Keputusan

12.8K 764 49
                                    

"Kamu hamil?"

==================

Suara Anaya tak keluar, seakan ia tercekat dengan pertanyaan dari Indra.

"Iya pak" jawab Anaya, kemudian disusul dengan tawa miris Indra.

Indra merasa ada sedikit cubitan kecil dalam hatinya, seakan dari cubitan itu ada rasa yang menghilang darinya.

"So? Kenapa harus berhenti kerja Nay? Sepertinya kita pernah ngobrol tentang kamu yang sangat mencintai karier kamu?" kata Indra.

"Tadi sudah saya jelaskan pak" jelas Anaya.

"Perusahaan yang sekarang jadi tempat kamu kerja adalah perusahaan impianmu lho Nay, aku rasa ada sesuatu yang membuatmu seperti ini" Indra masih heran.

"hhhft.." Anaya sedikit mengambil nafas berat.

"Beberapa waktu ke depan saya akan banyak kesibukan yang harus saya lakukan pak.. Saya takut kesibukan saya ini akan berefek buruk pada pekerjaan saya, terutama pada perusahaan ini pak" jelas Anaya.

"Aku tidak akan membiarkanmu berhenti dengan mudah jika alasanmu ingin berhenti hanya karena itu Nay! Masalah hamil kan bisa ada peringanan. Perusahaanku tidak buta soal hak orang-orang yang kerja padanya kok, apalagi dengan orang yang etosnya keras seperti kamu Nay! Tentu perusahaan akan mempertimbangkan, aku juga akan bantu, kamu jangan khawatir soal kerjaan Nay.." kata Indra tegas.

Tatapan tajam Indra seakan benar-benar menelanjanginya dengan kejujuran. Apa ia harus jujur? Dengan keadaannya yang seperti ini? hhhh.

"Saya akan bercerai pak" Satu kalimat itu akhirnya lolos dari bibir Anaya.

"Apa Nay?" kaget. Indra benar-benar kaget. Berita yang ia dapat dari satu sosok yang ia cintai di depannya ini benar-benar membuatnya terkejut.

"Iya pak, saya berencana untuk bercerai" Anaya memperjelas perkataannya.

Indra duduk mendekat. Kursi yang ia duduki sengaja ia dekatkan dengan Anaya.

"Apa yang terjadi sih Nay?" tatap Indra sambil memandang mata Anaya yang mulai tampak berkaca-kaca.

"It's okay Nay.. Kita bahas masalah ini saat kontrakmu habis saja. Kalau butuh bantuan, aku bersedia bantu kamu kok" Indra tidak sanggup melihat Anaya bersedih.

"Makasih pak, saya pamit dulu ya, saya mohon rahasiakan pembicaraan kita tadi" tekan Anaya.

"Never mind Nay, You can get better" senyum Indra mengembang pada Anaya.

Setalah pamit, Anaya bergegas keluar kafe dan beranjak segera pergi, sedangkan Indra masih terdiam di tempatnya.

'Harusnya aku tak mudah menyerahkanmu Nay' sesal Indra hingga menampakkan wajah kusutnya.

Indra segera meraih HP-nya, memencet beberapa kali layar HP, dan segera mendekatkan layar HP-nya pada telinganya.

"Roy, gue butuh informasi, coba cari tahu tentang orang ini.. Ya.. Gue kirim sebentar lagi... segera...." Indra segera menutup HP-nya. Wajah Indra berubah menjadi seringaian yang entah tidak dapat ditebak.

===================================

Rumah Fakhri.

Malam semakin larut, ada sosok pria tegap yang masih duduk di depan teras sebuah rumah asri. Wajahnya ditutupi oleh kedua tangannya, badannya sedikit bergetar karena isak tangisnya, sepucuk amplop putih ia pegang, beserta isi yang ada di dalamnya.

'Naya hamil anakku, Nay, maafkan aku' batin Fakhri berteriak dalam diam.

"Le.. tidur, ada apa?" Suara pria tua membuka pintu yang tadinya tertutup. Bapak Fakhri keluar rumah, duduk dan menemani Fakhri. Seketika Fakhri berusaha menenangkan dirinya sendiri.

"Kamu kenapa?" tanya pria tua itu.

"Aku melakukan kesalahan besar pak, Anaya sedang mengandung, dan mungkin Anaya akan ninggalin aku, aku benar-benar menyayanginya" jelas Fakhri.

"Alhamdulillah kalau begitu, jadi Ara bisa punya adik.." jelas Bapak sambil menyulut rokok dan mencoba untuk menenangkan Fakhri.

"Kamu sudah dikaruniai perempuan-perempuan hebat di hidupmu Le..." kata Bapak.

"Dan kamu harus bertanggung jawab penuh atas mereka, kalau memang ada pilihan yang lain, semoga kamu bisa lebiih bijak dalam melihat sesuatu" imbuh Bapak.

"Fakhri akan pulang besok Pak, Fakhri harus ketemu dia" kata Fakhri.

"Jangan lupa pamit sama yang lain, terutama Ziyah, dia perlu tahu kamu kemana" kata Bapak.

Fakhri mengiyakan, kemudian beranjak dari tempat duduknya, dan lalu masuk ke dalam kamar temat Ara dan Ziyah tidur.

Ziyah yang menyadari keberadaan Fakhri memasuki kamar, lantas terbangun.

"Mas kebangun? Mau Ziyah buatin kopi?" tawar Ziyah.

Fakhri menggeleng. "Aku besok ke Jogja" kata Fakhri lirih.

"Apa mas? Kenapa?" Ziyah sedikit meninggikan suaranya.

"Kenapa? Kamu masih tanya kenapa? Jelas nyusul Anaya, kamu lupa kalau dia itu istriku?" Fakhri mulai sedikit ngotot, tak percaya apa yang ditanyakan oleh Ziyah tentang niatnya untuk menyusul Anaya, seakan lupa Anaya itu siapa.

"Aku juga istrimu mas! Kenapa sih Mbak Anaya terus? Mas sudah sangat lama menghabiskan waktu dengan perempuan itu! Dia hanya istri kedua mas! Dan .." Ziyah masih ngotot dengan perkataannya yang dipotong oleh Fakhri.

"Dan perempuan yang kamu sebut 'hanya' sebagai istri kedua itu adalah orang yang menyelamatkan nyawa anakmu! Jangan lagi bicara semacam itu tentang Anayaku!" sela Fakhri.

"Mas! Ara itu juga anakmu! Anak kita! Kamu lupa? Ara gak akan lahir tanpa kasihmu juga! Dan Ara juga tidak akan kekurangan kasih ayahnya kalau tidak ada perempuan itu! Mas itu ayahnya!" Ziyah benar-benar menangis.

"Perempuan itu juga sudah memiliki darah daging dariku, dia juga butuh aku, anakku yang di sana butuh aku! Ara sudah cukup dengan limpahan kasih sayang dari banyak orang di sekitarnya, dan sekarang aku sadar, Anayaku hanya sedang berdua dengan anakku." terang Fakhri.

"Mbak Anaya tidak akan menerima mas kembali, mas sadar itu? Aku yakin, Mbak Anaya sudah muak dengan predikatnya yang hanya sebagai perempuan kedua dalam kehidupan mas setelah ak..." lontaran kata-kata Ziyah tidak sampai selesai karena sudah ditutup dengan dentaman keras pintu kamar. Ziyah memandang Ara yang masih lelap tertidur meskipun ada pertengkaran antara kedua orng tuanya. Ziyah beranjak, hendak menyusul Fakhri yang telah keluar kamar terlebih dahulu.

Langkah kaki Ziyah benar-benar kaku saat melihat Fakhri yang memutuskan untuk pergi ke kamar yang dulu ditempati oleh Anaya. Ziyah benar-benar sakit memandang kerinduan Fakhri pada perempuan itu. Remuk, benar-benar remuk. Tangannya mengepal menguatkan tekadnya agar Ara benar-benar memiliki sosok ayah yang benar-benar menyayangi Ara.

"Pergilah jika kamu mau pergi mas" suara Ziyah menghentikan Fakhri yang sedang menikmati kerinduannya pada Anaya dengan memandangi foto Anaya di layar HP-nya.

Fakhri terduduk.

"Walaupun kamu tidak memperbolehkan aku pergi, aku tetap akan pergi Ziyah." ungkap Fakhri.

"Yang perlu kamu ketahui mas, Mbak Anaya bukan perempuan yang hanya akan diam saja diperlakukan mas seperti ini, seperti halnya aku yang diam! Dia punya daya untuk tidak membiarkan mas memperlakukan dia semacam ini... Aku yang lebih mencintai mas daripada perempuan itu" jelas Ziyah yang kemudian beranjak pergi dari tempat itu.

Fakhri terdiam, tapi dia masih yakin bahwa Anaya masih mencintai dia. Fakhri masih meyakini itu dan dia akan berusaha untuk meraih Anaya kembali. Ya. Dia yakin.

"Maafkan aku Nay" lirih Fakhri.

=======================

BERSAMBUNG...


Episode-episode ini juga ada di website samawaya.com

Kesempatan?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang