26

1.1K 110 19
                                    

Pak Taufik, seorang pria berusia lima puluh tahun mengetuk pintu ruangan Zaki. Setelah terdengar gumaman masuk, lelaki beruban itu melenggang dan meletakkan sebuah berkas di meja Zaki.

"Ini laporan keuangan bulan ini, Pak," kata Pria itu santun.

"Oh ya, letakkan saja di situ," ucap Zaki tanpa menoleh.

Pak Taufik terdiam sejenak sembari memandangi pemuda yang lebih muda tiga puluh tahun darinya itu. Betapa hebatnya koneksi dalam dunia bisnis sehingga bocah bau kencur ini tiba-tiba saja muncul dan menempati posisi yang jauh lebih tinggi darinya. Sementara Pak Taufik yang sudah mengabdi di perusahaan ini bahkan sebelum anak ini dilahirkan harus puas dengan jabatan sebagai sekretarisnya saja.

"Apa masih ada kepentingan?" tegur Zaki karena Pak Taufik tak segera pergi.

Pak Taufik baru sadar bahwa dirinya melamun. Dia membungkuk lalu mengucap salam dan segera pergi. Setelah pria itu pergi, Zaki termenung sembari memandangi berkas yang kini ada di tangannya ini. Kelihatannya dia harus menyerahkan dokumen ini sendiri ke meja Vian. Zaki mendesah. Dia tak terlalu suka berinteraksi dengan Paman dari almarhum istrinya itu. Dia masih mengingat ketika kejadian di rumah sakit ketika Yuna baru saja sadar. Pria itu tampaknya menaruh curiga padanya karena Dia dan Yuna sepakat menyembunyikan hubungan mereka di masa lalu. Bodohnya, mengapa Yuna justru hilang ingatan dan malah mengingat dirinya sebagai calon suaminya. Akhirnya kedok itu terbongkar begitu saja di depan Vian.

"Aku harus melakukan sesuatu," gumam Zaki. Pemuda itu bangkit sembari membawa dokumen di tangannya. Dia keluar dari ruangannya dan menuju ruang kerja Vian.

***

Siang menjelang sore hari itu, Vian terpegun di kursinya setelah berdebat dengan Tania. Batinnya benar-benar tak bisa menerima apa yang telah dituduhkan sahabat baik almarhumah keponakannya itu kepada istrinya.

"Ulfa meninggal karena dibunuh Paman," kata Tania.

"Memang. Polisi menduga ada perampok yang menyusup masuk ke rumah kami lalu menyerang Ulfa dan Yuna," jelas Vian.

"Benar begitu?" tanya Tania dibalik senyuman dinginnya.

Dahi Vian membentuk kerutan yang semakin dalam. "Apa maksudmu?"

"Bukankah sudah jelas? Yuna yang membunuhnya," tegas Tania.

"Tania! Kamu jangan main-main!" sentak Vian seketika.

Tania mengepalkan tangan. Dia sudah menduga Vian tidak akan mempercayainya, namun Tania tetap ingin menyampaikan kecurigaannya ini kepada Vian.

"Apa Paman tahu bahwa Yuna dan Zaki adalah mantan pacar?" tanya Tania sabar.

"Aku tahu," sahut Vian, "tapi hubungan mereka jelas sudah berakhir dua tahun yang lalu," tegasnya.

"Lalu apa Paman tahu? Bahwa seminggu sebelum pernikahan mereka dibatalkan, Zaki pertama kali berkenalan dengan Ulfa."

Mata Vian melebar, dia baru mengetahui fakta itu. "Bagaimana kalau mereka memang merencanakan pembatalan pernikahan mereka?" kata Tania.

"Fakta bahwa Zaki akhirnya menikahi Ulfa sedangkan Yuna menikahi Paman terlalu aneh untuk disebut kebetulan. Mungkin saja itu bagian dari rencana mereka."

"Cukup!" Vian menyegak sembari melotot garang pada Tania.

"Sudah cukup, Tania, aku nggak ingin mendengar apa pun lagi darimu."

Tania bergeming. "Tapi Paman...."

"Cukup Tania! Sebaiknya kamu keluar dari ruanganku sekarang," desah Vian sembari memegangi dahinya.

Vian mengusap wajahnya dengan telapak tangan kemudian mendesah. Sudut mata Vian melirik pada kertas hasil screen shoot email terakhir yang dikirimkan Ulfa pada Tania. Tania meninggalkan kertas itu begitu saja di atas meja kerjanya.

Vian meraih benda itu dan hendak menyobeknya, namun dia mengurungkan niatnya setelah meresapi kalimat pada pesan terakhir Ulfa.

Aku mau cerai saja! Aku sudah tidak tahan lagi.

Vian akhirnya urung membuang surat itu dan memasukkannya ke laci meja.

***

Votes dan komen guys.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Rewrite memories (Ongoing) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang