39. Calon Kakak Ipar?

1.9K 128 10
                                    

Empat hari berlalu, waktu yang sangat lama untuk seorang Ika yang masih menahan sakit di sekujur tubuhnya. Matanya terlihat merah, kulit wajahnya sembap, bibirnya begitu pucat, dan tubuhnya yang terlihat jauh lebih kurus dibandingkan dengan empat hari sebelum ia berada di kamar hotel ini.

Selama empat hari ini pula Ika tidak pergi ke sekolah, ia juga tidak pernah menitipkan absen. Jalankan ke sekolah, untuk beli makan di lantai dasar hotel ini pun rasanya begitu menyakitkan untuknya.

Ika sudah siap untuk keluar membeli makan siang dan makan malamnya. Ia memakai jaket tebal yang panjangnya sampai di bawah lutut, ia juga memakai masker dan kacamata hitam. Ini semua ia lakukan bukan untuk menyamar, tapi agar tak ada orang yang merasa kasihan kala melihatnya yang seperti mayat hidup ini.

Ika keluar dari kamarnya dengan langkah yang begitu pelan, bahkan ia harus sedikit membungkuk untuk menyesuaikan keadaan perutnya yang masih belum dikatakan normal. Bagaimana bisa sembuh? Ingat, Ika keluar dari kamarnya hanya ke lantai dasar hotel untuk membeli makanan saja, ia bahkan tak kuat untuk sekadar berjalan keluar dari area hotel, apalagi pergi ke apotek untuk sekadar membeli obat.

Ika sudah berada di restoran yang berada di hotel itu, dengan langkah tertatih ia berjalan mendekati meja yang masih kosong. Tangannya melambai untuk memanggil pelayan yang ada di sekitarnya.

"Mau pesan apa mas?" tanya pelayan itu sedikit ragu dengan penampilan pelanggan di depannya.

"Menu harian dibungkus, sama satu botol air mineral," ujar Ika dingin.

"Ah, maaf saya kira tadi..."

"Gak papa," sela Ika.

Pelayan itu mengangguk, ia berbalik untuk menyampaikan pesanan Ika.

"Emm mbak," panggil Ika sebelum pelayan itu pergi.

"Iya,"

"A..ada apotek nggak mbak di sekitar sini?" tanya Ika ragu.

"Ada mbak, di barat hotel,"

"Jauh?" tanya Ika.

"Sedikit sih, tapi nggak perlu naik kendaraan kok,"

"Iya mbak, makasih," Pelayan itu mengangguk lalu berlalu pergi.

Tak lama Ika menunggu, pelayan yang tadi melayaninya kembali sambil membawa pesanannya. Ika langsung menyerahkan uangnya pada pelayan itu dengan alasan ia ada urusan penting dan tidak sempat ke kasir. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah karena perutnya sudah terlalu melilit, dan ia harus segera pergi ke apotek untuk membeli obatnya.

Ika membawa kresek yang berisi makanannya keluar dari area hotel. Ia berjalan ke arah barat sesuai dengan arahan mbak-mbak pelayan tadi.

Pening, itu yang Ika rasakan saat panasnya matahari bertabrakan langsung dengan kepalanya. Ia membuka kupluk jaketnya karena merasa terlalu tertutup. Ia takut kalau orang-orang mengiranya sebagai orang jahat dengan pakaian seperti ini, bahkan pelayan tadi sampai mengiranya sebagai seorang pria.

Perlahan pandangannya mengabur, semua terlihat buram di matanya. Sampai seseorang yang memanggilnya di detik terakhir sebelum ia benar-benar jatuh pingsan.

.
.
.

Suara tangis bayi perempuan itu benar-benar membuat Arka menjadi geram sendiri. Ia sudah melakukan segala cara agar bayi itu berhenti menangis, mulai dari memberinya susu dalam botol, mengajaknya bermain, sampai ia rela membuat ekspresi konyol dengan harapan bayi itu berhenti menangis. Tapi nihil, suara tangisannya malah semakin keras.

"Udah dong Far, diem kek," geram Arka tertahan. Bayi itu terus berontak dalam gendongannya, sepertinya ia merindukan ibunya yang tengah pergi untuk membeli makanan di luar.

Airka: My Queen BullyingWhere stories live. Discover now