"Aku belum pernah rawat orang yang lagi sakit. Sungjin hyung juga belum makan dari kemarin malam."

Deg.

Hatiku sedikit merasa iba mendengarnya. Sungguh, ia yang begitu menyukai makanan bahkan belum makan apa pun dari kemarin?

"Kamu ... bisa datang ke sini?" tanyanya.

Aku menghela napas dan berpikir keras. Perkataannya tadi malam masih terngiang di kepalaku. Namun, aku tak bisa membiarkannya begitu saja dalam keadaan sakit seperti ini. Sesekali aku melirik Jae oppa yang tampaknya bertanya-tanya tentang apa yang sedang dibicarakan oleh Brian oppa.

"Jieun-ah ...."

"Oke, aku ke sana."

"Makasih, ya! Bye!"

Brian oppa menutup telepon. Aku langsung menyerahkan ponsel itu kembali ke pemiliknya.

"Kamu mau ke sana?" tanya Jae oppa.

Aku mengangguk lemah.

Ia tersenyum kecil. "Aku antar!" ujarnya sambil menepuk kepalaku.

Sungguh. Respon yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Aku tahu Jae oppa juga pasti tengah mengkhawatirkan leader-nya itu. Ia sama-sama tahu bagaimana rasanya sedang sakit dan jauh dari orang tua.

Kami berdua berangkat menggunakan mobil. Jae oppa sepertinya sudah hafal di luar kepala rute menuju ke rumah mereka. Tak lama kemudian, kami sampai di sebuah gedung apartemen tengah kota. Ini pertama kalinya aku datang ke tempat ini dan membuatku sedikit canggung. Terlebih lagi, aku akan bertemu dengan Sungjin oppa setelah tadi malam menangis di hadapannya.

Ugh!

Entah ekspresi seperti apa yang harus kutunjukkan nanti.

"Lewat sini!" seru Jae oppa sambil menarik kepalaku ke arah kanan di persimpangan koridor. Mungkin sedari tadi aku melamun.

Kami berdua berdiri di depan sebuah pintu. Jae oppa memencet bel beberapa kali hingga terdengar kunci dibuka dari dalam. Terlihat kepala Brian oppa menyembul sambil tersenyum.

"Masuklah!" ajaknya sambil membuka pintu lebih lebar.

Bagian dalam apartemen terlihat rapi dan nyaman. Jae oppa langsung duduk di sofa dan berulah seperti rumah sendiri. Sedangkan aku masih sedikit canggung dan melihat sekitar.

"Sungjin hyung masih tidur." Brian oppa berjalan menuju sebuah pintu dan membukanya.

Aku mendekat untuk melongok ke dalam walau rasanya sedikit tidak sopan. Di dalam sana, terlihat sosoknya yang tengah meringkuk dilapisi sebuah selimut berwarna putih. Jadi, ia benar-benar sakit?

"Aku liat kejadian semalam," gumam Brian oppa tiba-tiba.

"Oppa ... liat?"

Ia mengangguk. "Setelah kamu pergi, Sungjin hyung masih berdiri di sana hujan-hujanan, trus pulang basah kuyup. Biasanya dia gak pernah sakit," jelasnya.

Aku menghela napas dan kembali menoleh ke arah pria yang masih tertidur itu. Perlahan berjalan masuk, terlihat ponsel dan kado yang kuberikan terletak di atas nakas. Meski ragu, tanganku mencoba menyentuh tengkuknya sejenak.

Astaga! Suhu tubuhnya panas sekali. Ia demam.

Aku segera berlari menuju dapur dan menyiapkan air hangat walau sedikit kaku karena tak mengenali tempat dari barang-barang yang diperlukan. Setidaknya, mereka masih memiliki peralatan dapur pada umumnya.

"Kenapa?" tanya Brian oppa yang ternyata mengejarku.

"Dia demam. Aku nyiapin air kompres sama bikin bubur dulu."

WYLS | Park SungjinWhere stories live. Discover now