Eksil

4 2 0
                                    

"Ini Prof. Sumaryono, beliau ahli mesin, lebih pintar dari pak Habibie loh. Ini Eyang Joko, ahli sastra, jago puisi. Pak Dirman dan Pak Santoso ini ahli pertanian. Nah! yang masih kinyis-kinyis seperti Elvis ini Eyang Broto, dulu kuliah di teknik elektro, sama seperti Kakek," ujar kakek memperkenalkan kelima temannya yang datang dari berbagai negara.

Kelima orang teman Kakek berkumpul di ruang tamu. Mereka bersenda gurau, kemudian terdiam saat piringan hitam berputar dan terdengar musik Rayuan Pulau Kelapa mulai dari gramofon tua milik Kakek.

"Tanah airku Indonesia
Negeri elok amat kucinta
Tanah tumpah darahku yang mulia
Yang kupuja sepanjang masa"

"Tanah airku aman dan makmur
Pulau kelapa yang amat subur
Pulau melati pujaan bangsa
Sejak dulu kala ...."

Aku sudah hafal raut wajah Kakek setiap beliau mendengar lagu ini. Mata Kakek menerawang, jiwanya seperti melayang jauh ke tempat yang selalu dirindukannya. Terkadang ia menunduk, meneteskan air mata, mungkin membayangkan tanah kelahirannya, Indonesia. Pun tidak berbeda dengan raut wajah kelima teman Kakek sesama eksil, raut wajah yang terbelenggu oleh rasa rindu, rindu kampung halaman, rindu untuk pulang.

"Kakekmu ini eksil," ujar Kakek waktu dulu bercerita padaku tentang asalnya.

Kakek dan beberapa teman-temannya adalah eksil, orang-orang yang terbuang dari negaranya karena situasi politik tahun 1965. Sebelum peristiwa 1965 terjadi, Presiden Soekarno mengirim anak-anak muda dan kaum intelektual untuk belajar di luar negeri agar suatu saat dapat mengabdi dan ikut membangun Indonesia. Salah satu anak muda yang terpilih adalah Kakek. Kakek mendapat beasiswa fakultas teknik elektro di Universitas Stockholm, Swedia. Tetapi pada tahun 1965 terjadi kekacauan G30SPKI, Soekarno digulingkan dan diganti dengan pemerintahan orde baru.

Pemerintahan orde baru melakukan screening terhadap orang-orang loyalis Soekarno, kaum nasionalis, termasuk juga yang agamis, apalagi yang komunis. Screening ini bahkan dilakukan pada para pelajar yang tidak mengikuti ideologi apapun. Bagi pemerintahan orde baru, siapapun yang tidak mendukung mereka akan dicap sebagai PKI, komunis, dan sudah pasti nyawalah taruhannya.

"Kakek disuruh menandatangani sebuah surat yang bunyinya mengutuk pemerintahan Soekarno. Kakek tidak mau!"

"Kenapa, Kek?"

"Menandatangani surat itu sama saja dengan tidak tahu balas budi. Yang mengirim Kakek dan teman-teman untuk sekolah ke luar negeri itu Bung Karno, bagaimana Kakek bisa mengutuknya?"
Suara Kakek terdengar dalam dan tegas.

"Kenapa, Kek? Apa Kakek ikut pro-komunis?" tanyaku lagi, penasaran.

"Tidak! Kakek tidak ikut ideologi apapun. Kakek waktu itu hanya ingin kuliah dan nanti kembali ke tanah air untuk membangun Indonesia. Kakek tidak pernah mau berurusan dengan politik dan tidak mengerti masalah politik.
Lah wong tiap hari yang dibaca buku babon fisika," ujar Kakek tertawa terkekeh, memperlihatkan giginya yang sudah jarang.

Cerita ini selalu Kakek ulang-ulang setiap menjelang tanggal 30 September. Aku tidak pernah bosan mendengarnya, apalagi saat ia menceritakan bahwa setelah menolak menandatangani surat itu, passport dan kewarganegaraannya dicabut. Ia tidak dianggap lagi sebagai warga negara Indonesia.

"Seperti kehilangan nyawa," katanya getir.

Aku dapat membayangkan hidup dengan identitas tidak jelas, tidak punya kewarganegaraan berarti tidak punya tanah air. Tidak punya tanah air berarti tidak bisa pulang. Tidak bisa pulang berarti tidak bisa bertemu dengan keluarga, sanak saudara ... luntang-lantung tidak jelas, gentayangan di negara orang yang tidak dikenalnya.

Beruntunglah Kakek bisa menyelesaikan kuliahnya, lalu mendapatkan tawaran untuk mengajar di salah satu universitas di Swedia. Di sana ia bertemu dengan nenekku, sesama kutu buku, kemudian mereka menikah.
Setelah menikah, ia pindah mengajar di Leiden, Belanda. Ia pun resmi menjadi warganegara Belanda setelah sekian tahun tanpa status kewarganegaraan.

"Setidaknya Belanda selalu mengingatkan Kakek pada Indonesia ... banyak kepingan cerita tentang Indonesia, terutama di Leiden ini," ujar Kakek dengan suaranya yang serak.

"Bukankah lebih baik tinggal di sini, Kek? Di sini negara maju. Indonesia itu bukannya negara miskin?"

Mendengar perkataanku, mata Kakek yang sayu langsung mendelik tajam, lalu perlahan sinar matanya meredup, sendu.

"Indonesie is een prachtig land, Elsa.* Di sana hanya ada dua musim, kemarau dan hujan. Cuacanya ramah, seramah orang-orangnya. Tidak ada winter yang dinginnya sampai menusuk ke tulang. Suhunya hangat, kita bisa bermandi cahaya matahari dan berenang di pantai kapanpun kita mau," kata Kakek tersenyum.

Aku sendiri belum pernah menginjakkan kaki di Indonesia. Mungkin suatu saat nanti aku akan ke sana untuk melihat negeri yang ikut mengalirkan seperempat darahku.

"Indonesia itu punya banyak pulau yang cantik dengan pantai berpasir putih, pohon-pohon kelapa yang hijau di sepanjang pinggir pantai, air laut yang biru jernih dan hangat. Hemel in de wereld*. Kamu akan langsung jatuh cinta dengan Indonesia," katanya dengan nada pasti dan penuh rasa bangga.

Tapi Kakek tidak bisa memungkiri, Indonesia juga menyimpan kenangan pahit. Di saat yang sama ia tidak bisa pulang ke kampung halamannya, saat itu juga ia kehilangan kontak dengan istri yang tengah mengandung anaknya. Sampai sekarang ia tidak pernah mengetahui kabar mereka, hilang bagai tertelan bumi.

Nasib yang sama juga dialami oleh teman-teman eksil kakek yang kini sedang berkumpul bersama. Ada yang kakaknya terbunuh dengan tubuh yang tercincang, ada yang ayahnya diculik, istrinya diperkosa dan meninggal di penjara, semua merasakan kehilangan satu per satu anggota keluarga semata karena fitnah yang kejam, padahal mereka bukan PKI dan tidak pernah terlibat dengan kegiatan PKI.

"Apa bedanya kekejaman yang mereka lakukan dengan PKI? Sama biadabnya!" kata Kakek geram.

Aku dapat merasakan luka di hatinya yang masih menganga, belum dapat ditutup ... mungkin sampai akhir usia.

Kakek dan teman-temannya, sesama eksil, tidak berani pulang. Mereka pernah berusaha. Ada yang berusaha mendekat ke Indonesia, tapi hanya sampai di Malaysia, tetap tidak bisa pulang.

Hingga tiba hari ini, mereka bilang di Indonesia sedang ada reformasi, rezim orde baru berhasil ditumbangkan. Banyak masalah sejarah yang mulai diluruskan, termasuk memulihkan status para eksil yang dituduh PKI. Hari ini mereka merayakannya dengan berkumpul bersama seraya mendengarkan lagu Rayuan Pulau Kelapa.

Piringan hitam masih berputar, reff lagu Rayuan Pulau Kelapa masih terdengar syahdu, memanggil untuk segera pulang...

"Melambai lambai
Nyiur di pantai
Berbisik bisik
Raja Kelana"

"Memuja pulau
Nan indah permai
Tanah Airku
Indonesia ...."

Lagu pun selesai, kulihat kakek dan teman-temannya menghapus air mata, kemudian kakek berkata pada mereka,

"Akhirnya kita merdeka. Kita bisa pulang ... kita bisa pulang .... " ujarnya lirih.

#CerpenNiranggana
#FlashfictionNiranggana
#CeritaNiranggana
#fiksiminiNiranggana

***

Mengumpulkan cerita yang terserak. Ini dari event 30 hari menulis tahun 2018 bersama Sahabat Kabol Menulis yang temanya diambil dari judul-judul lagu. Waktu itu berhasil dapat juara 2, kalau gak salah 😁.

terjemahaan:

*Indonesia itu indah, Elsa.
*Surga di dunia.

(pict dari contohsoal blogspot.)

The Shadows and others storiesWhere stories live. Discover now