42

1.1K 117 22
                                    


Nyala dari ponsel Vian meredup kemudian mati. Vian mengeluh dan mencoba menyalakan kembali benda itu tetapi tidak berhasil. "Yah mati, baterainya habis."

Yuna terdiam memandang Vian. Tiba-tiba saja dia merasakan sesuatu yang ganjil. Seperti sebuah perasaan yang familiar lagi.

Yuna memejamkan matanya dan melihat dirinya dengan Vian duduk-duduk di dalam gua itu. Mereka saling bertatapan kemudian berciuman. 

"Yuna." Panggilan Vian membuat gadis itu tersadar lagi. Yuna menoleh pada Vian dengan raut kebingungan.

"Kamu nggak apa? Kamu melamun lagi," tegurnya.

"Nggak, barusan rasanya aku seperti deja vu lagi," ungkap Yuna.

"Deja vu? Apa kamu mengingat sesuatu?" tanya Vian antusias.

"Iya," angguk Yuna. Dia kemudian memandang sekeliling lagi. "Kita sudah pernah ke sini sebelumnya, kan?" tebak Yuna.

"Ya, sebelum kamu hilang ingatan, aku pernah mengajakmu ke sini satu kali," aku Vian. "Kamu mengingatnya?"

Yuna melenggut. "Sepertinya sedikit. Waktu itu apa yang kita lakukan di sini?" tanyanya.

Seketika wajah Vian tampak bersemu Walaupun di dalam gua yang gelap ini, rona itu terlihat jelas karena kulit lelaki itu yang putih. Pria itu menggosokkan tangan ke tengkuknya dengan canggung.

"Yah ... hanya mengobrol biasa saja," dustanya.

"Hanya mengobrol?" tanya Yuna sangsi. Melihat reaksi Vian, dia yakin yang mereka lakukan lebih dari sekadar itu. Vian mengangguk dengan ragu-ragu. 

"Kamu bohong, kan? Pasti lebih dari itu. Apa kita melakukan hal-hal mesum di sini?" desak Yuna.

"Nggak mesum kok!" tolak Vian segera. "Cuman itu...."

"Cuman apa?" kejar Yuna.

"Ciuman," aku Vian akhirnya.

Yuna termenung sejenak. "Ciuman doang? tapi kenapa wajahmu jadi merah begitu?" ucap Yuna tidak yakin.

"Emangnya bagimu ciuman itu bukan apa-apa?" tegur Vian. "Bahkan memegang tanganmu saja bisa bikin aku panas dingin."

Yuna terdiam. Dia memandangi wajah suaminya itu yang kini tampak sendu. Cinta memang seperti itu. Hanya dengan bersentuhan bisa mengirimkan ratusan impuls ke pusat saraf. Sayangnya Yuna yang sekarang ini tak merasakan yang sama dengan Vian dan itu membuat wanita itu merasa bersalah. 

"Maaf," lirih Yuna sembari menunduk.

"Kalau begitu apa mau direkonstruksi saja? Siapa tahu kamu bisa mengingat sesuatu?" tawar Vian.

Yuna mengangkat kepala menatap suaminya. Seketika itu dia merasa menjadi istri yang benar-benar buruk. Bahkan ciuman saja tidak bisa dia berikan pada suaminya.

Vian kemudian tertawa dengan canggung. "Bercanda, aku cuman bercanda."

Yuna merunduk lagi. Nada sumbang yang dia dengar dari suara Vian membuatnya merasa tidak enak hati. "Boleh," ujarnya lirih.

Netra Vian melebar. Dia menatap Yuna dengan intens. Wanita itu tampak gugup dan merasa bersalah.

"Nggak usah," tolak Vian lalu bangkit berdiri. "Mungkin hujannya sudah reda, ayo kita pulang."

Yuna termangu. Tiba-tiba dadanya merasa sakit. Dia menarik tangan suaminya itu.

"Kenapa kamu nggak mau?" tanya Yuna nanar.

Vian menghela napas. "Aku nggak mau kamu melakukannya karena terpaksa," ucap Vian.

"Aku nggak terpaksa!" dalih Yuna.

"Aku juga nggak mau kamu melakukannya cuman karena ingin ingatanmu kembali," tambah Vian. "Aku mau kita melakukannya karena memang benar-benar ingin melakukannya."

Yuna bergeming. Tak terasa air matanya menetes. Dia mengusapnya kemudian terisak-isak. "Maafkan aku, maaf."

Vian kembali berlutut lalu memeluk istrinya itu dan menepuk punggungnya dengan penuh kasih. "Ada banyak cara menyampaikan rasa cinta, Yuna. Kita yang sekarang ini belum siap untuk melakukan semua itu. Nanti, kita pasti bisa melakukannya lagi."

Yuna tak mampu berkata-kata. Dia hanya mempererat pelukannya pada Vian untuk menyembunyikan tangisnya.

***

***

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Rewrite memories (Ongoing) Where stories live. Discover now