Astadasa (18)

9.2K 1.2K 43
                                    

Pagi Dyah sudah terganggu oleh para dayang yang membangunkannya pagi-pagi.

"Ada apa ini," ujar Dyah dengan kesal saat rambutnya di tata sedemikian rupa.

Dan baju yang Dyah pakai berbeda dari sebelumnya, di tambah lagi aksesoris yang begitu banyak dan terkesan mewah.

"Ampun ndoro, hari ini ndoro di undang oleh yang mulia ratu Tribhuwana Tunggadewi," ucap salah satu dayang padanya.

"Dalam rangka?"

"Acara minum teh dengan Dyah Nertaja dan Dyah Indudewi."

"Dyah Indudewi?" tanya Dyah.

"Putri Rajadewi ndoro, adik dari yang mulia Tribhuwana Tunggadewi."

"Ah, jadi itu dia," pikir Dyah.

Tanpa berpikir panjang Dyah mengangguk dan membiarkan para dayang melanjutkan pekerjaannya.

Dyah menatap wajahnya di depan cermin, bahkan dirinya saja pangling melihat riasan yang di buat oleh para dayang.

"Mari ndoro," ucap salah satu dayang padanya.

Dyah mengikuti langkah kaki para dayang yang membawanya pada istana ratu. Dan Dyah juga ingat, kedatangannya kali ini dengan status sebagai calon permaisuri.

"Silahkan ndoro," ucap salah satu penjaga pintu, Dyah hanya mengangguk dan menatap 3 orang tinggi di istana itu menatapnya.

"Duduklah Dyah," ucap Tribhuwana Tunggadewi.

"Terima kasih Ibunda Ratu," ucap Dyah yang di balasi senyum lebar oleh Tribhuwana Tunggadewi.

"Ternyata Maharaja sudah mengajarimu untuk memanggilku dengan sebutan Ibunda, jangan sungkan memanggilku dengan panggilan itu," ucap Tribhuwana Tunggadewi.

"Sekali lagi terima kasih Ibunda, hanya saja panggilan tersebut begitu lama saya rindukan."

"Mengapa?" tanya Tribhuwana Tunggadewi.

"Ibunda saya pergi saat saya masih berumur 7 tahun," jelas Dyah yang membuat Tribhuwana Tunggadewi terkejut.

"Maka anggap Ibundamu ini sebagai ibu kandungmu Dyah," ucap Tribhuwana Tunggadewi.

Dyah menampilkan senyum manisnya, hatinya lega ternyata sosok Tribhuwana Tunggadewi tidak seseram yang dia pikirkan.

"Kalian lanjutan saja, Ibunda ingin mengunjungi Kakandamu," ucap Tribhuwana Tunggadewi.

"Baik Ibunda," ucap mereka kecuali Indudewi yang diam.

Setelah itu hanya keheningan yang menyelemuti mereka bertiga. Dyah Nertaja berinisiatif untuk menuangkan kembali teh pada cangkir Indudewi, tapi dengan cepat Indudewi menolak.

"Diajeng, bisa tinggalkan kami?" ucap Indudewi.

Nertaja memandang Dyah seolah bertanya apakah dia harus pergi atau tidak. Dyah hanya mengangguk kecil seolah menjawab bahwa dirinya akan baik-baik saja.

Sepeninggalan Nertaja dari sana, suasana bertambah kaku.

"Kenapa?" tanya Dyah, Indudewi yang menyesap tehnya berhenti dan menatap Dyah.

"Bukannya aku yang harus bertanya seperti itu?" ujar Indudewi.

"Aku tidak pernah maju, tapi dia memilihku apa itu juga kesalahanku?" tanya Dyah.

"Kehadiranmu sudah salah Dyah."

Inilah yang membuat Dyah enggan berdekatan dengan Hayam Wuruk. Mata yang selama ini mengawasinya dan memberikan tatapan sinis, Indudewi.

VilvatiktaWhere stories live. Discover now