19. Email

194 71 21
                                    

Dear Reyhan,

Kamu baik kan? Aku yakin itu.
Gimana pendakian kali ini, awan nya sukses gak ngebentuk lautan kapas?
Teman-teman sebayaku pada nurut gak di ospekin kating setengil kamu?
Apa malah ketakutan gara-gara kamu sok seram? Gak tau deh aku gak bisa nerka apa-apa, kecuali ngebayangi kamu tersenyum di saat aku ngucapi terima kasih secara langsung.

Rey, sudah ya ngumpetnya?

Aku capek kalau harus mencari kamu di sela-sela jarak yang tak terelakkan.
Bersembunyi dibalik era digital yang seharusnya mudah untuk aku mengetahui kabar.
Kamu seperti di telan bumi.
Setelah kamu buat aku candu berpetualang, sekarang malah menghilang.

Mungkin Pulang, tanpa ngelibati penasaran lebih baik bukan?

Sehat-sehat di kota pelajar, jangan jadi mahasiswa gila tawuran. Dengar?
Sekali lagi, terima kasih banyakkk.
Aku suka syal biru mudanya.
Tapi aku lebih suka kalau kamu lupakan tentang buku hitamku dan semua isinya.
Makasih udah jadi teman berpetualang yang hebat meski belum tepat.

Salam,

Teman dua minggu.

***

Reyhan terdiam, pikirannya berjalan cepat. Bagaimana bisa gadis itu mengetahui semuanya dengan cepat?
Dari mana gadis itu mengetahui emailnya? Argh jika secepat ini Hanin pasti salah paham! Gerutunya dalam hati.

Pintu berderit, menampakkan seorang laki-laki berambut gondrong tengah berdiri dibaliknya.

"Apa lagi?!" tanya Rey dengan sedikit penekanan, baru saja duduk mengambil berbagai berkas kini harus...

"Dipanggil Pak Anjas ke aula seni,"

"Aula seni? Ngapain?" Tak ada jawaban, pria berambut gondrong tadi sudah pergi dari tempatnya berdiri. Setelah mematikan laptop dengan enggan Reyhan meninggalkan ruang panitia.

***

Hanin menghela napas lamat, mematikan laptopnya lalu turun ke lantai dua dengan perasaan yang sukar di tebak. Selain menyimpan rasa kesal karena Reyhan yang menjauhinya dan tak lekas membalas emailnya hingga satu bulan belakang ini. Ia juga menyesal karena sudah bersikap acuh kepada beberapa orang disekitarnya. Terutama kepada Rio.

Ya tuhan! Gumam gadis itu lirih, dia terduduk di lantai tangga, mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya, frustasi.

"Honey!" seru Dania seperti biasa, gadis itu membawa kresek hitam berisi sayuran yang akan dimasak hari ini.

"Masak sendirian?" satu alis Hanin terangkat, meski Dania tak lagi meledekinya bersama Elsa seperti hari sebelumnya--tapi Hanin tetap saja kurang bersahabat dengan gadis itu--sebab lima hari yang lalu ketika dengan sengaja Dania dan Elsa mengempeskan ban sepeda Hanin yang terburu-buru hendak menuju kursusan.

"Gak, sama Talia kok," senyum Dania merekah. Sembari menyenandungkan lagu barat yang baru dihapalnya, gadis itu menaiki tangga.

"Buat apa memikirkan orang yang bahkan berniat melupakanmu?" gumam Hanin, gadis itu tersenyum kecut ketika mengartikan lagu tersebut. Dalam diam, pikirannya tengah mencoba menyalahkan dirinya sendiri dengan menggunakan kata kenapa. Kata kenapa yang bersangkutan dengan Reyhan menjauhinya, kata kenapa yang sudah membuat Hanin tak mengenal dirinya sendiri. Kata kenapa yang sudah membuat Hanin acuh terhadap diri dan di sekitarnya--bahkan kepada beasiswa 50 persen Toefl yang pernah Rio rekomendasikan sebab dia yang sekenanya membuat karya ilmiah.

Ya tuhan! Lagi-lagi gadis itu mengeluh dan mulai menyadari kebodohannya. Setelah menimbang-nimbang apa yang akan dilakukannya, Hanin pun bangkit meninggalkan tangga dan bersiap-siap hendak menuju ke suatu tempat.

***

Pare JahatWhere stories live. Discover now