20. Ternyata Rio?

198 69 17
                                    

  Hanin tengah bersama Rio. Di lantai dua cafe yang lengang, ditemani deru kendaaraan yang melintas di bawah sana dan gemintang yang berkerlipan di langit pekat.

Setelah pramusaji meninggalkan mereka dengan hati-hati Hanin memulai percakapan "Rio, maaf ya?" setelah menimbang-nimbang kalimat apa yang dikatakan akhirnya kata simpel berjuta makna itu juga yang Hanin ucapkan.

"Maaf?" tanya Rio, bingung. Senyumnya lembut dengan satu alis terangkat. Hanin mengangguk, meski ia bingung akan mengatakan apa tapi gadis itu tetap berusaha tenang seperti biasa.

"Iya maaf soal di kelas dua minggu lalu. Karena walaupun kamu selalu baik sama aku, tapi aku sering banget gak ngehiraui kamu."

Rio hanya tertawa kecil sebelum akhirnya kembali berbicara dan menggenggam tangan Hanin yang tergeletak di atas meja. "Kata siapa kamu gak ngehiraui aku?"

Dahi Hanin berkedut, sembari mencerna perkataan Rio barusan gadis itu mencoba melepaskan genggaman pria yang kini begitu lekat memandanginya.

"Kamu cuma gak balas perasaan aku." ujar Rio to the point. Hanin terhenyak dengan bibir yang sedikit terbuka. Sebegitu acuh kah dia terhadap sekelilingnya selama ini sampai Rio menyukainya pun gadis itu tak sadar.

"T-tapi..."

"Tapi kamu gak tau?" potong Rio seperti mengerti apa yang akan gadis itu katakan, Hanin yang tak enak hati pun mengangguk lamat, bibirnya menampilkan senyum tipis yang dibalas Rio dengan senyuman lebar.

"Gak usah gak enak hati gitu, Han. Aku paham kok! Aku juga sadar kalau sebenarnya hati kamu itu buat orang yang sekarang ada pikiran kamu, kan?" terka Rio, benar. Untuk kedua kalinya Hanin terhenyak, bukan terkejut karena perlakuan dan semua pernyataan Rio, melainkan karena ketidaksadarannya yang acuh sampai sejauh ini.

Begitu banyak hal yang tak Hanin sadari, selain Rio yang menyukainya, ternyata Rio juga memerhatikan gerak-geriknya. Tapi, Hanin tak menyukai Reyhan. Dia hanya menaruh Reyhan pada hatinya sebagai sahabat, sebagai laki-laki yang pertama ia kenal di Pare selain Elsa dan Talia, laki-laki yang sudah membantu Hanin menambah centang mimpi yang tertulis di buku hitamnya.
Laki-laki yang memberi warna agar biru di hidup Hanin kian indah selama gadis itu merantau di Pare kecamatan terjahat.

Setelah menimbang-imbang akan mengatakan apa, akhirnya gadis itu mengatakan. "Maaf, cuma kata itu yang bisa aku ucap Yo." ucapnya tulus. Rio hanya tertawa kecil sebelumnya akhirnya melepaskan genggamannya dan memberi pernyataan bahwa; ia sebenarnya tak patah hati sampai berapa lama ketika menyadari itu, sebab ada Devi yang menyembuhkannya dan menjadi kekasihnya.

"What the? Seriously?" senyum Hanin mengembang sempurna.

"Iya. Meski Devi itu introvert dan aku gak suka. Tapi dia gadis sederhana yang sudah berhasil buat aku mencintai seseorang dengan sederhana."

"Wah selamat ya?" Hanin mengulurkan tangan yang dijabat Rio dengan hangat.

"Kembali kasih karena sudah ngenali Devi ke aku."

"Terus apa dong balasannya buat keteledoran aku yang secara gak sengaja nyomblangi kamu sama Devi?"

"Temani aku sampai pukul delapan dan kamu boleh pesan makanan apa aja."

"Yihi ditraktir!" seru Hanin kegirangan "Masih ada waktu satu jam, kalau gitu sambil aku nikmatin traktiran kamu cerita lah gimana pendekatan kalian."

"Of course, dengan senang hati." balas Rio lalu mulai bercerita.

***

"Oh jadi dia ngejauhi kamu, terus kamu betek. Gitu?" tanya Rio ketika mereka diperjalanan pulang.

"Betek itu gak sih, cuma apa ya? Kayak ngerasa aku salah apa sih kok dia sampe blokir sosmedku segala?!"

"Cuma mikiri itu sampai satu bulan kamu jadi uring-uringan?" Rio menggeleng-geleng.

"Iya,"

"Han Han, itu bukan logika yang membingungkan, tapi kamu sendiri gak peka sama diri kamu."

"Peka gimana?" Desak Hanin tak paham.

"Tuh kan! Kamu itu sebenarnya suka sama dia buktinya waktu dia pergi kamu kehilangan banget. Cuma kamu aja yang selalu nyangkal kalau kamu dan dia itu sebatas teman!"

"Ngaco ah!"

"Tuhkan dibilangi ngeyel,"

Hanin hanya tertawa kecil sebelum akhirnya berhenti di depan gerbang berwarna biru yang mulai pudar.

"Mulai sekarang lo harus belajar peka Han, kalau lo gak peka sama satu cowok itu mungkin nyakitin satu orang. Tapi kalau kamu gak peka terhadap diri kamu sendiri bisa-bisa energi negatif dari diri kamu yang berkembang. Kayak uring-uringan gitu misalnya."

"Ya deh iya, nanti aku belajar sama Devi. Setuju gak?"

"Boleh, asal Devi jangan sampai ngeluangi waktu pacaran kita aja."

"Dasar bucin!" seloroh Hanin yang dibalas Rio dengan tawa renyah.

"Oh ya Karya Ilmiah udah aku kumpuli, karya ilmiah lo gimana?"

"Udah aku kumpulin juga kok, ya semoga aja hasilnya kita berdua memuaskan,"

"Aamiin yarobal alamin, yaudah see you next time ya bye," Pria itu pun pamit, dengan lega Hanin membuka gerbang tersebut dan menutupnya kembali.

"Yang nganterin pulang namanya Reyhan juga,?" suara itu, suara nan familiar di telinga Hanin.
Gadis itu menghentikan langkahnya dan betapa terkejutnya dia ketika mendapati pria itu berdiri di sudut halaman dengan kedua tangan terlipat di depan dada.

***

Pare JahatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang