemangat bercerita tentang sejarah Indonesia, terutama pada jaman kerajaan. Hanya saja otaknya tidak bisa mengingat apa yang mamanya katakan.

"Pita kamu bantu mengawasi Dyah dan kamu," ucap Raja sembari menunjuk Dyah. Dyah ikut menunjuk dirinya, "kerjakan tugas yang saya berikan. Saya mau melakukan penelitian bersama mereka," ucap Raja sembari menunjuk beberapa arkeolog yang sudah bekerja.

Pita mengangguk dan segera pergi dengan Dyah. Mereka lebih memilih mengunjungi museum terlebih dahulu. Banyak sekali benda-benda bersejarah yang tertata dengan rapi. Bahkan beberapa di lindungi oleh balok kaca.

"Banyak banget, kepala gue ke rasa penuh," gumam Dyah.

"Katanya pinter, yaudah kerjain."

Dyah mendengus namun tetap menuruti perkataan Pita. Kakinya tidak merasa lelah berkeliling dan membaca satu persatu penjelasan yang berada di setiap kotak kaca.

"Oh jadi dulu Majapahit pernah di pimpin seorang wanita," gumam Dyah.

Selang beberapa waktu Dyah dan Pita yang sudah berkeliling jauh, mengistirahatkan tubuhnya di bawah pohon. Cuaca sudah mulai memanas, tapi duduk seperti ini membuat angin sepoi-sepoi terasa.

"Lo yakin gak suka Pak Raja?" tanya Pita secara tiba-tiba.

Dyah menoleh ke arah Pita yang ternyata sibuk melihat Raja di seberang. Dyah tidak tahu, tapi melihat dosennya itu membuat rasa kesalnya menguap.

"Gue gak tau."

Pita menoleh cepat mendengar ucapan Dyah. Temannya ini begitu bodo amat dengan perasaan seseorang, karena bagi Dyah mimpinya saat ini nomor satu.

Yang peka dengan gerak-gerik Raja malah Pita, dari menolong Dyah yang mengambil buku terlalu tinggi, membantu Dyah mengerjakan soal atau bahkan tugas, atau kejadian seperti malam kemarin. Sejujurnya lebih banyak dari itu dan Pita mengetahuinya.

"Kalau gue suka Pak Raja gimana?" tanya Pita yang langsung di tanggapi kekehan kecil oleh Dyah.

"Gak usah bercanda Pit, inget kalau dia dosen kita. Emang boleh mahasiswi sama dosen punya hubungan? Lo lupa sama tujuan lo?" tanya Dyah sembari menatap lekat mata Pita.

Tidak ada kebohongan di sana, baru kali ini Dyah melihat Pita yang serius berbicara soal laki-laki.

"Gue serius Dy."

Dyah menunduk dan mengangguk pelan, matanya kembali menatap Raja yang asik melakukan penelitian. Dyah akui dosennya yang dingin itu begitu perhatian, hanya saja soal cinta Dyah tidak tau. Jika boleh jujur, rasa tidak rela itu ada saat Pita berbicara seperti tadi.

"Perjuangin kalau lo mau," ucap Dyah tanpa melihat Pita.

"Gue bakal dukung lo, kalau nanti dosen yang lain atau anak-anak gak setuju. Gue bakal maju nomor satu yang selalu dukung lo," ucap Dyah sembari tersenyum ke arah Pita.
.
.
.
To be continue.

VilvatiktaWhere stories live. Discover now