38. Sendirian? Lagi!

1.7K 111 4
                                    

Happy Reading....

Jam sudah menunjukkan pukul 22.53, sedangkan hujan di luar semakin deras, dan petir menyambar saling bersahutan.

Arka tiduran di atas sofa sambil menonton layar tv bersama dengan Ivan yang mengerjakan pekerjaannya di atas meja yang ada di sana

Tidak biasanya seorang Arka yang gila belajar akan menonton tv seperti ini. Arka selalu menghabiskan waktu luangnya di dalam kamar untuk mengerjakan soal-soal olimpiade dan hal-hal lainnya, tapi hari ini ia malah memanjakan dirinya dengan tiduran di atas sofa.

Hari ini, Arka habiskan seluruh waktunya dengan bermalas-malasan, bahkan Arka sama sekali tidak menyentuh bukunya. Waktunya hanya ia habiskan untuk menonton tv, tidur, makan.

"Arka? Kamu nggak tidur, udah jam sebelas ini," tanya Ivan.

"Nggak ngantuk Yah,"

"Insomnia kamu kumat lagi?"

Arka mengangguk singkat, tanpa mengalihkan pandangannya pada layar tv.

"Mau Ayah tem.."

"Nggak. Ayah tidur duluan aja," potong Arka cepat.

"Beneran? Besok kamu sekolah kan?"

"Nggak papa Yah. Nanti juga tidur sendiri,"

"Ya udah, Ayah tidur dulu,"

Ivan mengemasi laptop dan beberapa mapnya ke dalam tas kerja. Lalu ia berlalu pergi meninggalkan Arka. Ia sudah terlalu capek bekerja seharian di kantor, dan harus lembur lagi di rumah untuk membaca beberapa dokumen yang tersisa lalu menandatanganinya.

Arka sudah tak lagi menatap ayahnya yang pergi.

Sendiri. Itu yang Arka rasakan sekarang ini. Aneh, padahal ia memang selalu sendiri sejak kakaknya menikah. Ia tak terlalu dekat dengan ibunya karena percakapan ringan yang mereka bicarakan pasti akan berakhir dengan perdebatan besar nantinya. Kakak perempuan yang mirip dengan ibunya dan Ayahnya memiliki sifat yang tak jauh beda dengannya, walaupun ayahnya kadang membela ibunya, dan kakaknya yang memiliki sifat hampir sama dengan ibunya, tapi ia lebih merasa dekat dengan kakak dan ayahnya daripada sang ibu yang melahirkannya. Karena apa? Karena ibunya itu suka semaunya sendiri, selalu memaksakan kehendaknya pada semua orang, dengan kata lain kalau ibunya itu sangat egois pada putra, putri, dan suaminya.

Memikirkan kakaknya, Arka mempunyai seorang kakak perempuan bernama Arsie. Umur mereka terpaut sejauh 7 tahun. Arsie berprofesi sebagai seorang perawat di salah satu rumah sakit, sedangkan Indra, suaminya berprofesi sebagai pilot. Arsie dan indra mempunyai seorang putri yang masih kecil bernama Fara, nama panggilannya sama dengan Fara, teman sekelasnya.

Bukan kakaknya saja yang ada dipikirannya, tapi ada satu nama lagi yang tetap tak ingin beranjak pergi dari otaknya.

Ika!

Berbagai kegiatan ia lakukan untuk mengusir sosok gadis itu dari pikirannya, namun bukannya hilang, ia malah semakin memikirkan Ika, dan menjadi malas melakukan sesuatu.

Semua ini gara-gara ia yang dengan bodohnya mencium Ika di mall waktu itu. Satu kejadian itu terus berputaran di otaknya. Katakanlah ia mesum karena memikirkan sesuatu seperti itu, tapi memang itulah kebenarannya.

Arka menutup kepalanya dengan bantal sofa, berusaha menghilangkan pikiran gilanya itu.

Sedangkan di sisi lain, Ika menatap nanar dinding di depannya.

Kejadian sore tadi terus terekam di otaknya.

Saat Icha datang ke kamarnya sambil membawa minuman untuknya, tapi malah tak sengaja menumpahkan air panas itu ke pahanya dan memecahkan cangkirnya sampai pecahannya mengenai kakinya.

Lalu ibunya datang dan memarahinya. Tentu saja Ika langsung membela diri dan memojokkan Icha. Tapi ibunya itu malah dengan lantang mengusirnya keluar.

Dan di sinilah Ika sekarang, duduk di atas kasur dan menangis sendirian. Sekarang ia sudah berada di kamar hotel, ia merelakan beberapa uang yang ia dapat dari hasil olimpiade-nya selama ini hanya untuk mendapatkan tempat berteduh. Sebenarnya ia bisa saja meminta bantuan pada Reva ataupun Riko yang masih mau berteman dengannya, tapi ini sudah terlalu malam. Ia terlalu gengsi meminta bantuan pada mereka, mengingat kalau mereka sudah tidak sedekat dulu lagi.

Jadi, Ika lebih merelakan menghabiskan uangnya untuk menuruti rasa gengsinya yang terlalu besar.

"Hiks..." Ika menangis sekerasnya, ia tak perlu takut ada orang yang mendengarkan ataupun melihat dirinya menangis. Ia bisa leluasa mengeluarkan semua yang ada di dalam lubuk hatinya di sini.

Ya, dia pasti bisa!

.
.
.

Esoknya....

Bel masuk sudah berbunyi, membuat para murid langsung pergi menuju kelas masing-masing.

Fara selaku sekretaris pertama mulai mengisi buku absensi di kelasnya. Sesekali ia membuka sebuah surat izin dari beberapa temannya yang tidak masuk. Ia mendongak untuk mencari seseorang yang berada di nomor absen paling akhir.

"Ika telat ya?" tanya Fara pada teman-temannya.

"Nggak. Hari ini yang telat nggak di hukum," ujar Zidan selaku anggota OSIS yang hari ini bertugas menjaga gerbang.

"Berarti bolos kan?" tanya Fara hati-hati sambil menatap Arka, meminta jawaban dari pertanyaannya.

"Nggak tahu juga kalau itu," jawab Zidan.

Bukannya menjawab pertanyaan Fara, Arka malah menelungkupkan kepalanya di atas tangan. Tingkat kemalasannya sudah berada di ujung, apalagi sampai sekarang ia masih belum menatap sosok yang ada di pikirannya.

"Di mana gadis itu sekarang?" batin Arka menambahi.

.
.
.

Ika meringkuk di atas tempat tidurnya. Kepalanya terasa sangat berat, ditambah perutnya yang terasa sangat sakit dan mual. Ika mempunyai penyakit maag sejak kecil, dan sepertinya hari ini penyakit itu mulai menyerangnya. Ini karena ia belum sempat makan sejak kemarin sore. Bahkan terakhir kali ia makan adalah kemarin saat masih di rumah Vania, ia belum sempat makan apapun ketika sampai di rumah kedua orang tuanya.

Ia baru saja keluar dari kamar untuk membeli makanan dan memperpanjang masa tinggal di kamar itu sampai seminggu. Untung uangnya dari memenangkan olimpide dan tabungan dari uang sakunya selama ini masih banyak. Jadi, ia masih punya sisa sedikit untuknya makan selama beberapa hari.

Makanan yang dibelinya masih utuh di atas laci samping tempat tidurnya. Ika benar-benar kesulitan melakukan sesuatu karena perutnya akan terasa sangat keram kalau ia bergerak.

Wajahnya sudah sangat pucat, deru napasnya terdengar berat, dan sekujur tubuhnya berkeringat. Ika bahkan sampai menangis karena rasa sakit yang amat sangat pada perutnya.

Dengan tubuhnya yang masih sangat lemas ia berusaha mendudukkan dirinya sambil menekan perutnya agar tidak terlalu sakit. Mau tidak mau ia harus makan agar penyakitnya cepat sembuh. Ia tidak kuat menahan ini sendirian, walaupun akan tetap ia rasakan sendiri jika ada orang lain yang berada di sampingnya.

Ia memaksakan se-sendok nasi masuk ke dalam mulutnya, rasanya sangat pahit, tapi Ika tetap menelannya. Ia tak boleh buang-buang makanan di saat seperti ini. Ika terus memakan makanannya, hingga pada suapan ke delapan ia berhenti karena perutnya kembali terasa sakit. Ia meminum sedikit air dari botol minumannya. Lalu ia merebahkan kembali tubuhnya.

Terlalu capek menahan sakit di perutnya sampai membuat Ika terlelap sambil menggenggam erat selimutnya.

.
.
.


Devi_tika

Airka: My Queen BullyingWhere stories live. Discover now