15. Epic Comeback?

Start from the beginning
                                    

Mobilnya sempat beberapa kali terjebak di tengah kemacetan sebelum akhirnya sampai di tempat yang dituju.

"Maaf kalau saya terlambat. Saya tadi terjebak macet, terus ngg-"

"Silahkan duduk." potong Meira langsung, tanpa mempedulikan kelanjutan kalimat Aline. Dan tentu saja Aline langsung menuruti. Apalagi, aura mencekam sudah seperti menyelimuti dirinya bahkan tepat saat ia memasuki kafe itu. Padahal, bisa dibilang, kafe itu termasuk daerah kekuasaannya.

Meira menurunkan cangkir kopi yang baru saja ia seruput sedikit. "Seingatku, kemarin katanya kamu mau membicarakan sesuatu?"

Aline menegakkan posisi duduknya. "Ini tentang saya dan Rendy. Meira, kamu tau persis kalau saya tidak sepenuhnya salah di sini. Jadi saya memohon kedewasaanmu untuk mulai memandang saya dan Rendy tak lebih dari dua orang yang sedang menjalankan urusan bisnis. Saya bawahannya, dan dia atasanku. Hanya itu, tidak lebih."

"Oh ya?" Meira tersenyum getir. "Asal kamu tahu, Aline. Bahkan setelah Derrel lahir, Rendy masih belum bisa menganggapku sepenuhnya sebagai istri. Saya sudah melakukan semuanya. Tapi selalu saja kamu yang menang atas ini. Saya kira setelah saya pindah dari Padang ke kota ini, rumah tanggaku akan terselamatkan. Tapi apa yang terjadi? Rendy justru mengundangmu ke sini, dan kamu menerimanya. Lantas, kamu masih menganggap itu bukan sebuah kesalahan?"

"Kamu tidak mengerti keadaanku, Meira." Suara Aline bergetar jika seandainya Meira menyadarinya. "Saya ke sini hanya untuk bekerja demi kelangsungan hidupku dan Atilla. Tidak lebih. Toh, kalau memang Rendy belum bisa melupakan masa lalunya denganku, itu di luar dari tanggung jawabku. Kamu tidak bisa menyalahkanku, karena perjodohan itu atas kemauan kedua orang tua kalian, dan waktu itu kalian sendiri yang menerimanya. Lantas, di mana letak kesalahanku?"

Meira berusaha keras menahan gejolak amarah yang berusaha merenggut kewarasannya. "Kalau saja kamu menolak tawaran Rendy untuk pindah ke sini, saya pasti bisa yakin kalau rumah tanggaku akan baik-baik saja."

"Kita persingkat saja semuanya, Meira. Saya ke sini bukan untuk berdebat. Ini tentang puteramu dan puteriku. Atilla dan Derrel. Mereka tidak seharusnya sedekat ini. Saya salah telah menyetujui rencana Rendy untuk mempertemukan mereka berdua. Oleh karena itu, mungkin kamu bisa memperingatkan Derrel untuk tidak menemui Atilla lagi. Akan menjadi tidak wajar jika mereka sampai menjalin hubungan, sedangkan masa laluku dengan Rendy pun masih menghantuimu. Saya yakin kamu akan setuju dengan saya."

Meira membuang napasnya kasar. "Bahkan puteraku sepertinya akan menjadi korban dalam masalah ini."

"Kita masih bisa mencegahnya sebelum mereka sudah terlanjur saling membutuhkan. Saya tidak mau timbul kecurigaan darimu bahwasanya saya menggunakan Atilla sebagai alat untuk mendekati keluargamu lagi. Setelah persoalan Atilla dan Derrel ini selesai, bisa saya pastikan bahwa saya dan Rendy tidak akan terlihat lebih dari seorang manager dan seorang boss."

Sesaat, Meria menatap bola mata Aline intens. Berharap mendapatkan sebuah keraguan, atau mungkin kebohongan di sana. Namun sayangnya, dia bukanlah seseorang yang ahli dalam menerjemahkan gimik orang lain.

"Baiklah, Meira. Saya pegang omonganmu sekarang. Kalau sampai setelah ini saya masih mendapatimu mengusik keluargaku, itu artinya kamu sudah siap jika hidupmu saya hancurkan."

Lalu, Meira berdiri meninggalkan Aline yang masih duduk di sana. Batinnya terganggu. Apakah benar bahwa ia telah mengorbankan Atilla dalam permasalahan yang bahkan tak pernah diketahuinya?

CephalotusWhere stories live. Discover now