3

7.2K 786 167
                                    

Vian membuka pintu perlahan lalu melongok ke dalam kamar. Dia melihat Yuna terbaring di atas tempat tidur dengan mata terkatup. Vian memasuki paviliun dengan langkah perlahan lalu menuju lemari es. Ketika dia membuka pintu lemari es, terdengar bunyi berdecit yang membuat Yuna terperanjat. Wanita itu membuka mata dan menatap Vian dengan gelisah.

"Oh ... maaf, apa aku membangunkanmu?" tanya Vian.

Yuna tak menjawab, dia hanya menatap Vian dengan gamang, bahunya tampak bergetar. Vian menghela napas, lalu menunduk. Dia mengambil sebotol air mineral dari dalam kulkas lalu meneguknya. Setelah mengembalikan benda itu ke tempatnya, Vian lalu bangkit. "Aku permisi," pamitnya.

"Tu-tunggu," kata Yuna ragu-ragu.

Vian berhenti lalu menatap Yuna. Wanita itu menunduk tak berani balas memandang Vian secara frontal. Vian bergeming menunggu istrinya bersuara dengan sabar.

"Ka-kamu... kamu suamiku, kan?" tanya Yuna akhirnya.

"Hm." Vian bergumam sembari melenggut. "Kenapa? Apa mengecewakan karena aku nggak begitu tampan?" Vian balik bertanya.

Yuna menengadah. Ketika matanya bertemu dengan mata Vian, dia segera merunduk. "Aku minta maaf...," desahnya lirih, "aku ... sama sekali nggak ingat apa-apa tentangmu."

Sudut bibir Vian terangkat dan membentuk seulas senyuman. "Nggak apa, aku sudah bersyukur kamu sehat dan selamat," kata Vian, "Kamu akan ingat nanti."

Yuna tersenyum kecil sambil memandangi lantai. Dia senang pria ini mau mengerti dirinya dan tak menuntutnya untuk mengingat.

"Apa kamu mau jalan-jalan? Seharian di kamar saja pasti bosan, kan?" tawar Vian. Yuna mengangkat kepalanya dan mengawasi Vian. Tatapannya masih nanar dan penuh curiga. Bagaimana pun pria ini asing baginya. Vian menangkap kegelisahan itu dan buru-buru meralat kalimatnya.

"Mungkin kamu masih perlu istirahat. Kalau begitu aku permisi."

"Tunggu!" Yuna segera mencegahnya, sehingga Vian bergeming dan menatap wanita yang sangat dicintainya itu dengan gamang. "Boleh, aku mau jalan-jalan," lanjutnya.

Senyum Vian kembali mengembang. Dia mengabil kursi roda dan membantu Yuna berpindah dari tempat tidur ke atas kursi roda. Yuna memegangi bahu Vian dengan canggung lalu melangkah perlahan. Kedua kakinya yang lama tidak dipakai masih agak susah untuk menopang berat tubuhnya.

Setelah Yuna duduk dengan nyaman di kursi roda, Vian mendorongnya ke luar kamar. Begitu pintu terbuka, mereka berpapasan dengan dua orang pria berseragam polisi. Dua orang itu menghampiri mereka.

"Permisi, Pak, maaf mengganggu," sapa salah seorang dari mereka dengan ramah.

Yuna memerhatikan dua polisi itu dengan bingung, lalu menoleh pada suaminya dengan tatapan ingin tahu. Vian menghela napas, tetapi tersenyum manis.

***

Yuna duduk di kursi roda sambil melihat-lihat taman anggrek di atap rumah sakit. Bunga-bunga berwarna-warni itu digantungkan pada pagar rooftop garden. Meskipun Yuna menyukai bunga, tetapi dia tak dapat menikmati keindahan tempat itu. Sesekali dia mengamati suaminya yang sedang mengobrol dengan para polisi dari kejauhan. Yuna penasaran apa yang mereka bicarakan, tapi volume suara mereka tak terdengar dari tempatnya duduk.

"Amnesia?" tanya Inspektur Danu tampak takjub setelah mendengar penjelasan dari Vian.

Vian melenggut. "Istri saya tak akan dapat menjawab apa pun pertanyaan yang Anda ajukan," jawab Vian. "Dia bahkan tak mengingat nama saya."

Inspektur Danu tampak merenung kemudian mengangguk. "Saya mengerti. Saya turut prihatin atas musibah yang menimpa Anda dan keluarga."

Inspektur Danu beserta rekannya pun bangkit. "Baiklah kalau begitu. Kami undur diri. Jika istri Anda telah mengingat sesuatu tentang peristiwa tersebut, mohon hubungi kami."

Rewrite memories (Ongoing) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang