Ujung Perjalanan

0 2 0
                                    

Cerita pendek ini terinspirasi dari kisah nyata Mba Novita Puspa dan Mba Purba Riri di grup LIKE yang saya fiksikan.

-----------------------------------------------------------

"Ini seperti Twilight Zone. Kamu tahu serial The Twilight Zone?" tanyaku, tapi kau hanya diam.

"Pasti kamu tidak tahu. Bukan zamanmu," ucapku terkekeh.

Kau bergeming. Aku tetap bercerita tentang hari-hariku sambil berjalan di sampingmu.

Hari-hariku berjalan seperti biasa, tapi hari ini ada yang berbeda. Aku terbangun di sebuah ruangan yang dibatasi oleh tirai berwarna hijau. Orang-orang yang hilir mudik di sekitar ruangan bukanlah orang-orang yang kukenal.

Kulangkahkan kaki untuk memastikan di mana aku berada. Suara gaduh dari balik tirai sebelah menarik langkah pertamaku ke arah tirai itu. Di sana, dokter dan suster sedang sibuk memasukkan selang dan jarum suntik ke tubuh seorang kakek. Sementara dua orang yang berada di samping tubuh kakek itu terlihat menangis tersedu-sedu.

"Aku bertanya-tanya kenapa mereka menangisinya seperti itu? Padahal kulihat kakek renta itu baik-baik saja, bahkan kami sempat saling bertatapan dan bertegur sapa," ceritaku, tapi kau sama sekali tidak tertarik mendengarnya dan terus berjalan.

Aku pun masa bodoh dengan sikap acuhmu itu dan lanjut bercerita. Ternyata aku berada di rumah sakit. Aku berjalan ke setiap sudut rumah sakit. Tiba-tiba aku masuk ke sebuah ruangan yang gelap. Saking gelapnya aku tidak dapat melihat diriku sendiri. Anehnya, di sana aku merasakan ketenangan. Aku mencari keluargaku, nenek dan saudaraku yang sudah meninggal. Tentu saja aku tidak dapat menemukan mereka. Aku terus berjalan dalam gelap sampai tiba di sebuah ruangan yang terang benderang.

"Aneh'kan aku bisa berjalan dalam kegelapan tanpa tersandung? Dan entah ruangan apa itu?" tanyaku tanpa mengharap jawaban darimu.

Selanjutnya aku masih ingat melihat Ibuku di ruangan yang terang benderang itu. Ibu duduk di ujung tempat tidur. Wajahnya terlihat sedih dan letih. Tubuhnya terlihat makin ringkih.

"Aku ingin berbicara dengannya, tapi mulutku seperti terkunci. Mulutku terbuka, tapi tidak ada sepatah kata pun yang terucap. Aku ingin memeluknya, tapi kakiku seperti terbelenggu," ucapku seraya menyeka setetes air mata yang jatuh di pipi. Aku ingin kau memelukku, tapi kau tetap dingin.

Untunglah keluargaku dan seorang tetangga datang menemani Ibu. Aku kembali ke tempat tidur. Ibu, keluarga, dan tetanggaku berkumpul di sekelilingku. Aku tersenyum dan menyapa mereka semua.

"Tapi mereka hanya terdiam. Mengapa mereka diam saja?! Sama seperti dirimu!" ucapku, mendengkus, lalu memonyongkan bibir dua senti.

"Kita mau ke mana? Kapan kita sampai?" tanyaku padamu. Tapi kau diam dan tetap menatap lurus ke depan. Ini akan menjadi perjalanan yang panjang, pikirku. Entah di mana ujung perjalanannya. Kuputuskan untuk lanjut bercerita. Jika aku tidak bercerita, mungkin perjalanan ini akan membosankan.

Seorang suster datang memeriksaku, aku tersenyum dan menyapa. Suster juga tidak membalas senyum dan sapaanku. Kemudian Suster memberi aba-aba kepada dua orang perawat untuk memindahkanku ke sebuah tandu. Tahu-tahu aku sudah berada di dalam ambulans ditemani oleh Ibu, Suster, dan tetanggaku. Ibu menangis, aku berusaha menenangkannya dengan mengatakan bahwa aku baik-baik saja, tapi Ibu seolah tidak mendengarkanku dan tetap menangis.

Ambulans pun tiba di rumah sakit yang lain. Dokter memeriksaku, kemudian melakukan CT Scan, Rontgen, dan terakhir memintaku untuk mengangkat kaki jika merasa sakit.

Aku merasakan sesuatu menusuk jari kakiku, dan itu sakit. Dengan sekuat tenaga aku berusaha mengangkat kaki. Untunglah aku dapat mengangkatnya. Seketika terdengar jerit bahagia dan ucapan syukur dari mulut Ibu, Suster, dan tetanggaku. Dokter tersenyum, kemudian mendekati telingaku dan berbisik ...

"Kalau kamu melihat sosok putih, jangan mengikutinya."

Aku berhenti dan melihatmu. Kaulah sosok putih itu. Kau terus berjalan, dan kali ini aku dapat melihat ujung perjalanan. Di ujung perjalanan terlihat sinar yang terang benderang. Aku ingin mengikutimu menuju sinar itu, tapi aku teringat Ibu. Jadi aku memilih untuk kembali.

"Perjalanan kita sampai di sini," ucapku untuk terakhir kalinya padamu. Aku pun berbalik menyusuri jalan yang gelap ....

Aku terbangun di kamar rumah sakit. Kurasakan sakit di seluruh tubuh. Beberapa bagian tubuhku dibelit perban dengan noda darah. Beberapa bagian terlihat lebam.

"Kamu kecelakaan waktu berangkat kerja, Nak." Ibu menjelaskan sebuah mobil dari arah yang berlawanan menabrak motorku, aku terhempas dan terkapar bergelimang darah di atas jalan.

Tidak terasa air mata mengalir. Aku bersyukur dapat kembali hidup. Tapi perjalanan yang ternyata singkat denganmu tidak akan pernah kulupakan.

***
Bogor, 28 Februari 2021
Nonny Ranggana
-----------------------------------------------------------
Pesan dari Mba Novita, jangan diam jika ada orang terdekat kita yang sedang koma. Ajak bicara dan berikan sentuhan karena sebenarnya orang yang sedang koma dapat mendengar dan melihat 😊🙏.

*Pict dari Line.

The Shadows and others storiesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang