Catur (4)

14.9K 1.6K 45
                                    

Sebuah mobil berhenti di depan terminal keberangkatan. Ana segera membantu Dyah mengeluarkan kopernya.

"Makasih, bi." Kata Dyah dengan tulus.

Matanya menatap sekelilingnya, pasti dia akan merindukan suasana Jerman. Rindu memasak ayam dengan Ana dan juga pelayan yang lain, atau merindukan papanya nanti.

"Non, beneran mau berangkat sekarang?" tanya Ana yang masih tidak yakin, bagaimana jika Zein pulang esok.

"Yakin bi, jangan takut sama papa. Nanti berikan surat yang aku titipkan tadi, udah ayo anterin aku."

Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya pesawat yang akan Dyah tumpangi segera berangkat.

"Bi, Dyah pamit dulu yah, jangan rindu Dyah nanti," canda Dyah.

Dirinya memeluk Ana dengan erat, Dyah sudah menganggap Ana sebagai ibu kedua. Begitu pula Ana, dia sudah menganggap Dyah sebagai anaknya. Umurnya yang tidak lagi mudah menambah aura ibu terpancar pada diri Ana.

"Pasti non, di sana jaga kesehatan ya non," pesan Ana.

Dyah mengangguk lalu berlalu pergi memasuki terminal keberangkatan. Tangannya memasang headphone agar dirinya tidak merasa bosan di dalam pesawat nanti. Ah, tidak lupa Dyah memotret suasana bandara.
***

Setelah perjalan yang melelahkan akhirnya Dyah sampai juga di Bandara Soekarno Hatta, dengan menguap Dyah berjalan keluar terminal kedatangan.

Vena yang kemarin di hubungi pelayan Dyah, sudah menanti cucunya yang nekad tersebut. Perasaan khawatirnya hilang saat melihat Dyah berjalan dengan tangannya yang menggeret koper.

"Dyah!" Teriak Vena.

"Eh, loh nenek kok disini!" Pekik Dyah yang mengucek matanya.

"Kamu ini! Jangan dibiaasin pergi sendiri!"

"Maaf nek, kalau bilang sama papa juga gak bakal boleh, Dyah mau kuliah disini," ujar Dyah.

"Yaampun cucu nenek udah besar," ucap Vena yang langsung memeluk Dyah yang tingginya melebihi dirinya.

"Pulang yuk nek, Dyah capek besok mau daftar kuliah, temenin yah," pinta Dyah, Vena mengangguk.

Umurnya yang sudah mencapai kepala 6 tidak mengurangi semangat mudanya. Vena masih giat dengan aktivitas berkebunnya.

Mereka berjalan dengan penuh canda, supir pribadi Vena membantu memasukkan koper Dyah ke bagasi mobil. Keluarga mereka memang tidak sekaya pengusaha lainnya, tapi Dyah bersyukur bisa berkecukupan.

Beberapa menit perjalanan akhirnya mereka sampai di rumah Vena, selama di perjalanan Dyah tertidur, membuat lehernya terasa kram.

Angin yang begitu sejuk menyapa Dyah saat pertama kali membuka pintu mobil. Matanya menatap rumah yang sederhana, memang tidak sebesar rumahnya di Jerman tapi Dyah sungguh merindukan kamarnya di rumah ini.

"Ayo masuk sayang, biar pak Budi yang mengantar koper kamu," ajak Vena.

Mata Dyah berbinar melihat ruang tamu yang di penuhi barang antik. Terdapat busur panah di dalam kotak kaca, kayunya memiliki ukiran unik. Patung-patung yang Dyah percaya memiliki nilai seni yang tinggi.

Dyah merasa rumah neneknya ini sangat luar biasa, kakeknya dulu juga seorang arkeolog, maka dari itu Dyah tidak heran jika mamanya mengambil jurusan arkeologi.

"Luar biasa," pikir Dyah.

Saat melewati ruang keluarga, tidak sengaja Dyah melihat lukisan seseorang yang belum dia kenal.

Vena yang sedari tadi memanggil Dyah bingung karena cucunya itu tidak menjawab, saat Vena menoleh Dyah sedang asik melihat lukisan-lukisan.

"Dia raja Majapahit yang ternama, kamu tidak tau?" tanya Vena yang membuat Dyah terkejut.

"Raja? Engga tau nek, selama ini Dyah cuman belajar sejarah Jerman. Ah, sama legenda Indonesia, itu pun dari mama," ucap Dyah.

"Sejarah di Indonesia itu banyak dan bagus-bagus, rugi kamu jika tidak tahu. Ibu kamu dulu begitu menyukai sejarah kerajaan Majapahit loh."

Binar mata Dyah semakin gemerlap, sungguh bangga dirinya pada mendiang sang mama.

"Kalau boleh nenek bisa cerita sedikit tentang kerajaan Majapahit, kamu mau?"

"Mau nek, mauu!" Pekik Dyah senang.

Vena menggeleng kecil melihat tingkah Dyah yang seperti anak kecil di beri permen.

"Tapi Dyah mau nenek ajarin tari dulu, sepertinya besok kado dari mama beserta busur panah Dyah sampai," terang Dyah.

"Kamu bawa busur kamu juga?" tanya Vena tidak percaya, Dyah hanya mengangguk polos.

Dirinya tidak bisa pisah jauh-jauh dengan busur panahnya, sehari tanpa latihan seperti sehari tanpa doi bagi Dyah.

"Disini juga ada busur kakek kamu, kenapa gak pakai itu saja?"

"Takut, busur kakek ukirannya serem nek," ucap Dyah dengan tawa kecilnya.

"Yasudah, ayo ke kamar kamu, katanya rindu kamar di rumah ini."

Dengan semangat yang tinggi Dyah mengikuti langkah kaki Vena, sebelum naik ke atas tangga ujung mata Dyah melirik lukisan raja Majapahit tadi.

"Mungkin kecapekan saja," pikir Dyah saat merasakan hal aneh pada dirinya.

Vena membuka pintu ruangan yang berdominan biru telur asin. Dyah masuk ke ruangan tersebut setelah Vena, lagi-lagi matanya terhipnotis oleh ruangan yang memiliki hiasan barang-barang antik.

"Itu nenek pindah dari kamar mama kamu, kamu suka?" tanya Vena, tangannya menarik tali gorden agar cahaya bisa masuk.

"Suka banget nek," ujar Dyah.

"Oh iya buku-buku di rak ujung itu beberapanya berisi sejarah di Indonesia. Nenek tau kalau kamu hobby membaca juga."

"Ughh jadi terharu Dyah, nenek bisa nyiapin kamar yang istimewa gini," ucap Dyah sembari memeluk Vena.

"Makanya atuh, jangan main kabur-kaburan biar nenek bisa bikin kamar kamu jadi lebih wow lagi." Vena sembari mengelus rambut Dyah yang panjang. "Omong-omong, papa kamu gak marah nantinya, melihat putri semata wayangnya tidak ada di rumah?" Sambung Vena.

Dyah mengeluarkan cengirannya, Vena sudah mengetahui tak-tik cucunya tersebut.

"Iya-iya nanti nenek yang bilang, asal kamu jangan nakal-nakal di sini."

"Makasih nek, duh nenek baik banget, cantik lagi," ujar Dyah sembari memeluk Vena dengan riangnya.

"Kamu itu, kalau begini saja bilang nenek cantik, dasar. Yasudah nenek ke bawah dulu, kamu istirahat ya," pesan Vena sebelum meninggal Dyah yang mulai loncat-loncat di kasurnya.

Lega rasanya dirinya bisa berada di rumah neneknya. Tinggal besok mendaftar kuliah, dan Dyah akan membuktikan kepada papanya jika dirinya bisa melebihi sang mama.

Matanya memandang ke arah kendi-kendi kecil yang tertata rapi di rak, juga buku-buku yang masih tampak asing dimata Dyah. Saat sedang asik melihat-lihat buku, netra Dyah terpaku kepada salah satu judul buku yang mengingatkan dirinya akan tulisan di ruang keluarga tadi.

Saat Dyah naik tadi ditangga tadi, seperti ada suara yang memanggil makanya kakinya jadi terhenti. Namun, Dyah mengabaikan suara tersebut bisa jadi karena faktor tubuhnya yang lelah, atau pelayan yang ada di rumah neneknya.

"Ah, sudahlah," desis Dyah.

Dia memilih untuk membersikan dirinya lebih dulu sebelum tidur, rasanya tidak nyaman harus tidur dengan kulit yang lengket.

.
.
.
To be continue.

VilvatiktaWhere stories live. Discover now