Childhood

1K 69 2
                                    

Mira, 12 tahun

Gerimis di hari Minggu pagi, matahari masih terus bersembunyi dibalik selimut awan. Jika saja matahari bersinar cerah, pastilah banyak lalu lalang orang-orang yang sedang berolahraga, atau mungkin hanya sekadar berjalan-jalan sambil mencari jajanan di Pasar Minggu. Namun di hari yang basah ini, belum banyak aktivitas yang terlihat, mungkin orang-orang sedang menikmati hangatnya secangkir kopi sambil bermalasan di depan TV.

Begitu pula yang terjadi di perpustakaan kota, para petugas sedang membereskan aneka buku yang bertumpuk sambil sesekali menguap. Hujan gerimis di pagi hari memang biasanya membuat banyak orang mengantuk. Tapi tidak dengan Mira, gadis kecil yang memakai sweater rajut berwarna abu-abu dengan bawahan rok tutu hitam itu, kini sedang sibuk menggapai buku yang tersimpan rapi di sap atas rak.

Mira mendengus, usahanya yang kesekian kalinya itu gagal. Walaupun dengan berjinjit, dia tidak cukup tinggi untuk bisa menggapai buku yang kini hanya berjarak 5 cm dari ujung tangannya. Mira celingukan mencari bangku yang biasanya tersedia untuk mengambil buku yang letaknya di sap atas. Nihil.

Mira sekali lagi mencoba, dan buku itu berhasil tergapai, bukan oleh tangannya melainkan tangan anak laki-laki yang berdiri tepat di belakangnya. Mira berbalik dan mereka bertatapan. Anak laki-laki itu melihat buku yang dipegangnya dan kemudian menyerahkannya ke Mira.

"Terima kasih," ucap Mira sambil menerima bukunya.

"Lain kali kalau tidak sampai, minta tolong petugas saja, Dik," kata anak laki-laki berkaos hitam yang dilapisi jaket berwarna navy.

"Jangan panggil adik. Aku bukan anak kecil. Aku sudah kelas 6," sahut Mira tidak terima, dia meyakini anak laki-laki yang telah menolongnya itu hanya setahun lebih tua darinya.

"Hahahaha," anak laki-laki itu tertawa, "Iya baiklah, kamu sudah kelas 6. Tapi aku juga sudah kelas 3 SMP," jelasnya.

Astaga, Mira malu, muncul semburat merah di pipinya.

"Maaf, Kak. Aku pikir kakak seangkatan sama aku. Kakak boleh deh panggil aku adik," kata Mira terkekeh sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Namaku Ryan, setiap Minggu aku selalu melihatmu di sini. Tidak main dengan teman-teman sebayamu?" tanya Ryan sambil mengulurkan tangan.

"Namaku Mira," ucapnya sembari menyambut uluran tangan Ryan, dan kembali diam sambil membekap buku di dadanya.

"Lho, kok malah diam. Kamu tadi bisa ngomelin aku, kok sekarang malah diam gitu?" goda Ryan.

"Aku tidak punya teman, Kak," jawab Mira pelan, wajahnya tertunduk.

"Masa sih? Satupun tidak punya?"

Mira menggeleng pelan.

Ryan menggosok puncak kepala Mira, membuat rambutnya berantakan.

"Aduh, Kak Ryan kok acak-acak rambutku sih? Berantakan kan jadinya," ujar Mira kesal, memperbaiki posisi rambutnya.

Ryan tertawa melihat Mira.

"Panggil Mas sajalah, rasanya kaku dipanggil Kak. Aku panggil kamu Mira, bukan adik. Setuju?"

"Setuju Kak, eh, Mas Ryan," kata Mira tersenyum senang.

"Jadi sekarang kita berteman ya? Oke?"

"Iya, kita berteman," jawab Mira penuh semangat.

Sisa pagi itu dihabiskan Ryan dan Mira membaca bersama di perpustakaan. Terkadang mereka bercakap, saling bertukar cerita pribadi masing-masing. Alamat rumah, hobi, makanan favorit, buku yang sering dibaca, dan macam-macam hal lain. Mereka menemukan fakta baru bahwa ayah mereka pernah bekerja di sebuah dealer mobil yang sama. Gerimis yang sedari tadi turun dengan berirama, kini berubah menjadi hujan deras yang diselingi guntur. Mira merapatkan sweater ke tubuhnya dan mendekapkan tangan. Ryan melihat Mira kedinginan, dia melepaskan jaketnya dan mengenakannya di badan Mira.

PAINFUL LOVE [COMPLETE]Where stories live. Discover now