Suster Maria

2 2 0
                                    

Aku dan Anna berjalan mengendap-endap keluar dari pintu belakang asrama, takut membangunkan penjaga yang sedang tertidur.

Di luar asrama, kami terdiam sesaat, memandang siluet menara lonceng kapel tua yang terlihat menjulang tinggi di kejauhan.

"Kamu yakin ingin melakukan ini, Lis?" tanya Anna. Matanya terlihat gelisah.

Kuanggukkan kepala, lalu menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan seluruh nyaliku.

"Tapi kamu tahu kan, kapel itu angker."

"Ya, tapi kita tidak mungkin mundur, Anna. Kalau mundur, kita akan jadi bahan tertawaan dan mereka akan semakin semangat membully kita," ucapku, berusaha meyakinkan sahabatku yang bertubuh kurus dan terlihat rapuh.

Aku menyalakan senter dan mulai berjalan di lapangan rumput luas yang memisahkan antara asrama dan kapel tua. Embusan angin malam terasa dingin dan kencang menerpa wajah. Kueratkan syal di leher dan menurunkan topi rajut sampai menutup telinga. Anna merapatkan jaketnya, mengikuti langkahku di belakang.

"**

Semakin langkah kami mendekati kapel tua, semakin jantungku berdegup kencang.

"Aaaaaaakh!"
Teriakan Anna yang berjalan di belakangku, membuatku terkejut.

"Ada apa?"

"Sesuatu baru saja menyentuh kepalaku," ucapnya sambil meringis.

"Ooh itu hanya kelelawar." Lampu senter kuarahkan pada kelelawar yang sedang terbang mencari makan.

"Lisa, kita kembali saja ke asrama. Tidak perlu melakukan tantangan ini. Bagaimana kalau kita sampai melihatnya?"

Aku sudah mendengar desas-desus tentang kapel tua itu. Konon sering terdengar suara denting piano dan ada sosok hantu yang terkadang menampakkan dirinya. Hantu itu adalah hantu seorang suster yang meninggal saat sebagian kapel kebakaran, namanya Suster Maria.

Kalau bukan karena Megan dan kelompoknya, aku tidak ingin melakukan ini.

"Berhenti menggangguku!" teriakku sambil mengepalkan tinju di hadapan Megan saat tadi siang ia kembali mengusikku.

Sudah cukup ia menggangguku dan anak-anak lain yang dianggap lemah. Kelompok Megan adalah kelompok anak orang kaya yang merasa berkuasa. Mereka suka menghina dan sering melakukan pelecehan fisik; mendorong, menyiram, atau mengurung seseorang di kamar mandi.

"Ooh kamu berani, ya?!" cibir Megan sambil melipat kedua tangannya di dada dan melihatku dengan tatapan matanya yang angkuh.

"Ya!"

"Buktikan kalau kamu berani! Setelah itu kami akan berhenti mengganggumu lagi!" tantang Megan yang disambut dengan tawa terkekeh kelompoknya.

"Berhenti mengganggu murid yang lain juga!" teriakku.

"Boleh, kalau kamu berhasil menyelesaikan tantangan dari kami. Tantangan itu akan membuktikan apakah kamu seorang pemberani atau seorang pengecut." Jelas Megan.

"Apa tantangannya?" Aku balik menantang dengan berapi-api.

"Pergi ke kapel tua dan bunyikan lonceng di atas menara tepat pukul dua belas malam."
Tangan Megan menunjuk ke arah kapel tua yang berada jauh di seberang asrama.

Aku terdiam sesaat. Terbersit penyesalan di dalam hati mengapa aku harus balas menantangnya.

"Kau takut?" Megan dan teman-temannya mulai tertawa.

Tidak ada kata untuk mundur. "Ya, aku akan melakukannya malam ini."

Dan di sinilah aku sekarang bersama Anna, semakin mendekati kapel tua.

The Shadows and others storiesWhere stories live. Discover now