Rumah No.4

1 2 0
                                    

"Jangan nomor empat! Kenapa kamu pilih nomor empat? Batalkan saja! Pilih nomor delapan atau sembilan!"

Mami terus saja marah dan tidak mau masuk ke dalam rumah yang sudah aku beli, rumah nomor empat. Seperti kebanyakan orang Tionghoa, Mami percaya kalau angka empat adalah angka sial karena terdengar seperti kata kematian.

"Mami kenapa masih percaya hal-hal seperti itu?" ucapku sambil masuk ke dalam rumah.

Setelah dibujuk oleh Papi, akhirnya Mami masuk ke dalam rumah meski sambil bersungut-sungut. Rumah yang kubeli cukup luas, ada tiga kamar tidur di dalamnya sehingga memungkinkan untuk kami tinggal bersama.

"Kamar yang ini untuk Mami dan Papi."
Aku membuka pintu kamar yang letaknya dekat dengan kamar mandi.

"Mami tetap tinggal di rumah adikmu saja!"

Aku pikir setelah melihat kamarnya, Mami akan berubah pikiran. Ternyata Mami tetap memilih untuk tinggal di rumah adikku meski rumah dan ukuran kamarnya lebih kecil. Itu semua hanya karena angka empat. Papi pun tidak berhasil membujuknya. Tidak lama setelah melihat rumahku mereka langsung pergi.

Aku menghela napas. Kupandangi rumahku dari depan, rumah bergaya american farm house yang didominasi cat putih dengan banyak jendela adalah rumah idaman istriku.
Ia sangat bahagia saat melihat rumah ini. Suatu saat rumah ini akan diramaikan oleh suara anak-anak.

Esok paginya aku dan istriku berjalan mengelilingi komplek, berkenalan dengan beberapa tetangga. Ada sebuah rumah yang menarik perhatian karena catnya yang berwarna hitam berpadu dengan warna coklat dari kusen-kusen jendela, tapi sepertinya rumah itu kosong, tidak ada tanda-tanda kehidupan. Rumput di halaman depan dibiarkan tinggi, lampu depan pun masih menyala, dan banyak sampah berserakan mengotori halaman.

"Ini rumah siapa, Pak? Sayang sekali dibiarkan seperti itu," tanyaku pada seorang tetangga.

Bapak tetangga menjelaskan bahwa pemilik rumah itu sudah lama meninggal. Waktu itu pemiliknya sedang membetulkan antena televisi yang ada di atas rumah. Kemungkinan ia terpeleset dan tubuhnya jatuh tertusuk di atas pagar. Semenjak itu keluarganya pindah dan rumah didaftarkan untuk dijual tapi belum ada yang mau membeli.

Aku bergidik ngeri melihat pagar rumah yang atasnya runcing. Wajah istriku terlihat pucat. Tanpa sengaja aku melihat nomor rumah itu, blok B nomor empat Mungkin itu hanya sebuah kebetulan. Aku dan istriku pun lanjut berjalan melihat-lihat rumah yang lain.

Sebuah rumah menarik perhatian istriku..Rumah itu besar dan halamannya yang luas ditanami bunga hortensia aneka warna. Meski cat putihnya sudah mengelupas dan beberapa bagian tembok sudah diselimuti jamur hitam, bangunannya masih terlihat kokoh. Ada tanda dijual di depan pagar.

"Mau dijual berapa rumah ini informasinya, Pak?" tanyaku pada satpam yang sedang berada di dekat rumah itu. Aku tertarik membelinya untuk Mami dan Papi.

Pak Satpam menyebutkan sejumlah angka yang menurutku terhitung murah, kemudian ia berkata, "Tapi ini rumah bekas perkara, Pak."

"Perkara apa?" tanyaku.

"Bapak yang punya rumah ini dulu membunuh istri dan anak-anaknya," jawab Pak Satpam berbisik.

Aku mendengar suara istriku menahan jerit. Kuperhatikan lagi rumah yang kini terkesan dingin. Di atas pintu rumah ada angka, huruf di depannya sudah hilang dan angka kedua catnya sedikit pudar tapi masih dapat dilihat, angka empat. Kami memutuskan untuk kembali ke rumah setelah menenangkan diri dengan pergi ke taman komplek.

Esok harinya, aku melihat Mami dan Papi yang kembali datang dari jendela kamar, tapi mereka hanya diam berdiri di depan pagar. Aku berjalan untuk membukakan pintu pagar, tapi dua orang polisi berteriak dan melarang Mami dan Papi untuk masuk ke rumahku. Mami berteriak histeris dan menangis, Papi memeluknya erat-erat

"Ada apa ini? Mereka orangtuaku!" teriakku pada seorang polisi.

Mereka tidak menggubris pertanyaanku dan terus menerobos masuk ke dalam rumah bersama dengan petugas lainnya

"Hai! Brengsek kalian! Jangan sembarangan! Ini rumahku!"

Aku mengikuti mereka masuk ke dalam rumah. Saat aku akan kembali berteriak, seorang polisi berbicara lewat handy talk, "Kasus perampokan dan pembunuhan di rumah nomor empat."

Aku terhenyak. Di sana, di dalam kamar, di atas tempat tidur berseprai putih, aku melihat tubuhku dan tubuh istriku bersimbah darah ....

#CerpenNiranggana
#flashfictionNiranggana
#ceritaminiNiranggana
#CeritaNiranggana

Cuma iseng buat hiburan 😁.
Maaf kalau ada yang kurang, ya 😊🙏.

The Shadows and others storiesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang