Model Beken

59 5 2
                                    

Aku masih ingat percakapanku dengan emak beberapa waktu lalu. Andai aku mengikuti perkataannya, pasti hidupku tidak akan tersiksa.

“Buat apa lo pergi ke kota, Ca,” tanya emak saat aku memutuskan untuk pergi ke kota.

“Pengen beken, terus bisa cari makan, Mak. Di sini kita susah makan,” jawabku.

“Emak lebih suka lo tinggal di sini, biar susah makan, tapi ini rumah kita, tempat kita kumpul.”

“Tapi kalau nanti rumah kita digusur gimana, Mak?”

“Kita masih bisa cari rumah lain, Ca. Yang penting kita tetap bersama. Kota itu kejam, Ca.”

Aku yang bandel tidak mengikuti perkataan emak. Sekarang hanya bisa menangis dan meratapi nasib buruk.

Ternyata mengadu nasib di kota itu tidak mudah. Apalagi pekerjaan yang kulakukan sebagai seorang model ternyata penuh siksaan. Setiap hari aku harus dipaksa untuk berdiri tegak selama berjam-jam dan makanku dijatah, nyaris aku mati lemas karena kelaparan.

Dan yang paling menyiksa adalah waktu giliran aku untuk tampil. Aku memang sudah beken, orang-orang senang melihatku, bersorak-sorai, dan mengambil fotoku, tapi mereka tidak tahu kalau aku sangat tersiksa.

Bagaimana aku tidak tersiksa? Aku harus mengenakan pakaian yang tidak nyaman, terus berlenggak-lenggok sementara aku kelaparan, dan yang paling menyiksa adalah saat rantai di leherku di tarik dengan kencang.

“Sarimin pergi ke pasar,” kata agen modelku sambil menabuh gendang di tengah teriknya lampu lalu lintas kota.

“Aku bukan Sarimin! Namaku Caca, Macaca Fascicularis!” teriakku.

Tapi siapa yang peduli?

***

The Shadows and others storiesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang