Selamat Datang Rika

5 1 0
                                    

Rumah besar peninggalan zaman kolonial itu masih terlihat kokoh walaupun sudah berpuluh-puluh tahun tidak berpenghuni dan dibiarkan terbengkalai.
Hanya cat putihnya saja yang terlihat memudar dan menghitam diterpa cuaca.

Kali ini aku melihat ada pancaran cahaya lampu dari jendela rumah besar itu.

"Apakah rumah besar itu sudah ada penghuninya?" benakku bertanya-tanya.

Didorong oleh rasa penasaran, aku berjalan melewati semak, menyeberangi jalan kecil, dan mendekati pagar rumah besar itu. Aku mengintip dari balik pohon pinus yang tinggi besar yang berada di luar pagar. Samar-samar terdengar suara lolongan anjing, suara orang berbicara, kemudian aku melihat bayang-bayang hitam orang hilir mudik dari balik jendela. Rupanya rumah itu memang sudah berpenghuni.

Aku menarik napas lega, tersenyum, lalu berlari kecil kembali pulang. Malam hari ini jantungku berdebar kencang, aku tidak dapat memejamkan mata, tidak sabar menunggu, ingin melihat dan berkenalan dengan si penghuni rumah.

**

Matahari pagi baru saja menyapa. Cahayanya yang menyilaukan menyinari rumah besar itu. Jendela-jendela besar yang dulunya selalu tertutup rapat, kini semua sudah terbuka lebar. Catnya yang memudar sudah kembali berwarna putih seputih susu.

Aku menunggu dan memperhatikan di tempat yang sama seperti kemarin. Dari atas jendela lantai dua, aku melihat seorang gadis cilik berambut pirang panjang sedang melihat ke luar jendela. Aku melambaikan tangan ke arahnya, berharap ia melihatku. Tapi ia langsung menghilang dari jendela.

Kuberanikan diri melangkahkan kaki untuk masuk ke dalam pekarangan rumah itu. Aku terlonjak saat seekor anjing doberman hitam legam mengadangku dari balik pagar. Anjing itu menggonggong hebat, bulu tengkuknya terlihat berdiri, lalu menggeram memperlihatkan taring-taring giginya yang tajam, liurnya menetes dari sela-sela gigi. Tak lama kemudian ia melolong, lolongan panjang dan berkali-kali, seperti melihat makhluk halus di dekatnya.

Aku segera membalikkan badan untuk berlari pulang. Belum sempat aku melangkah, seseorang menepuk pundakku dari belakang. Kutolehkan kepala dan melihat gadis cilik dari jendela di lantai dua tadi.

Gadis itu rupanya seusia denganku. Parasnya cantik seperti boneka, kulitnya putih dengan bintik-bintik coklat di pipi, bermata hijau kebiruan seperti laut yang jernih, hidungnya mancung, dan bibirnya terlihat merah mencolok, kontras jika dibandingkan dengan warna kulitnya yang pucat. Ia tersenyum padaku.

Kuulurkan tanganku, aku tidak tahu harus berkata apa, aku hanya ingin menjadikannya teman dan mengajaknya bermain. Tak kusangka, ia menyambut tanganku.

"Riiikaaaa! Waar ga je heen*?"
Suara teriakan seorang wanita terdengar dari dalam rumah.

Rika namanya, ia menoleh ke arah rumah, lalu tidak menghiraukan panggilan itu. Ia tertawa kecil dan semakin mempererat pegangan tangannya.

**

Kami berjalan menyeberangi jalan kecil, menembus semak yang sering kulewati, melewati sungai berair jernih yang penuh bebatuan, memasuki hutan kecil yang temaram, dan akhirnya kami tiba di tengah hutan.

Kepala Rika menengadah, kemudian ia berputar melihat ke atas langit yang tertutup oleh rimbunnya pepohonan di hutan.

Tiba-tiba hutan yang sunyi seketika menjadi ramai oleh suara anak-anak yang gembira menyambut kedatangan kami berdua. Mereka berada hanya beberapa langkah di depanku dan Rika, berteriak, bertepuk tangan, tertawa, lalu memanggil namaku dan Rika.

"Darmin! Darmin!"

"Rika! Rika!"

Kutinggalkan Rika, berlari ke arah teman-teman. Sementara Rika terlihat kebingungan, wajahnya semakin pucat, ia menggigit jari tangannya, menengokkan kepala ke kiri dan ke kanan, kakinya mulai melangkah ke jalan yang tadi kami lalui, rupanya ia berniat kembali pulang.

Tapi aku dan teman-teman tidak menyerah, kami terus memanggilnya untuk mendekat dan mengajaknya bermain.

"Kemari, Rika, kemari."

"Rika, ayo kita bermain."

Rika terdiam sesaat, kemudian tersenyum dan berlari ke arah kami. Kami melonjak gembira.

"Hore! Hore!"
Teriakan kami menggema di hutan.

"Aaaaaghhh!" jerit Rika yang terperosok ke dalam lubang hitam yang sebelumnya tertutup semak belukar.

Kami terdiam, lalu melihat ke dalam lubang. Sampai hari menjadi gelap, lubang pun terlihat semakin gelap, tidak ada apa-apa, juga tidak terdengar lagi suara Rika.

**

Suara gonggongan anjing disusul langkah kaki orang-orang, menyadarkan kami semua. Kami menyingkir, bersembunyi ....

Anjing yang menggonggongku di rumah Rika, berhasil menemukan lubang hitam itu. Ia menyalak, memberitahu orang-orang akan keberadaan lubang itu.

Lima orang laki-laki dewasa, termasuk satu orang kakek pengurus rumah besar Rika, dan satu orang bule yang kuduga pasti adalah ayahnya Rika, melihat ke dalam lubang, menyoroti lubang dengan lampu senter, memanggil nama Rika.

Satu orang yang terlihat membawa perlengkapan, menurunkan tali ke dalam lubang. Satu orang mulai turun ke dalam lubang dengan lampu senter di tangannya.

Beberapa lama kemudian, orang itu sudah kembali ke atas lubang dengan memanggul tubuh mungil Rika yang penuh luka dan darah. Wajah orang itu kotor dan memucat, ia berkata dengan terbata-bata,

"Ada ... ada ... ada banyak tulang di bawah."
Badannya terlihat gemetar karena ketakutan.

"Tulang apa?" tanya si Kakek.

Ayah Rika sendiri langsung pergi membopong Rika.

"Tulang orang, tulang kecil, tulang anak-anak," katanya, lalu terduduk lemas.

Semua orang dewasa itu terperanjat dan langsung bergerak mendekati lubang. Akhirnya satu orang memutuskan turun dan mengambil semua tulang belulang.

Terkumpul empat tulang jenazah anak-anak.

"Innalillahi ... mungkin ini tulang belulang anak-anak desa yang dikabarkan sudah lama menghilang," kata si Kakek sambil mengusap wajahnya.

"Kenapa mereka ada di sini semua?" tanya yang lainnya.

"Sudah! Kita kumpulkan di kantor desa. Hari sudah gelap. Ayo cepat kita pulang!" perintah si Kakek.

Merekapun pergi meninggalkan hutan, tinggallah kami berempat di dalam hutan.

**

"Aku hanya ingin mengajak mereka bermain. Selama ini aku kesepian, tidak ada teman, tidak ada siapapun .... " kataku pada teman-teman.

Teman-teman yang lainnya ikut tertunduk sedih. Sekarang, setelah tulang belulang mereka ditemukan, lubang pasti akan ditutup, aku tidak bisa lagi mencari teman yang banyak untuk bermain, hanya tinggal kami berempat.

Sebuah sentuhan dingin dipundakku membuatku menoleh seketika. Di situlah Rika berada, bibir mungilnya yang merah tersenyum manis memandangku.

Kami pun berteriak, melompat gembira, menyambut kedatangannya.

"Selamat datang, Rika .... "

***
terjemahan:
*"Riiikaaaa! Kamu mau ke mana?"

Cerpen ini dibuat bulan Agustus tahun 2018 waktu mengikuti tantangan Basagita.

#CeritapendekNiranggana
#CeritaNiranggana

*Sumber foto dari internet, model cilik Rusia.

The Shadows and others storiesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang