Lana menggeleng, ia tidak bisa percaya! Jessi? Cewek itu akhir-akhir ini kembali bersikap baik, ia tidak tahu apa yang menyebabkan Jessi sampai berani melakukan hal ini.

“Ka, banyak yang gak logis, deh,” Mas Axel menghentikan keduanya yang hendak memperdebatkan masalah Jessi, hingga akhirnya Aska dan Lana memfokuskan pandangannya ke arah Mas Axel yang tengah berpikir keras. “Kamu bilang kemungkinan ruangannya kedap suara, lalu Jessi muncul dari mana? Terus, kamu tau dari mana kalau laki-laki itu adalah ayah Jessi? Bisa aja kan mereka nipu kamu? Dan terakhir, menurutku gak mungkin mereka akan bebasin kamu kalau kamu udah tau salah satu wajah dari pelaku itu, apalagi kalau sampe mereka biarin Jessi bebasin kamu.”

Aska kembali meremas rambutnya, ia sulit berpikir jernih saat ini. Sementara Lana mengangguk setuju akan hipotesa Mas Axel. Aska berujar, “Dia yang ngenalin diri sebagai ayah Jessi, dan aku memang saat itu gak minta bukti, Mas. Dan soal Jessi, gak tau dari mana sebenarnya, tapi aku sempat liat kalau dia keluar dari kamar mandi dalam ruangan itu.” Aska melihat desain ruangan itu memang mewah, jadi saat itu ia merasa sah-sah saja ada kamar mandi dalam ruangan yang biasa dijadikan ruang kerja.

“Tapi soal laki-laki yang bertopeng itu, dia kan tetap gunain topengnya, tapi biarin ayah Jessi dan Jessi ketahuan, dan kalau memang bukti menunjukkan bahwa memang mereka pelakunya akan terlihat aneh,” Lana berhenti sejenak, ia menoleh ke arah Mas Axel dan Aska dengan sorot serius. “Apa mungkin laki-laki bertopeng itu hanya jadiin Jessi dan ayahnya sebagai kambing hitam?”

Ketiganya sibuk mencari kemungkinan-kemungkinan lain untuk memecahkan masalah tersebut, kemudian Aska dan Lana dikejutkan dengan pertanyaan Mas Axel yang terkesan tiba-tiba, “Kamu punya nomornya Jessi, kan?”

Lana mengernyit. “Punya. Buat apa, Mas?”'

“Telfon dia, dan tanyain dia ada di mana, kalau bisa sekalian video call. Untuk mengetahui seseorang bohong tidak itu harus dari ekspresinya.”

Lana menurut, ia menelpon nomor Jessi, namun sudah lima kali panggilan, teman sebangkunya itu sama sekali tidak mengangkat panggilannya. Lana menoleh ke arah Mas Axel dengan gelengan putus asa. “Apa mungkin benar dia yang ada di balik semua ini?”

Lana mungkin tidak akan percaya lagi yang namanya teman jika Jessi benar-benar pelakunya.“Kita gak bisa putus asa begitu saja. Kamu bisa cek sosial medianya, kan? Biasanya orang-orang cenderung suka mempublikasikan sesuatu yang berhubungan dengan keluarganya.”

Aska dengan tanggap melakukan permintaan Mas Axel. Sayangnya Jessi tidak pernah membagikan foto seorang pria yang bisa ia tebak sebagai ayahnya atau wajah pria yang seperti sore tadi ia temui, cewek itu cenderung memotret dirinya sendiri. Melihat raut keputusasaan di wajah Aska membuat Mas Axel membuang napas kasar. “Sepertinya tidak akan mudah untuk memecahkan teka-teki ini.”

Lana mencoba mengingat-ngingat, tapi sama sekali tidak pernah ada hari di mana ia bertemu ayah Jessi, atau mungkin ia melupakan hal tersebut? “Ka, kamu sempat gak ngomong sama cewek yang katamu Jessi itu?”

Aska mengangguk. “Suaranya mirip Jessi, tapi sedikit serak.”

“Terus itu apartemen siapa?” Mas Axel bertanya dengan kening mengerut saat mengingat kalau Aska belum menjelaskan tentang apartemen yang menjadi latar pertemuannya dengan orang-orang aneh itu.

“Apartemen tetangga Viola, tapi sayangnya saat aku nanyain tentang penghuni apartemen Viola, kata satpam, Viola udah beberapa minggu gak pernah muncul.”

Mas Axel menaikkan alisnya. “Berarti Viola juga terlibat karena gak mungkin secara kebetulan pelakunya segedung dengan Viola. Walaupun Mas gak tau dia siapa, tapi sepertinya dia berperan besar di hidup kamu, Ka.”

“Dia cuman teman kok, Mas.”

Lana memejamkan mata, ia sama sekali tidak punya waktu untuk mencemburui tebakan Mas Axel, karena saat ini bukan waktunya untuk terbawa emosi mendengar hal-hal sejenis itu. Sepertinya mereka harus menunggu hari esok untuk mengintrogasi Jessi, dan tentu saja hal itu tidak bisa dilakukan di lingkungan sekolah. Tidak menemukan jawaban dari segala keanehan ini, Aska pamit pulang karena hari semakin larut, padahal ia bahkan belum mandi.

TBC

Gimana part ini?

Maaf baru sempat publish:)

JANGAN LUPA VOTE, KOMEN, SHARE ATAU REKOMENDASIIN CERITA INI KE TEMAN-TEMAN KALIAN KALAU KALIAN SUKA :)

Luv❤

ALASKAWhere stories live. Discover now