Vimsati (20)

9.1K 1.2K 56
                                    

Cinta benar-benar membuat orang merasa sebagai pecundang.
****

Mereka sampai di pinggiran hutan, malam yang telah menyapa membuat suasana terlihat menyeramkan.

"Maaf kami hanya bisa mengantar anda sampai di sini," ucap salah satu prajurit yang mengantar Dyah.

"Tak apa, apa daerah ini jauh dengan danau Segaran?" tanya Dyah.

"Tidak begitu jauh ndoro, paduka menyuruhmu untuk mencari tempat penginapan di sekitar sini, kalau begitu saya undur diri." Dyah hanya mengangguk.

Jalanan yang minim penerangan membuat Dyah takut. Meskipun ini di masa lalu tidak bisa di pungkiri penjahat tidak ada. Tapi beruntung Dyah membawa busurnya, busur yang di beri oleh Hayam Wuruk. Setidaknya Dyah bisa membawa itu untuk kenangan.

Kenangan katanya? Apa sekarang Dyah menjadi wanita yang galau.

Beberapa kali bertanya ke rumah-rumah penduduk, tidak satupun orang yang mau memberi Dyah penginapan. Apa sejahat itu Dyah? Bahkan dirinya tidak tau apa-apa masalah Indudewi. Dyah berbohong karena dirinya lelah berdebat, entah berapa lama dia tinggal di kerajaan Majapahit. Dyah seolah sudah mengerti watak Hayam Wuruk.

"Permisi," ucap Dyah sembari mengetuk pintu rumah.

Entah rumah keberapa yang Dyah ketuk, malam juga semakin larut dan dia berdoa agar rumah ini bisa menerima Dyah. Decitan pintu membuat Dyah tersadar dari lamunannya, sosok wanita parubaya menatap Dyah dengan alis yang mengerut.

"Ndoro?" panggil wanita tersebut.

Dyah merasa familiar dengan wajah wanita tersebut, lalu memorinya kembali mengingat wanita yang pernah dirinya hampiri saat melihat pernak-pernik.

"Ibu," ucap Dyah.

"Silahkan masuk dulu nduk," ujar wanita tersebut.

Dyah mengangguk dan ikut masuk, mereka berdua duduk di amben.

"Kenapa nduk ayu bisa sampai di sini?" tanya wanita tersebut.

"Saya butuh tempat tinggal Bu," ucap Dyah yang langsung to the point.

"Apa Dyah boleh menginap di sini Bu? Jika Ibu keberatan Dyah bisa mencari atau membuat tenda nantinya," lanjut Dyah.

Wanita tersebut nampak berpikir, lalu menganggukkan kepalanya. Dyah tersenyum senang melihat hal itu.

"Terima kasih, bu?"

"Panggil saja mbok Arty, nduk" Dyah mengangguk dan tersenyum.
***

Keesokan harinya Dyah terbangun dengan rasa pening yang hebat. Angin malam dan tubuhnya yang memang sudah demam membuat kesehatan Dyah bertambah parah.

Tapi bukan Dyah namanya jika harus menyerah karena sakit. Dengan tegarnya dirinya ikut mbok Arty dan Arin ke ladang.

"Mbakyu gapapa?" tanya Arin saat melihat Dyah mengusap peluhnya dan bibirnya terlihat pucat.

Arin sendiri adalah anak semata wayang mbok Arty. Dyah mengangguk sebagai jawaban dan melanjutkan mencabuti rumput yang menggangu sayuran yang di tanam.

Merasa dirinya sudah tidak kuat, Dyah izin untuk istirahat sebentar. Dyah mencari racikan obat yang dari tabib istana dan segera meminumnya.

Melihat Arin, Dyah menjadi rindu dengan sahabatnya Pita. Sekali lagi pikiran menjerumus apakah di masa depan Pita mengkhawatirkannya? Apakah Pita tau jika Dyah menghilang? Atau bersenang-senang kencan dengan Pak Raja?

VilvatiktaWhere stories live. Discover now