Iri

3 2 0
                                    

IRI

Kulangkahkan kaki di depan area sebuah apartemen mewah menuju salon kecil yang direkomendasikan oleh sahabatku.
Kubuka pintu salon yang terbuat dari kaca, seketika gemerincing lonceng kecil berbunyi nyaring ... menyambut kedatanganku.

Wangi salon yang khas, campuran wangi sampo dan obat kimia rambut langsung menusuk hidungku.
Suasana salon yang serba putih, lima deret cermin besar berkusen putih dan meja-meja kayu berwarna senada, membuat salon terasa bersih dan lapang.
Hanya kursi-kursi salon saja yang terlihat mencolok dengan warna pink terang, menambahkan kesan a little bit cute, menggemaskan.

"Mau di creambath, Mbak?" tanya seorang pegawai salon, tersenyum ramah.

"Mau potong rambut," jawabku.

Pegawai salon berambut panjang kekuningan itu kemudian mempersilakanku untuk duduk di salah satu kursi berwarna pink. Kujatuhkan tubuhku di atas kursi yang empuk, lalu mengembuskan napas lega, menghilangkan semua penat setelah seharian bekerja.

Suara mesin yang berdesis mengalihkan pandanganku. Aku melihat dari cermin yang berada di hadapanku, di sebelahku duduk seorang perempuan cantik. Tiba-tiba saja rasa iri menyelinap di dada. Iri melihat rona kecantikannya. Iri dengan wajah tirusnya yang dibalut kulit seputih susu dan mulus tanpa cela.

"Mau potong rambut model apa?" tanya pegawai salon berambut kekuningan tadi sambil melepaskan ikatan scrunchie dari rambutku.

"Shaggy."

"Kalau shaggy rambutnya masih terlalu pendek, nanti jadi kasar dan kaku. Bagaimana kalau dioval layer saja?"

Aku mengganggukkan kepala. Apapun yang membuatku terlihat cantik seperti perempuan di samping, aku akan manut nunut.

Sebuah cape dari plastik dipakaikan di atas tubuhku. Pegawai salon mulai menyisir rambutku yang kering dan mengembang.

"Pernah potong rambut sendiri, ya? Ini panjang rambutnya tidak rata," ujar pegawai salon itu.

"Iya," ucapku tersipu malu.

Aku melirik lagi ke kaca, melihat perempuan cantik itu. "Andai aku bisa melakukan perawatan seperti dirinya," ucapku dalam hati.
Hari ini aku menerima gaji pertamaku.
Aku bertanya-tanya ... berapa uang yang harus dikeluarkan untuk melakukan perawatan seperti perempuan cantik di sampingku ini. Berapa juga penghasilannya sebulan sampai bisa tinggal di apartemen semewah ini. Mungkin aku harus bersusah payah bertahun-tahun menabung untuk memilikinya.
Aku mendesah.

"Mbak habis kerja?" tanya pegawai salon yang mulai menjepit dan menggunting rambutku.

"Iya, Mbak."

"Kerja di mana?" tanyanya lagi berusaha menghangatkan suasana.

"Di firma hukum."

"Wah! Mbak pengacara?"

"Belum, baru intern*."

"Tapi lulusan sarjana hukum, ya?"

"Iya." Aku tersenyum, ada rasa bangga terselip di dada meski karirku masih berada di bawah.

Rupanya perempuan cantik itu mendengar percakapan kami berdua. Ia menatapku dari cermin. Kami saling bertatapan.
Aah! Aku masih iri dengan kecantikannya.
Aku melayangkan senyuman. Ia tidak membalasnya lagi dengan senyuman, tapi ia terus menatapku. Tatapan yang intens dengan sorot mata yang dalam.

"Apa ada yang salah denganku? Mengapa ia menatapku seperti itu? Apa aku terlihat jelek?" tanyaku dalam hati. Tatapan perempuan itu membuatku rikuh. "Apalah aku ini jika dibandingkan dengan dirinya," pikirku.
Kuambil majalah dari atas meja dan tenggelam dalam bacaan, tapi aku masih dapat merasakan sorot matanya yang tertuju padaku.

Akhirnya rambutku selesai dipotong. Tumpukan layer berayun ringan membingkai wajah kotakku. Hatiku senang, kepalaku terasa ringan, dan aku merasa cantik walau tidak secantik perempuan di sebelahku.

Ternyata perempuan cantik itu juga baru selesai dismoothing. Aah! Aku terpana dengan kecantikannya. Rambutnya lurus panjang kecoklatan dan berkilau indah.

Pegawai salon melepas cape kami berdua.
Aku merapikan blazerku, lalu menenteng tas kerjaku, dan berjalan menuju kasir.
Perempuan cantik itu kulihat berjalan masuk ke dalam toilet sambil menjinjing tote bagnya.

Setelah selesai membayar, aku terkejut melihat penampilan perempuan itu yang baru saja keluar dari toilet. Riasan make upnya terlalu berani dengan eye liner tebal dan lipstik merah menyala. Pakaian yang dikenakan pun terlihat seronok membentuk payudara dan bokongnya yang sama-sama bulat berisi.
Saat ia mendekat, tercium aroma parfum yang menyengat.

"Mbak, kalau ke kamar 701 lewat mana, ya?" tanyanya pada pegawai salon dengan suara yang lirih.

"Coba tanya saja ke security, Mbak."

Perempuan cantik itu pun berlalu.
Ia melewatiku dengan tatapan matanya yang sayu dan sorot mata lemah, sedih, dan tidak berdaya. Aku tercekat. Sementara kudengar bisik-bisik pegawai salon yang menyebutkan kata, perempuan panggilan.

***

Bogor, 3 Mei 2021
#ceritafiksi
#cerpen
#cerpenniranggana

*intern, posisi karir dalam firma hukum.
*pict dari blog unik . com

The Shadows and others storiesWhere stories live. Discover now