Pancadasa (15)

11.6K 1.4K 32
                                    

Dyah tercengang mendengar ucapan Hayam Wuruk. Gelapnya malam membuat orang-orang tidak mengenal keduanya. Di jaman seperti ini listrik masih belum ada, hanya sedikit bayang-bayang dari obor.

Kepala Dyah mendongak, laki-laki di sampingnya ini begitu aneh, perawakannya memang tegas, di tambah lagi mahkota yang terpasang di atas kepalanya.

"Kamu menyatakan cinta?" tanya Dyah yang masih bingung.

"Apa itu salah?" tanya Hayam Wuruk kembali.

"Tidak," ucap Dyah kembali menatap ke arah rembulan.

Tangannya berkeringat dingin, dia tidak tau harus merespon bagaimana.

"Dyah, bagaimana tanggapanmu tentang pernikahan?" pertanyaan Hayam Wuruk membuat laju detak jantungnya tidak beraturan.

"Sakral," balas Dyah, Hayam Wuruk hanya mengangguk.

"Lalu pernikahan seperti apa yang kamu inginkan?" tanya Hayam Wuruk lagi.

"Sederhana, hanya saja berbeda dengan pernikahan di jaman seperti ini."

"Maksud kamu?"

"Bukannya Raja akan memiliki banyak selir, aku tidak menyukai yang seperti itu. Aku membutuhkan satu laki-laki yang bisa menemani langkahku, tanpa ada jejak lain," ucap Dyah.

Hayam Wuruk terdiam, hatinya sedikit membenarkan ucapan Dyah. Tapi apakah dirinya bisa? Tanpa selir? Sepertinya mustahil.

"Tidurlah, malam semakin larut," ujar Hayam Wuruk sembari melangkah pergi.

Dyah tetap diam di tempatnya, memikirkan kenapa Hayam Wuruk bertanya hal-hal seperti itu. Apa iya dirinya akan di lamar?

"Sadar diri bego, lo siapa!" pikir Dyah.

Hatinya terus saja berteriak seperti itu. Memang siapa dirinya bisa berharap di pinang oleh Raja? Ibunda Hayam Wuruk saja terlihat tidak menyukainya.

Dyah masih ingin berlama-lama di teras, bintang masih setia menemaninya. Angin malam yang dingin begitu menusuk kulit, di tambah lagi baju Dyah yang pundaknya terbuka.

Dyah memilih duduk di anak tangga, tangannya melingkari lututnya. Sementara kepala Dyah menunduk. Dyah berharap dirinya tertidur lalu terbangun di masanya lagi.

"Boleh aku duduk di sini?" Suara perempuan membuat alam sadar Dyah kembali.

Pencahayaan yang remang-remang membuat Dyah sedikit tidak mengenali sosok perempuan tersebut. Bahkan pikiran Dyah tentang hantu sudah berkeliaran.

"Aku melihatmu dengan Kakanda tadi," ucap perempuan itu.

"Kita hanya membahas tentang pernikahan," ujar Dyah.

Entah salah atau tidak, Dyah rasa wanita tersebut sedikit terkejut mendengar ucapannya.

"Oh ya? Apa Kakanda bilang akan menikahimu?"

"Tidak."

"Jangan terlalu berharap banyak Dyah, ingat kamu hanya orang asing," ujar sosok itu.

Dyah mengerut, kenapa nada perempuan di sampingnya ini menjadi sinis. Tanpa perlu di ingatkan pun Dyah sudah sadar diri.

"Aku tidak pernah berharap, lagi pula untuk apa membuang-buang waktu berharap seperti itu? Aku bukan dirimu." Setelah berucap seperti itu Dyah berdiri.

Matanya menatap tangan wanita tersebut mengepal. Meskipun dirinya tidak tahu itu siapa, hati Dyah begitu senang bisa membalas ucapan wanita asing tersebut.

Kakinya melangkah ke arah kamarnya, suasana hatinya sudah rusak karena kehadiran wanita asing tadi.
***

Beberapa hari berlalu begitu saja, semenjak kejadian malam saat Hayam Wuruk membahas tentang pernikahan. Dyah sama sekali tidak pernah melihat sosoknya lagi. Hari-harinya kebanyakan di habiskan di dalam kamar, melihat-lihat desa saja saat dirinya di ajak oleh Nertaja.

VilvatiktaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang