Karma

2.5K 101 18
                                    

"Percayalah, hidup di dunia ini berlaku hukum tabur tuai. Siapa yang menabur kebaikan, maka dia akan menuai kebahagiaan. Meskipun datangnya sedikit terlambat"

Mira mengelap beberapa hiasan kecil di dalam tokonya, benda kecil yang sebagian besar terbuat dari kaca itu kini kembali menampilkan kilaunya setelah semua noda dan debu halus tersapu bersih. Mira dengan hati-hati meletakkan kembali hiasan ke tempat asalnya, tersenyum puas sembari mengelus perutnya yang kini semakin membesar.

Usia kandungan Mira yang sudah menginjak 7 bulan, membuat Mira sering mengeluhkan tidurnya yang tak lagi bisa nyenyak. Hari-harinya dihiasi dengan pinggang yang mudah pegal-pegal, perasaan lapar meskipun sudah makan banyak, dan juga jarum timbangan berat badan yang terus bergeser ke kanan.

“Udah, Ra. Istirahat!” kata Vina sembari meletakkan beberapa roti yang baru selesai dipanggang, menatanya dengan rapi di etalase toko.

“Iya. Kata dokter gue musti banyak bergerak biar lahirannya lancar,” kata Mira.

“Iya gue tahu, tapi gue sebel karena sebentar lagi lu pasti bilang pinggang lu pegal.”

“Hehehe, emang sekarang pinggang gue pegal.”

Mira terkekeh mendengar sindiran dari Vina. Meskipun begitu, Mira sangat senang karena Vina selalu mengawasinya, memberikan semua perhatian yang terkadang berlebihan. Vina akan mudah berteriak, melarang segala sesuatu yang akan Mira lakukan jika dirasanya membahayakan kehamilan Mira.

Beberapa saat kemudian, seorang kurir masuk ke dalam toko sambil membawa sebuah parcel besar yang berisikan aneka macam buah dan sebuket bunga. Setelah Mira menandatangani bukti penerimaannya, kurir itu berpamitan pergi. Mira menatap kiriman untuknya dengan muka masam, meraih kartu ucapan yang lagi-lagi hanya bertuliskan sebuah kalimat “Sehat selalu, Ra” dan tanpa nama pengirim.

“Datang lagi nih buah-buahan,” kata Vina sembari membuka plastik pembungkus yang melapisi bingkisan besar itu.

Mira melempar kartu ucapan yang sedari tadi dipegangnya ke atas meja dengan sembarangan. Ia meraih kursi dan duduk sambil melihat Vina yang sekarang sibuk memilih buah yang hendak ia makan.

“Masih gak ada nama pengirimnya?” tanya Vina yang kini menimang sebuah apel merah dan mulai mengupas kulitnya.

Hampir setiap minggu dalam 5 bulan terakhir ia mendapatkan kiriman yang serupa, buah-buahan dengan sebuket bunga yang ditata indah. Pada awalnya, dia menerima kiriman itu dengan hati yang penuh gembira, menyangka bahwa Nusa atau keluarganya yang mengirimkan. Namun hatinya mulai tak nyaman saat mengetahui bahwa Nusa maupun anggota keluarganya yang lain tak pernah sekalipun mengirimkan bingkisan seperti itu.

Sering kali Mira menolak kiriman itu, tak nyaman rasanya ia menerima hadiah tanpa tahu siapa pengirimnya. Namun kurir pengirim selalu berkata bahwa ia tak akan digaji jika bingkisan itu tak sampai pada Mira.

“Saya tidak tahu siapa yang mengirim, Bu. Saya hanya bertugas mengirimkan pada Ibu Mira dan memastikan bingkisan ini diterima baik oleh, Ibu,” kata kurir saat suatu waktu ditanya oleh Mira.

Mendengar hal itu, mau tak mau Mira pun harus menerima bingkisan itu. Dia merasa berdosa jika karena keputusannya tidak menerima bingkisan itu akan berdampak buruk pada si kurir.

Vina menyodorkan sepiring kecil apel merah yang sudah ia kupas. Mira menggeleng pelan, buah-buahan segar itu tak lagi mampu menggodanya atau bahkan hanya sekedar menelan liur setiap kali melihatnya. Ia terlalu penasaran siapa orang yang telah berbaik hati mengirimkan bingkisan besar rutin setiap minggu.

Di satu sudut taman, di seberang jalan dari Sun Bakery, Ryan tengah berdiri sambil menatap Mira dari kejauhan. Ia mengambil tempat di dekat rerimbun pohon agar Mira tak sampai tahu jika ia tengah mengawasinya.

PAINFUL LOVE [COMPLETE]Where stories live. Discover now