Jealousy

153 11 2
                                    


Tubuh Anya sudah tidak bernyawa, kaku, dan dingin sedingin es, ketika aku menemukan tubuhnya di lantai kamar kos. Tubuhnya yang terbaring telanjang terlihat putih pucat, matanya masih terbelalak, lidah menjulur keluar, dan kabel pengering rambut masih melilit di lehernya.
“Nyaaa, Anyaaa, bangun Nyaa. Siapa yang tega sama lo?” aku menangis histeris sambil memeluk tubuhnya, lalu tanganku yang gemetaran mencoba melepas lilitan kabel.
Pemilik kos dan beberapa teman penghuni kos berkerubung di kamar Anya karena mendengar teriakanku. Mereka terkejut melihat keadaan Anya yang sudah tidak bernyawa.

Beberapa jam kemudian, polisi pun datang setelah ditelepon oleh pemilik kos. Mereka memaksaku untuk keluar kamar, lalu memasang garis polisi.
Seorang polisi keluar dari kamar Anya dan mengajukan pertanyaan padaku dan pemilik kos tentang Anya.
Anya adalah sahabatku, sesama pemuas napsu laki-laki hidung belang alias PSK. Tadinya kami bekerja di satu agen mucikari. Karena setorannya terlalu tinggi, akhirnya kami memutuskan untuk mencari job sendiri lewat twitter.
Belum tuntas polisi menanyakan semua pertanyaan, terdengar suara teriakan dari kamar kos di lantai dua.
Polisi, pemilik kos, dan beberapa teman penghuni kamar kos berlari menuju arah suara.

Kulihat Dara, salah satu teman kosku, menuruni tangga dari lantai dua dengan wajah pucat pasi dan badan yang gemetaran. Ia menghampiriku, lalu bicara dengan terbata-bata, “Aangeeel, si Karen juga mati, Gel. Darah berceceran di kamarnya, perutnya robek ditusuk pisau.” Dara menarik napas, “Matanya masih melotot, Gel. Seereem. Gue mau pindah kos aja, takut.” Dara bergidik ketakutan, napas Dara terengah-engah, keringat dingin membanjiri tubuhnya. Ia pun pergi menuju kamarnya.

Beberapa teman penghuni kos lainnya terlihat turun dari lantai dua dengan wajah ketakutan. Sedangkan pemilik kos terlihat takut dan bingung, karena kejadian ini pasti merusak bisnis kamar kosnya. Jika ada pembunuhan, tidak ada lagi penghuni yang mau memperpanjang waktu sewa kamar. Apalagi kalau kejadian ini sudah sampai tersebar di media, akan sulit mendapatkan penghuni baru.
Rumah kos dua lantai ini langsung terasa sepi mencekam, hanya terdengar suara polisi yang sedang bekerja.

Aku hanya berdiam diri di depan kamar Anya. Bobi, pacarku, datang setelah aku mengirimnya kabar tentang kematian Anya.
“Anya meninggal, Gel?” Bobi terlihat terkejut dan matanya berkaca-kaca, ia mencoba melihat kamar Anya tapi polisi melarangnya.
Aku dan Bobi memilih berdiam diri di kamarku.
“Siapa yang sampai tega membunuh Anya?” lanjut Bobi tertunduk, lalu meremas-remas rambutnya. Kulihat setetes air mata jatuh di pipinya. Rupanya ia juga sangat berduka atas kematian Anya.
“Sebentar, kubuatkan kopi ya, Mas.” Kataku.

Aku pun pergi ke dapur rumah kos. Kutuangkan air panas ke dalam gelas yang berisi kopi bubuk instan, lalu kuaduk perlahan. Pikiranku melayang pada Anya, sahabatku yang cantik dan seseksi Kim Kardashian itu. Dengan kemolekan tubuhnya, ia selalu saja merebut langgananku. Pertama, ia sering merebut langgananku dengan memberikan tambahan jam dan diskon. Lama-lama, Anya juga berani merebut kekasihku, Dani, mantan pelangganku. Padahal aku dan Dani sudah hampir menikah. Sesudah Anya mendapatkan Dani, ia melihatku berpacaran dengan Bobi. Ia pun tergiur melihat Bobi yang anak orang kaya, dan sepertinya Bobi pun tertarik dengannya. Diam-diam, aku pernah melihat mereka berdua di kamar Anya.

Aku tidak bisa membiarkan mereka begitu saja. Aku tidak mau Anya merebut Bobi, Bobi milikku, dan aku mencintainya. Dan cara yang terbaik adalah dengan menyingkirkan Anya. Saat rumah kos sedang sepi, aku masuk ke kamar Anya. Ia baru saja mandi, ia tersenyum melihatku, tapi aku sangat membencinya. Sebelum Anya sempat menyapaku, kuambil pengering rambut, dan kubelitkan kabel pengering rambut itu dilehernya. Anya mencoba melawan, tapi sia-sia, kutarik kencang kabel itu sampai Anya tidak bernapas lagi. Besoknya aku hanya tinggal pura-pura mencari dirinya di kamar kos. Ada rasa puas saat aku sudah menyingkirkan Anya, tidak ada lagi perempuan yang bernama Anya.

Kubawa kopi ke dalam kamar, Bobi masih terlihat sedih.
“Minum dulu kopinya, Mas.” Kataku sambil menyerahkan secangkir kopi yang telah kubuat.
Bobi meminum kopi itu seteguk demi seteguk. Aku tersenyum puas, tepatnya aku menyeringai. Bobi melihat kejanggalan di senyumku, tapi belum sempat berkata-kata, ia mengalami kejang-kejang, sesak napas, lalu tersungkur tidak bernyawa. Racun sianida dalam kopi itu bekerja dengan cepat.
“Maaf ya, Mas. Aku gak rela kamu direbut Anya.” Aku berkata di hadapan wajah Bobi yang sudah tak berekspresi. “Aku pikir kamu tidak akan tergoda olehnya. Ternyata aku salah. Sekarang, kau bisa menyusul Anya di akhirat.” Ujarku puas. Aku tahu resikonya, biarlah nanti aku masuk penjara. Aku sudah pasrah, hidupku tidak bisa lebih kelam lagi.

Kututup pintu kamar, dari jendela kulihat polisi membawa jenazah Anya dan Karen melewati kamarku.
“Maaf, Karen saayaang. Seharusnya kamu gak melihatku keluar dari kamar Anya.” Aku menangis juga tertawa, suara burung Wiwik Kelabu, burung pembawa kabar kematian, menemani suara tawaku dalam kesunyian.

The Shadows and others storiesWhere stories live. Discover now