13. Perbedaan

2.8K 165 3
                                    

Vote and Coment nya jangan lupa;)
..

Ika membuka kedua kelopak matanya kaget, ia merasa ada sesuatu yang menimpa kakinya dengan sangat keras. Ia melirik ke bawah, benar sesuai dugaannya, Icha tidur dengan menimpa kaki kirinya.

Ika menatap Icha sebal. Ini sudah kali ke-empat bocah itu mengusik mimpi indahnya.

Ika mengambil hp-nya di atas laci yang berada di samping tempat tidur. Ika menyalakannya, sekarang masih pukul dua dini hari, masih sangat lama sampai matahari menampakkan diri. Ia mematikan dan menaruh benda persegi panjang itu asal di atas ranjang.

Ika bangun, ia mengangkat Icha agar tidur di sampingnya. Khawatir kalau sampai gadis itu jatuh ke bawah dengan posisi tidurnya yang seperti itu.

Ck! Khawatir? Oh shit! Ika merutuki dirinya sendiri dengan memikirkan gadis menyebalkan itu. Sepertinya ia harus segera pergi ke psikiater untuk memerikasakan otaknya yang kolot ini-- bisa-bisanya ia memikirkan bocah seperti Icha, orang yang sudah merebut penuh seluruh kebahagiannya.

Dengan susah payah Ika menempatkan Icha di sampingnya.

Ika beranjak dari tempat tidur. Ia mengikat rambutnya menjadi satu dengan karet kecil milik Icha yang ia temukan kemarin saat membongkar semua barang bawaan gadis cilik itu.

Lalu ia berjalan pergi ke kamar mandi yang ada di sebelah kiri tempat tidurnya. Matanya masih belum sepenuhnya terbuka, nyawanya juga belum sepenuhnya kembali, ia pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka agar terlihat fresh.

Ika kembali naik ke atas springbed, menyandarkan kepalanya di kepala ranjang. Ia mengambil sebuah buku paket di rak yang memang tersedia di bawah tempat tidurnya. Ia hanya asal mengambil, ia juga tak melihat ke bawah, hanya tangannya saja yang bergerak.

Setelah beberapa detik bekerja keras, Ika berhasil menarik sebuah buku paket biologi.

Tak ingin terlalu menghabiskan waktu berharganya. Ika mulai membuka buku yang terkenal dengan ketebalannya itu. Ia membuka tepat di halaman terakhir ia membaca buku itu sebelumnya.

Posisinya saat ini membuat dirinya kesulitan untuk membaca buku itu. Matanya juga sulit fokus karena penerangan yang agak redup-- karena
beberapa lampu di kamar ini yang memang sengaja dimatikan, dan hanya menyisakan satu lampu yang masih menyala dan itupun agak jauh dari tempatnya.

Bisa saja ia menyalakan semua lampu itu, tapi ia takut jika Icha akan terusik kalau terlalu terang. Cih! Kasihan? Lagi? Ia harus membuang jauh-jauh satu kata menyebalkan itu dari kamus hidupnya!

Ika menyalakan flashlight dari ponselnya, lalu memegangnya dan menyorotkannya di atas tulisan-tulisan rapi di buku itu.

Ika hanya ingin belajar dengan tenang.

.
.
.

Arka membuka pintu kamarnya saat mendengar seseorang memanggil namanya dari balik pintu.

"Ada apa Bun?" tanya Arka.

"Kamu bangunin Ika gih. Udah subuh, pasti Ika kecapek'an gara-gara kemarin," ujar Vania tanpa basa-basi.

Arka mengernyitkan dahinya,

"Aku?" tanya Arka sambil menunjuk dirinya sendiri.

"Ya iyalah, emang siapa lagi?!"

Arka mengangguk lemah.

"Iya Bun,"

Vania hendak pergi, tapi tertahan karena otaknya mengingat sesuatu.

"Oh ya. Mulai hari ini kamu makan di bawah, Bibi' sama Bunda nggak bakalan bawakan sarapan buat kamu lagi. Dan kamu tahu sendiri kan kalau kamu nggak sarapan? Kamu nggak boleh berangkat ke sekolahan! Are you understand Arkan Raihanata?"

Airka: My Queen BullyingWhere stories live. Discover now