"Eeeeh, tunggu dulu! Guekan mau nginep," sergah Gibran. Cowok itu langsung mengambil posisi menghalangi jalur motor Shaka keluar.

"Rumah gue juga bukan tempat buat lo kabur, mumpung besok guru-guru rapat PAS, kita begadang aja didermaga, pulangnya subuh. Gimana?"

"Dermaga yang waktu itu? Yaudah deh, gue udah lama gak ke sana."

Kemudian Shaka hanya tersenyum setelah sebelum akhirnya cepat-cepat meninggalkan perkarangan sekolah untuk menjemput Rayyan yang masih di sekolah. Ia takut akan terlambat seperti tempo hari dan membuat anak itu menunggu. Belum lagi fakta bahwa anak itu sakit, membuat Shaka mau tidak mau harus membuat rencana untuk memforsir kegiatan Rayyan yang akhir-akhir ini terbengkalai.

***



Belum juga sempat Shaka menenangkan diri setelah diserang ribuan terkaan tentang keluarganya, atau rencana-rencananya untuk membuat semua kembali normal. Ia harus dibuat kalang kabut saat tidak menemukan Rayyan didepan gerbang sekolah yang nampak sudah lumayan sepi ini.

Anak itu tidak kaburkan?

Hilangnya Rayyan itu bukan hanya mempertaruhkan hidupnya, namun kini Rayyan sendiri tengah mencari penyakit. Shaka sampai tidak habis pikir bila anak itu tiba-tiba kesakitan dan tidak ada yang dapat menolongnya. Shaka benar-benar tidak bisa membiarkan hal itu terjadi.

Sudah tiga kali Shaka mencoba menghubungi Rayyan, hingga dipanggilan ke-empat akhirnya seseorang menyahuti panggilannya. Namun anehnya itu bukan suara Rayyan, justru seorang wanita dengan suara lembut yang menyambut pendengaran Shaka. Belum lagi kata-kata yang masuk ketelinganya membuat jantungnya merespons lebih cepat dari seharusnya.

"Halo? Ini keluarganya Rayyan? Dia tadi pingsan dikelas, sekarang masih diUKS."

Tau apa yang ada dikepalanya Shaka saat itu?

Shaka meminta tolong.

Terdengar lucu memang, tapi ia benar-benar mengatakan itu dikepalanya. Setelah ngebut masuk ke dalam sekolah dan meninggalkan Varionya dilapangan begitu saja. Shaka berlari seperti kesetanan padahal ia sendiri tidak tau dimana letak UKS. Karena Shaka takut. Ini bukan lagi tentang nyawanya, bukan lagi tentang hukuman Papa atau siksaan Papa. Ini tentang adiknya, Rayyan.

Shaka benar-benar mengitari sekolahan dengan jantung yang nyaris pindah keperut. Kepala panas dan tangan yang mendingin. Ini adalah pertama kalinya setelah ia tau bahwa anak itu mengidap penyakit mematikan, maksudnya, yang Shaka tau penyakit ini bisa mengambil adiknya kapan saja. Dan Shaka sungguh tidak mau bila hal itu sampai terjadi, setidaknya tahap yang Rayyan jalani masih bisa diperangi.

Hingga mata Shaka berhasil menemukan plang kayu diatas pintu bertuliskan UKS, pemuda itu langsung menabraknya dan mencari dengan liar ke seluruh ruangan.

"Rayyan?!"

Dokter yang sedari tadi duduk diatas meja kerjanya lantas tersenyum dan membawa Shaka mendekat sambil membuat Shaka tenang.

Rayyan disana, berbaring sambil memainkan ponsel dengan santainya. Lalu menatap Kakak laki-lakinya sekilas dan bangkit membawa tasnya keluar dari UKS. Sedangkan Shaka yang masih bertumpu pada lutut sambil berusaha bernafas hanya mampu menatap adiknya sambil mengatur nafas yang sudah tersengal.

"Adik kamu gak papa kok," ujar sang dokter setelahnya yang hanya dapat Shaka balas dengan senyum sebelum menyusul Rayyan keluar.

"Dek! Dek!" panggil Shaka, tangannya berusaha meraih pergelangan tangan Rayyan yang terus berjalan dengan cepat.

"Dek!" panggil Shaka sekali lagi, kali ini lengan Rayyan berhasl masuk ke dalam genggamannya.

"Apa sih?"

"Lo gak apa-apa? Masih sakit gak? Lo minum obat gak tadi?"

"Gue gak apa-apa," jawabnya seleyengan, sedangkan Shaka justru mengerutkan kening. Menyelidiki wajah adiknya yang terlihat lebih pucat. Namun Rayyan dengan cepat merampas lengannya kembali dan berjalan menuju lapangan dimana Shaka memarkirkan motornya begitu saja.

"Jangan bilang gak papa kalau emang sakit! Muka lo pucet banget itu. Ayo ke Rumah Sakit!"

"GAK!" langkah Rayyan terhenti seketika lalu menatap Shaka sinis.

"Tapi lo sakit, Rayyan."

"Lo tuh gak tau apa-apa, Shak! Pokoknya kalau kesana, gue gak mau pulang!" tegasnya yang akhirnya membuat Shaka menghela nafas lelah. Dan anak itu kembali berjalan mendahului Shaka dengan langkah lemah yanv tergesa.

Dari belakang sini, Shaka dapat melihat satu lagi kenyataan. Bahwa kasih sayang orang tuanya terbagi bukan karena Rayyan jauh lebih kuat darinya, tapi justru Rayyan terlalu lemah hingga bagi Shaka untuk menyentuhnyapun ia perlu berhati-hati.

Baru saja Shaka akan memarkirkan motor ke dalam garasi. Bunyi suara 'gedebug' yang langsung membuatnya bergegas keluar garasi dan melihat apa yang terjadi.

Bukan pot, ataupun guci yang diletakan diteras jatuh. Justru tubuh kurus Rayyan yang tergeletak diatas teras langsung membuat bulu tubuh Shaka merinding seketika. Degup jantungnya kali ini lebih gila lagi. dua kali atau mungkin tiga kali lipat, yang jelas Shaka benar-benar takut dan segera membawa Rayyan masuk kepelukannya.

Beberapa kali salah menekan tombol saat mencoba menghubungi Mama dan Papanya karena jemarinya yang bergetar hebat. Bahkan disaat segenting inipun tidak ada yang dapat menjawab teleponnya. Hingga Shaka akhirnya memutuskan mencari taksi dan segera membawa adiknya ke rumah sakit terdekat.

***



Rayyan drop. Kesehatannya benar-benar menurun, perkembangan sel kankernyapun benar-benar memprihatinkan. Anak itu harus segera dikemotrapi atau jalan cepat untuk sembuh adalah operasi. Namun semua itu benar-benar sulit sekarang. Rayyan si keras kepala itu punya opininya sendiri, harus ada yang mematahkannya agar ia mau kemoterapi untuk menghambat perkembangan sel selagi menunggu pendonor.

Shaka masih terus berusaha menghubungi Mama dan Papanya, namun satupun tidak ada yang menjawabnya hingga kini. Cowok itu hanya menatap isi pesan yang ia kirim kePapanya dengan wajah pasrah. Kalau boleh jujur, Shaka ingin menangis saking bingungnya, ia juga takut sekali.

Hingga satu notifikasi masuk keponselnya, membuyarkan segala lamunannya dari kenyataan-kenyataan pahit. Pesan dari Mahen. Bahkan Mahenpun kini ikut andil dalam menjebloskan Shaka ke dalam lubang hitam.

Bang Mahen

Papa lo dirumah gue.

Dia gak akan angkat telepon dr lo.

Kasih gue alasan buat ngusir dia dr sini.

Tolong bilangin dia, Rayyan msk rmh sakit geraga.
[read]

Setelah pesan itu terkirim, Shaka langsung meremas ponselnya sendiri. Lalu beralih meremas rambutnya setelah perasaan campur aduk di dalam hatinya kini benar-benar mengganggu. Otaknya bahkan tidak berhenti meminta tolong. Kata-kata itu benar-benar tersendat ditenggorokannya. Otaknya benar-benar berteriak meminta tolong, seperti sebuah instrumen mengerikan yang membuat kepala Shaka menjadi pening dan menyesakkan paru-parunya.

Tolong... rintihnya dalam hati.

_____________________________



Heeehehehehe.

F

ri. Jul. 17

-HR💜

Shaka's Ending ✔Donde viven las historias. Descúbrelo ahora